MENEMUKAN SEMANGAT KEBANGKITAN ISLAM DI GRANADA, BENTENG TERAKHIR ISLAM DI EROPA (2)

Suara Azan Berkumandang Lagi di Andalusia

Feature | Minggu, 29 Juli 2012 - 07:50 WIB

Suara Azan Berkumandang Lagi di Andalusia
ZAITUN: Hamparan zaitun, asparagus dan apel memenuhi bukit-bukit di wilayah Granada. (Foto: ABDUL ROKHIM/JPNN)

Menyusuri jalan-jalan dari stasiun ke pusat kota pekan lalu, terasa sekali bahwa Granada sedang bersolek menyambut datangnya musim panas. Musim yang ditandai dengan terang siang hingga 16 jam (mulai pukul 06.00 hingga 22.00) itu membuat sepanjang jalur pedestrian di pusat kota dipenuhi turis dari mancanegara.

Laporan ABDUL ROKHIM, Granada

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kota Granada memang memanjakan pejalan kaki. Selain jalur yang bersih, nyaman dan aman (banyak polisi berjaga), pejalan kaki bisa menikmati pemandangan gedung-gedung dengan arsitektur unik, gabungan gaya barok yang penuh ukiran dan bukaan lebar serta gaya Timur Tengah yang ditandai kubah dan lengkung.

Langkah terhenti ketika dari sebuah gang terdengar sayup-sayup lagu irama padang pasir yang akrab di telinga. Melihat peta, didapat nama bahwa kawasan itu adalah Alcaiceria. Lagu yang ternyata berasal dari sebuah kedai teh yang berimpitan dengan toko-toko suvenir di sebuah lorong itu seakan mengingatkan bahwa peradaban Timur Tengah dan Islam pernah berada di Granada.

Ingin tahu lebih banyak dan sekalian melepas penat, JPNN masuk dan duduk di dalam kedai. Sebuah papan berukir Allah dan Muhammad yang bertengger di tengah-tengah dinding bagian dalam menunjukkan pemiliknya adalah seorang muslim. Tak seberapa lama, keluarlah pemilik kedai yang kemudian mengenalkan diri sebagai Hamidi Bennati. Tanpa diminta, ia langsung menyodorkan segelas teh rasa mint.

Tentang musik dan dekorasi nuansa Islam di kedainya, Hamidi menjelaskan, dirinya sengaja mendekorasi meja, sofa, hingga alat makan dengan hiasan khas Andalusia yang bernuansa Timur Tengah. ‘’Kami sangat ingin menjadi bagian dari kesinambungan sejarah muslim yang tak pernah benar-benar meninggalkan Granada,’’ ujar pemilik kedai yang mengaku keturunan Tunisia tersebut.

Hamidi meyakinkan, ajaran Islam yang ia jalani kini juga seperti Islam yang pernah ada di Granada dulu, yang menyebar dari Afrika Utara hingga Semenanjung Iberia dari abad ke-7 hingga abad ke-14. Selain tradisi yang terjaga, Hamidi dapat keuntungan karena hampir tiap tahun ribuan muslim seluruh dunia yang berlibur ke Granada singgah ke kedainya.

Bagaimana kehidupan kaum muslim di Granada? Said Abdullah yang berasal dari Pakistan dan bekerja sebagai penjual suvenir di lorong paling dekat dengan Katedral Granada mengungkapkan, pembukaan kedai-kedai teh dan toko-toko kerajinan jadi pemicu awal kembali bangkitnya budaya Islam di Granada. Itu terjadi pada 1980-an, saat harga properti di sana masih sangat rendah. Kini harganya melambung hingga 10 kali lipat lebih.

‘’Sebelum kami membuka kedai dan toko, sedikit sekali orang yang berani berjalan di jalanan, terutama malam hari,’’ kata Said. Semuanya begitu lengang dan orang-orang yang kerap ditemui di jalan adalah pengguna narkoba dan pekerja seks komersial (PSK).

