Hampir enam tahun Peraturan Daerah Sumber Daya Air dan Sumur Resapan diberlakukan semenjak 22 Agustus 2006 lalu. Perda yang salah satunya ditujukan untuk mengantisipasi banjir kota tersebut idealnya menjadi solusi di tengah pesatnya pertumbuhan Kota Pekanbaru. Seperti apa penerapannya?
Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru
Ribuan bangunan baru baik untuk pemukiman tumbuh ibarat jamur di musim hujan memenuhi wajah Kota Bertuah, Pekanbaru. Di satu sisi, hal tersebut memberi gambaran positif terhadap pertumbuhan sebuah kota, khususnya ekonomi dan jasa. Di sisi lain, situasi ini menimbulkan persoalan baru, semakin sempitnya ruang untuk resapan air.
Ya, keberanian pemilik modal dalam menginvestasikan asetnya dalam bentuk bangunan merupakan ciri dari sebuah kawasan berkembang dengan perekonomian yang maju sebagai indikatornya. Harga tanah semakin tinggi dikarenakan tingginya permintaan, sementara luas lahan semakin terbatas.
Lahan-lahan kosong yang sedianya terbuka menjadi daerah resapan atau tangkapan air beralih fungsi menjadi pemukiman atau tempat usaha. Meski belum bisa dikatakan memasuki titik jemu, kondisi lahan yang semakin terbatas itu juga mulai memberikan imbas yang juga menyengsarakan masyarakat. Banjir salah satunya.
Kawasan di sekitaran Tabek Gadang Kecamatan Tampan atau Pasar pagi Arengka misalnya. Di kawasan yang semula masih ditemukan banyak lahan terbuka hijau yang menjadi pusat tumpahan air saat hujan, kini berubah fungsi menjadi kawasan padat penduduk termasuk pertokoan. Begitupun beberapa wilayah lain yang lazimnya selalu menjadi langganan banjir.
Hingga saat ini, upaya untuk mengatasi masalah ini ini pun belum teratasi. Namun, bukan berarti tidak bisa. Perda Nomor 10 Tahun 2006 tentang Sumber Daya Air dan Sumur Resapan menjadi solusinya. Memang, banjir bukan persoalan baru di beberapa wilayah di Pekanbaru. Namun, belum tuntasnya beberapa pembahasan dan proses perencanaan pembangunan kota tak harus menyebabkan solusi lain yang bisa menjadi penyelesaian untuk jangka panjang harus terbengkalai.
Pengamat lingkungan perkotaan, Mardianto Manan mengisyaratkan, sepanjang ada keinginan untuk menuntaskan permasalahan banjir, pasti ada solusi. Sejauh ini, solusi itulah yang tidak ditempuh oleh para pengambil kebijakan. Mardianto tidak melihat persoalan belum maksimalnya penerapan Perda Nomor 10 Tahun 2006 sebagai penyebab utama terjadinya banjir di beberapa kawasan di Kota Bertuah. ‘’Kontribusi tetap ada, tapi bukan faktor utama. Bagaimana mungkin kita berharap ada solusi banjir, sementara faktanya, sistem penataan daerah aliran sungai hingga ke pemukiman tidak tertata dengan baik. Lihat saja, ketika pemerintah menjanjikan akan menuntaskan persoalan banjir di Tabek gadang. Sampai saat ini, terjadi sekat yang menyebabkan air tertumpu pada satu titik. Idealnya, bila memang ujungnya air dari Tabek gadang ditujukan ke Sungai Siak, harus ada drainase yang menghubungkan ke sungai tersebut,’’ jelas dia.
Memang, dijelaskan Mardianto, sedikit ironis, daerah yang kontur tanahnya tinggi seperti Panam selalu menjadi langganan banjir. Namun, tidak tertatanya pengelolaan sumber daya air menyebabkan ini menjadi persoalan dari tahun ke tahun.
Dia juga melihat tidak sinergisnya kebijakan tentang pembuatan drainase dari kawasan pemukiman ke saluran induk. ‘’ Sekarang ini, kita dapat pastikan pembangunan drainase di kawasan pemukiman lebih ditentukan oleh keinginan developer. Sementara idealnya, untuk membuat perencanaan tersebut, pemerintah mengambil peran terbesar, terutama untuk memastikan distribusi air bisa berlangsung baik untuk jangka panjang,’’ sebut Mardianto.
Adapun peran dari sumur resapan, diakui dia, mungkin baru akan dirasakan dampak jangka panjangnya manakala lahan semakin terbatas dan daerah resapan yang selama ini ada makin menghilang tergerus keperluan pemukiman dan investasi.
Meski begitu, Mardianto menjelaskan, penataan dan upaya membangun kesadaran terhadap permasalahan penatagunaan air menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan. Apalagi bila dikaitkan dengan fakta bahwa Perda untuk Sumber Daya Air dan Sumur Resapan sudah ada semenjak beberapa tahun lalu.
‘’Pemerintah waktu itu memang sudah merancang sesuai dengan perkiraan pertumbuhan kawasan, sehingga, idealnya sudah berjalan saat ini. Saya juga tidak tahu persis mengapa sebuah Perda bisa tidak terlaksana di lapangan,’’ jelas lelaki yang juga Ketua Jurusan Planologi Universitas Islam Riau ini.
Idealnya, menurut Mardianto, tidak ada alasan untuk tidak terlaksana. Bahkan, patut dipertanyakan mengapa bisa sampai tidak terlaksana. Apalagi, penerapan kebijakan tersebut, pastinya terkait dengan beberapa perizinan yang dikeluarkan pemerintah, terutama Dinas Tata Kota saat hendak menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
‘’Ketika pihak yang hendak mendirikan bangunan tidak mematuhi Perda, idealnya, pemerintah, dalam hal ini Pemko bisa menahan atau tidak menerbitkan perizinan. Karena kebijakan tersebut pastinya saling berkaitan. Bila ada bangunan baru yang tidak merealisasikan perda dalam pelaksanaan di lapangan, artinya, disana, fungsi pengawasan lemah,’’ papar Mardianto.
Tak hendak berpandangan negatif terlebih dahulu terhadap kondisi tersebut, Mardianto menjelaskan, pihak terkait harus menjelaskan detail persoalan apa yang terjadi dalam penerapan Perda ini. ‘’Apakah ini dikarenakan terbatasnya sumber daya, atau ketidakmampuan aparatur dalam menegakkan Perda dan pengawasan atau dikarenakan ada faktor lain, seperti memanfaatkan Perda sebagai nilai tukar ekonomis. Kita tak ingin menuduh, namun, harus ada evaluasi,’’ jelas dia.
Pembuatan sumur resapan dan penataan sumber daya air berdasarkan Pasal VI Perda 10/2006 Pasal 15, Pertama ditujukan untuk mencegah dan menghindari terjadinya genangan dan banjir pada musim penghujan yang berakibat merugikan kepada masyarakat, terutama terhadap kawasan pemukiman serta bangunan lain. Untuk itu diperlukan pertimbangan teknis dari instansi terkait terhadap suatu rencana lokasi yang akan dibangun.
Selanjutnya Pasal 16 menyebutkan, bagi pemohon izin bangunan perorangan maupun badan usaha yang akan mendirikan bangunan diwajibkan mendapatkan rekomendasi pencegahan banjir dari dinas teknis. Hal tersebut juga dikuatkan pada pasal 19 ayat 1,2 dan 3, dimana perencanaan pembuatan sumur resapan merupakan kelengkapan wajib izin bangunan yang akan dicek atau diperiksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang juga dibunyikan saat penerbitan IMB.
Pada pasal 25 lebih rinci dijelaskan volume sumur resapan yang wajib dibuat mengacu pada luas lahan yang ditutup. Seperti untuk lahan tertutup di bawah 36 m2, diwajibkan memiliki sumur resapan dengan volume 1 meter kubik. 37-50 meter sebesar 2 meter, 100-149 meter 6 meter kubik, 150-1999 seluas 8 meter, 200-299 meter seluas 12 meter kubik.
Secara teknis, Kabid Pengawasan Distako, Junizar menyebutkan tidak ada alasan bagi pemilik bangunan baik baru ataupun lama untuk tidak menyediakan areal khusus untuk sumur resapan. Hanya saja, diakui dia, hal tersebut tidak segampang fakta yang terlihat.
‘’Terkadang, di atas kertas ada, tapi di lapangan tidak dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan, seperti menambah biaya atau ongkos kerja dan atau dianggap mengganggu disain awal bangunan. Itu kebanyakan yang menjadi kondisi di lapangan. Begitupun, beberapa waktu belakangan, upaya untuk mensosialisasikan kebijakan sumut resapan dan penataan sumber daya air sudah mulai direalisasikan,’’ sebut dia.
Junizar mencontohkan, baru-baru ini saja, ada pengembang perumahan yang secara sadar tanpa diarahkan sudah membuat petak-petak sumur resapan dengan perbandingan 1 rumah 1 sumur resapan. Padahal, dalam kebijakan kita, masih lebih fleksibel, bisa saja, beberapa rumah dengan volume luas tertentu membuat sumur resapan bersama. ‘’Kemarin malah pengembangnya yang mengusulkan untuk 1 rumah, satu sumur. Kita hargai sekali keinginan tersebut,’’ ungkap Junizar.
Meski begitu, Junizar mengakui, secara keseluruhan, penerapan Perda Sumur Resapan ini masih belum maksimal. ‘’Baru beberapa bulan ini kita intens kembali menegaskan penerapan perda ini dengan sanksi berupa penahanan penerbitan IMB bagi pemilik bangunan yang mengajukan pengusulan tapi tidak mencantumkan desain petak sumur yang akan menjadi tangkapan air tersebut,’’ ujar Junizar yang juga didampingi salah seorang pengawas, Agustiar.
Mengantisipasi banjir di beberapa kawasan di Kota Pekanbaru memang menjadi salah satu focus program yang dibunyikan oleh Wali Kota Pekanbaru, Firdaus MT, salah satu bentuk penanggulangannya adalah lewat penerapan Perda Sumur Resapan. ‘’Kita juga baru berkoordinasi dengan kepala Dinas untuk segera melakukan penegakan sanksi kepada para pemilik bangunan yang tidak mematuhi perda yang ada termasuk mencari solusi atas persoalan yang terjadi di lapangan selama ini,’’ sebut Junizar.
Begitupun, mereka sepakat bahwa penegakan Perda Sumur Resapan sebagai salah satu solusi jangka panjang terhadap permasalahan banjir sudah harus dilaksanakan semenjak saat ini. ‘’Ya, kita pastinya sepakat untuk melaksanakannya,’’ ungkap Junizar.
Tidak ada alasan konkrit yang menjadi penyebab tidak dilaksanakannya perda ini. Kabag Hukum dan Perundangan Pemko Pekanbaru, Yuliasman menyebutkan, semenjak disahkan sebagai perda, belum ada satupun complain atau keberatan yang disampaikan oleh pihak terkait maupun masyarakat pemilik bangunan terhadap penerapan perda ini. ‘’Sejauh ini belum pernah ada revisi, belum pernah juga ada keberatan yang disampaikan oleh masyarakat yang dilakukan secara resmi. Artinya, tidak ada penolakan terhadap pemberlakuan Perda. Idealnya, ini sudah berjalan di lapangan. Untuk para pihak yang tidak mematuhi, sanksinya sudah tertuang dalam Perda. Ada ketentuan pidana, berupa 3 bulan kurungan penjara atau denda setinggi-tingginya Rp50 juta,’’ sebut dia.
Meski begitu, Yuliasman menyebutkan bahwa penerapan sanksi tersebut bukan berarti pemerintah ingin mengambil keuntungan dari tidak diberlakukannya perda di lapangan. ‘’Tidak ada itu seperti itu. Sanksi itu sebenarnya sifatnya adalah pembinaan supaya masyarakat taat,’’ imbuh dia.
Hal senada juga diungkapkan Asisten 1 Pemko Pekanbaru, R Dorman Johan secara terpisah. Dorman menjelaskan, sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk tidak maksimalnya penerapan Perda Sumur Resapan ini. Apalagi, dalam jangka waktu 6 tahun. ‘’Untuk sosialisasi seharusnya tidak sepanjang itu. Nah, kalau belum berjalan juga sampai saat ini, harusnya dievaluasi untuk dicarikan jalan keluarnya,’’ sebut Dorman.
Harusnya, persoalan-persoalan terkait dengan penerapan perda yang tidak terlaksana di lapangan, di evaluasi setiap tahunnya untuk mengetahui sejauh mana kekurangan dan solusi yang harus diambil. ‘’Kalau memang kendalanya adalah pada pengawasan di lapangan, harusnya, jumlah pengawas ditambah. Bila tidak, bisa saja, dilakukan kerja sama dengan penegak perda seperti Satpol Pamong Praja. Jadi persoalannya sederhana saja,’’ ungkap dia.
Namun, khusus untuk Perda Sumur Resapan, Dorman menjelaskan sejauh ini belum ada penolakan yang menjadi alasan untuk tidak dilaksanakan. Karena, semua juga tahu, alasan utama pemberlakuan perda ini adalah untuk menangani permasalahan banjir yang setiap saat menjadi permasalahan warga kota Pekanbaru. ***