Titik balik komunitas Islam di Spanyol terjadi pada 1980. Sebelumnya, bersama komunitas Yahudi dan Hindu, kewarganegaraan komunitas muslim tak diakui. Namun, sejak berakhirnya pemerintahan junta militer Franco pada 1980 dan diterapkannya prinsip menghargai semua agama yang mengakar di Spanyol (notorio arraigo) dalam konstitusi baru, kehidupan komunitas Islam di Spanyol, khususnya Granada, kembali bergairah. Sejak itu pula, jumlah komunitas muslim bertambah, baik muslim asal warga Spanyol asli maupun muslim asal negara lain melalui imigrasi.

Menurut Said, imigran muslim itu tak hanya mengunjungi Alhambra, kompleks benteng dan istana yang dibangun pemerintahan Islam pada abad ke-14, tapi berkunjung pula ke masjid besar yang dibangun pada 2003. ‘’Suasana dan kondisi ini membuat 20 ribu muslim di sini mulai merasa benar-benar berada di rumah sendiri,’’ ungkap Said.

Pada 2003 memang momentum kedua bagi umat Islam di Granada setelah pemberlakuan notorio arraigo. Hari itu, 10 Juli 2003, masjid pertama di Granada dibuka dengan kumandang azan, disusul peresmian oleh Syekh Sultan bin Mohammad Al Qassimi dari Uni Emirat Arab (UEA). Momentum bersejarah ini diabadikan dalam prasasti batu di pelataran masjid.

JPNN yang mengunjungi masjid di kawasan permukiman Albecina itu melihat bangunan yang tak banyak berbeda dari bangunan di sekitarnya. Mahmud Ali, seorang jamaah menjelaskan, bantuan dana dari donatur negara-negara muslim lainnya memungkinkan tegaknya masjid berarsitektur paduan antara biara klasik Katolik dan gereja klasik Granada tersebut.

Peristiwa 9 tahun lalu itu, menurut Mahmud, membekas dalam ingatannya. ‘’Semoga suara azan saat itu hingga kini tidak akan lenyap lagi dari Granada. Bahkan, gemanya diharapkan mampu menembus puncak-puncak Pegunungan Sierra Nevada. Sebagaimana dulu keagungan dan kejayaan Islam terpancar dari Alhambra di Bukit La Sabica,’’ ungkap Mahmud yang saat peresmian masjid itu baru datang sebagai imigran Maroko.

Suara azan memang pernah lenyap dari menara-menara masjid Kota Granada, Spanyol, 520 tahun lalu. Tepatnya, 5 Januari 1492, setelah penguasa terakhir Granada Sultan Muhammad XII Boabdillah An Nashiriyah menyerahkan kunci benteng Alhambra pada penguasa Spanyol Kristen, Ferdinand dan Isabella. Sultan terakhir dari kerajaan Islam di Spanyol itu meninggalkan bumi Andalusia yang menjadi tanah air muslimin sejak tahun 711 (sekitar 800 tahun) menuju Maroko. Dia diikuti puluhan ribu umat Islam lainnya.

Sejak itu, kegiatan agama Islam pun otomatis dilarang. Masjid-masjid dirubuhkan atau dialihfungsikan. Granada, pusat pemerintahan Dinasti Nashiriyah atau Banu Al Ahmar yang dibangun pada 1232 oleh Muhammad I Al Ghalib Ibnu Ahmar, berubah jadi kota mati.

Alhambra, istana dan benteng termasyhur, ikut kehilangan pamor, redup suram. Istana dan benteng berwarna merah hasil karya puncak arsitektur umat Islam abad pertengahan yang tak tertandingi hingga kini tiba-tiba mirip rumah hantu. Kejatuhan Granada adalah akhir dari serangkaian penaklukkan tentara Kristen atas kota-kota umat Islam lainnya di Spanyol seperti Cordoba, Sevilla, Zaragoza, Toledo, Malaga, dan Almeria. Jatuhnya Granada itu menandai hilangnya sinar Islam di semua kota yang pernah menjadi permata-permata di Eropa di abad pertengahan.(*/c10/bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook