Penduduk antarpulau kecil yang berserak di Kabupaten Natuna, kepulauan di kawasan perbatasan yang menyimpan lebih dari separuh cadangan gas nasional ini, dilayani oleh sebuah kapal kargo bekas. Kondisinya jauh dari layak.
Laporan, Muhammad Iqbal dan Yermia Riezky, Natuna
DARI kejauhan, Pulau Senua mirip orang yang sedang tidur telungkup. Karena itu, orang Ranai menyebutnya Pulau Putri Tidur. Dari dermaga kecil di Pantai Tanjung, di ibu kota Kabupaten Natuna itu, Pulau Senua bisa dicapai 20 menit dengan pompong. Laut sekitar Pulau Senua sangat bersih. Karang di kedalaman tujuh meter pun masih bisa dilihat dari permukaan air. Para pekerja ekspatriat perusahaan pengeboran minyak dan gas di lepas pantai Laut China Selatan kerap menyelam di Senua.
Aneka jenis ikan hidup di sana. Ketika musim utara tiba, November-Februari, nelayan setempat bak memancing di kolam sempit yang penuh ikan. “Itulah musim terbaik untuk mencari ikan,” ujar Musidi, nelayan dari Pantai Tanjung. “Sehari, kalau sanggup bisa dapat lima ton,” ujarnya.
Senua adalah satu dari tujuh pulau terluar Indonesia di Natuna. Sejauh 12 mil laut ke arah timur melintas garis batas negara Indonesia dengan Malaysia. Enam pulau terluar lainnya adalah Pulau Tokong Boro yang berbatasan dengan Malaysia bagian barat, Pulau Kepala di Serasan dan Pulau Subi Kecil yang berbatasan dengan Malaysia bagian timur, serta Pulau Semiun, Pulau Sebetul, dan Pulau Sekatung yang berbatasan dengan Malaysia bagian barat, Thailand, dan Vietnam.
Data Badan Pengelolaan Perbatasan (BPP) Kabupaten Natuna menyebutkan, ketujuh pulau itu memiliki permasalahan yang sama, yakni kerap menjadi persinggahan nelayan asing yang mencari ikan di perairan Natuna. “Ini sering terjadi karena kapal-kapal mereka yang tangguh sanggup menyeberangi Laut China Selatan untuk mencari ikan di perairan Natuna,” kata Kepala Seksi Pelaporan dan Monitoring Evaluasi BPP, Dodi Yudha.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, kata Dodi, menghitung potensi ikan di perairan Natuna mencapai satu juta ton setiap tahunnya. “Namun baru 23 ribu ton yang mampu ditangkap nelayan lokal,” ucapnya. “Yang ditangkap nelayan asing lebih dari itu. Nilainya Rp31 triliun setahun,” katanya.
Laut China Selatan yang terhampar mengelilingi Kepulauan Natuna adalah karunia Tuhan yang luar biasa. Inilah urat nadi kehidupan penduduk Natuna. Selain mengandung potensi ikan yang besar, Laut China Selatan merupakan tanki raksasa cadangan minyak dan gas nasional Indonesia. Data Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral menyebutkan, potensi minyak Natuna yang sudah terbukti (proven) mencapai 208 miliar barel. Sedangkan potensi gas di sana sebanyak 54,25 triliun kaki kubik. “Lebih dari separuh cadangan gas nasional, yang mencapai 94 triliun kaki kubik,” kata Bupati Natuna, Ilyas Sabli.
Sebagian potensi migas itu sudah dieksploitasi. Dana bagi hasilnya ikut dinikmati penduduk di kabupaten dan kota lain di Provinsi Kepulauan Riau. Pemkab Natuna sendiri tiap tahun rata-rata mendapat jatah Rp800 miliar.
Sebagai jalur pelayaran internasional sejak lama, Laut China Selatan di wilayah Natuna adalah kawasan terbuka. Itulah sebabnya, kapal-kapal penangkap ikan asing leluasa menjarah ikan di sana. Jumlah yang tertangkap dibanding yang lolos dari radar aparat Indonesia: 1 berbanding 100.
Meski angka pencurian ikan di perairan Natuna mencengangkan, tetapi tak dapat dicegah oleh BPP dan penduduk setempat. Persoalannya, teknologi yang digunakan untuk pengawasan terbilang minim dan sangat bergantung pada alam.
Dodi mengungkapkan, BPP Natuna yang didirikan November 2011 hanya memiliki satu kapal patroli. “Itu pun terbuat dari fiber,” katanya. Kapal fiber tidak cocok dioperasikan di Laut China Selatan, yang ombaknya terkenal ganas. “Kalau datang ombak setinggi tiga sampai lima meter, kapal bisa terbelah,” katanya. Makanya BPP hanya sanggup meninjau ketujuh pulau terluar itu masing-masing satu kali dalam setahun. “Kita ke sana tiap musim angin selatan (April sampai Agustus). Kami sewa kapal nelayan,” kata Dodi.
Keganasan Laut China Selatan sudah terukir dalam sejarah pelayaran dunia. Diah Ayu Nugrahaini, arkeolog Universitas Gadjah Mada mengatakan, penemuan ribuan barang antik asal Eropa dan China di dasar Laut China Selatan yang masuk wilayah Natuna, merupakan bukti banyaknya kapal-kapal asal China dan Eropa yang karam saat melintas di sana ribuan dan ratusan tahun lalu. “Ini jalur favorit pedagang China dan Eropa, tapi lautnya ganas,” ujarnya.
Kondisi itulah yang mengkhawatirkan personel BPP Natuna menggelar patroli ke pulau-pulau terluar. “Berjam-jam habis di laut,” kata Dodi. Pulau Tokong Boro yang letaknya di titik paling barat Kabupaten Natuna, adalah pulau terjauh. Untuk sampai ke sana butuh waktu minimal delapan jam. Pulau lainnya, Subi Kecil misalnya, bisa dijangkau setelah berlayar minimal enam jam. Selama itu, laut tetap menyimpan misteri karena kapan saja bisa muncul badai dan gelombang tinggi. “Bahkan di musim selatan pun kondisi laut di tengah-tengah perjalanan tidak bisa diprediksi. Kami sering menghadapi ombak besar dan badai di musim selatan,” tutur Dodi.
Persoalan pengawasan pulau-pulau terluar memang tak semata tanggung jawab BPP, karena lembaga itu berfungsi sebagai jangkar bagi semua instansi di Pemkab Natuna. Di tahun pertamanya, BPP lebih banyak mengurusi masalah pengembangan wilayah kecamatan yang menaungi pulau-pulau terluar. “Wilayah kecamatan adalah pusat keramaian pulau-pulau terluar. Makanya, kegiatan kita pusatnya di kecamatan,” kata Dodi.
Di dalam BPP bergabung elemen antara lain Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pertanian yang bertugas mengembangkan wilayah kecamatan itu sesuai dengan tugas masing-masing. “Dengan diberdayakan dan diberi perhatian, kita berharap tak ada keinginan memisahkan diri dari Indonesia. Sejauh ini, indikasinya pun tidak ada,” kata Dodi. “Membuka jalur transportasi yang rutin ke sana, sangat membantu mereka,” kata Dodi.
Di samping BPP, yang bertugas mengawasi pulau-pulau terluar adalah TNI, Polri, dan penduduk. Dodi mengungkapkan, di Pulau Sekatung ada Satgas Gabungan Pengamanan yang beranggotakan personil TNI Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Jumlah mereka mencapai 34 orang. Meski demikian, selama setahun ini, BPP belum pernah berpatroli bareng petugas keamanan itu. “Kami belum tahu kapan saja waktu patroli mereka,” jelas Dodi.
Sampai saat ini, persoalan ketujuh pulau terluar ini baru sebatas pencurian ikan oleh nelayan asing, dilabuhi kapal asing tanpa izin, maupun abrasi. Belum ada indikasi negara tetangga mengklaim pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah teritorial mereka.
Namun jika tak dikelola dengan baik, kecintaan warga perbatasan pada Indonesia bisa berujung kecewa. Mereka juga menuntut perhatian pemerintah. Komitmen untuk hidup selamanya di dalam rumah besar Indonesia pun bisa mengalami abrasi, terutama di daerah-daerah yang sangat dekat dengan negara tetangga. “Beberapa kali pemikiran untuk berpisah muncul di masyarakat, sebab Malaysia lebih dekat. Namun selalu bisa diredam,” kata Hamid, warga Pulau Serasan yang kerap berdagang ke Kuching, Malaysia.
***
BAGAIMANA Pemerintah Indonesia melayani masyarakat di perbatasan? Mungkin kondisi Kapal Motor (KM) Terigas 5 yang jadi urat nadi transportasi dan perdagangan antar-pulau di Natuna, bisa jadi gambarannya:
Suasana di KM Terigas 5, Selasa (20/11) pagi, riuh rendah. Ratusan manusia berjejal di atasnya. Mereka duduk menyatu dengan barang bawaan. Sebagian besar adalah barang dagangan para saudagar antar-pulau, yang ikut kemana saja kapal tua itu berlayar. Mereka turun di pelabuhan mana saja Terigas 5 bersandar.
Seorang lekaki bertelanjang dada duduk di pinggir geladak. Tato naga warna biru terpampang di lengan kiri. Ia tersuruk di antara rimbunnya tumpukan karung dan kotak berisi pakaian, buah dan ikan. Asap rokok terus mengepul dari bibirnya. Di samping sebelah kanan, dua orang ibu -seorang di antaranya menggendong bayi- asyik berbincang. Sesekali mereka tertawa. Ibu bayi menggunakan ujung kain gendongan untuk mengusir asap rokok yang melintas di depan hidungnya.
“Ini mau ke Pulau Laut. Sebentar lagi jam sembilan berangkat. Jam lima sore nanti sampai di sana.” Syaiful, lelaki bertato itu menyahut pertanyaan Batam Pos (Riau Pos Group).
Hari itu, Terigas 5 sandar di Pelabuhan Pulau Sedanau, pelabuhan paling ramai di Kabupaten Natuna. Kapal dari semua penjuru di wilayah paling utara Indonesia itu, selalu singgah di Sedanau, pulau berpenduduk tak lebih dari 5.000 jiwa. Jauh sebelum Ranai ditetapkan sebagai ibu kota kabupaten melalui Undang-Undang 53 Tahun 1999, Sedanau adalah bandar niaga paling sibuk di Kepulauan Natuna. Kala itu, Natuna masih bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau. Masuk wilayah Kecamatan Pulau Tujuh. Kini, Sedanau adalah pintu ekspor ikan napoleon dari Natuna ke Hongkong.
Sehari sebelum merapat di Sedanau, Terigas 5 berangkat dari Pulau Midai. “Dari Midai hari Senin jam sembilan pagi, sampai di sini (Sedanau) jam lima sore. Nginap semalam,” tutur Syaiful. Selama kapal buang jangkar, Syaiful dan sejumlah pedagang antar-pulau lainnya menggelar lapak di dermaga pelabuhan. “Saya jualan baju,” katanya. “Kalau ada yang jual buah saya beli juga, saya jual di pulau lain,” bujangan asal Sumatera Barat itu menambahkan.
Terigas 5 aslinya adalah kapal kargo. Karena itu, tak ada tempat tidur dan kursi tersedia seperti lazimnya kapal penumpang. Seluruh penumpang dan barang bawaan, termasuk hewan peliharaan seperti ayam, disatukan di geladak kapal. Di sanalah mereka duduk, tidur, dan makan sepanjang pelayaran. Jarak tempuh terdekat antara satu pulau dengan pulau lain adalah enam jam. Panas, pengap, dan sumpek bercampur bau keringat dan kentut menyatu jadi teman di perjalanan. “AC-nya AC alam,” ujar Syaiful berkelakar.
Untuk melindungi penumpang dan barang dari hujan, bagian atas kapal sepanjang 30 meter itu ditutup dengan terpal. Tiang-tiang penyangga terpal banyak digunakan ibu-ibu yang membawa balita sebagai gantungan buaian anak mereka agar tak tergencet orang dan barang.
Jika hujan turun di tengah pelayaran, penumpang yang duduk di pinggir kapal menyingkir ke tengah agar tak basah. Kalau sudah begitu, di geladak nyaris tak ada celah untuk bergerak. “Penumpang harus tahan tidak buang air karena tidak ada ruang untuk jalan ke kamar kecil,” tutur Milin, warga Sedanau. Di geladak yang dihuni ratusan manusia, hanya tersedia satu toilet.
Jangan berharap bisa berkomunikasi dan main internet untuk membunuh waktu sepanjang pelayaran, sinyal hilang dari layar telepon. Satu-satunya hiburan di atas kapal adalah berbelanja makanan dan minuman di kantin darurat. Ruangan ini sejatinya adalah kamar anak buah kapal (ABK) di anjungan, tetapi difungsikan sebagai tempat makan. Mi rebus hangat ditemani teh, kopi, atau minuman dingin adalah sajian utama. Tak ada menu lain tersedia.
KM Terigas 5 mulai mengarungi perairan Natuna sejak 2007. Kapal ini dipimpin dua nakhoda yang bergantian mengendalikan haluan, membelah ganasnya Laut China Selatan. Dua mekanik senantiasa siaga jika mesin kapal tiba-tiba bermasalah. Kapal juga dilengkapi dua petugas pemeriksa tiket dan dua pesuruh yang siaga menunggu perintah nakhoda.
Meski operasi Terigas 5 di bawah kendali perusahaan swasta, tapi pengawasannya ada di tangan BUMN pelayaran, PT Pelni. Sistem kerja sama ini langsung ditangani Kementerian Perhubungan. Setiap sembilan hari sekali, kapal yang harga tiketnya Rp50 ribu sekali jalan itu, singgah di pelabuhan pulau-pulau besar di Kabupaten Natuna. Kapal dengan lambung warna hijau itu berkeliling ke Subi, Serasan, Sedanau, Midai, Bunguran, dan Pulau Laut. Karena jadwal keberangkatan yang hanya sembilan hari sekali, setiap singgah di pelabuhan manapun Terigas 5 selalu disesaki penumpang.
Seburuk apapun kondisinya, kapal adalah alat transportasi andalan masyarakat Natuna. Sebagai wilayah kepulauan, laut adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Air asin mengalir di pori-pori warga. Bepergian dengan kapal sudah jadi kebiasaan sejak balita. Itu sebabnya, meski menumpang kapal yang buruk di tengah musim angin utara, yang gelombangnya bisa mencapai lima meter, sangat jarang warga mengalami mabuk laut.
“Tak ada pilihan lain, ya, kapal seperti itulah yang menjaga hubungan penduduk satu pulau dengan pulau lainnya di Natuna. Mereka masih bisa bersilaturahmi secara fisik dengan keluarga mereka dan berdagang barang-barang kebutuhan hidup,” kata Ketua DPRD Natuna, Hadi Candra.
Kapal pula yang menjaga mereka tetap menjadi bagian dari Indonesia. “Kedatangan kapal perintis secara rutin ke pulau-pulau terluar, merupakan salah satu pengikat penduduk setempat dengan Ranai, ibu kota Natuna, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Mereka masih tetap bisa berhubungan dengan saudara-saudara mereka di pulau lain,” kata Hadi, yang berasal dari Pulau Serasan.
Raudial Huda, pengusaha perikanan di Ranai mengatakan, jika mau, sangat mudah bagi penduduk di pulau-pulau terluar yang kaya potensi alam itu, baik migas maupun perikanan, memisahkan diri dari Indonesia. Jarak mereka dari zona perairan internasional (outer port limit/OPL) sangat dekat. “Mereka bisa minta kapal induk Amerika masuk ke OPL, lalu semua penduduk naik ke atasnya dan minta diadakan referendum di sana, mereka bisa merdeka,” katanya.
Karena itu, menurut dia, perhatian pemerintah terhadap penduduk di perbatasan harus diperbaiki. Termasuk menyediakan transportasi yang layak untuk mereka. “Agar mereka tak merasa terisolasi dan dibedakan dengan daerah lain,” ujarnya. Raudial adalah mantan kapten kapal yang berkali-kali keliling dunia ini. Pria kelahiran Natuna 46 tahun lalu itu, adalah alumni Akademi Pelayaran Semarang. Kini, ia mendirikan Politeknik Maritim Natuna.
Posisi Natuna yang berada di garis perbatasan dengan negara lain membuat hubungan dagang antara pulau-pulau terluar dengan negara tetangga terajut sejak lama. Pulau Serasan, umpamanya. Jarak tempuh dari sana ke Kuching, Malaysia Timur lebih dekat dibanding ke Ranai maupun Batam dan Tanjungpinang. Dari Ranai ke Serasan butuh waktu sembilan jam menggunakan KM Bukit Raya milik Pelni, 10 jam menggunakan kapal perintis seperti Terigas, dan 12 jam menggunakan kapal kayu. “Sedangkan ke Kuching hanya enam jam dengan kapal kayu,” terang Hamid, warga Serasan.
Sejak dulu, Hamid bercerita, warga Serasan dan Subi telah lama berhubungan dengan warga Kuching. “Di Serasan kami menggunakan dua mata uang, rupiah dan ringgit,” kata Hamid. Transaksi ekonomi yang terjadi antara warga Serasan dan Kuching berdasarkan kebutuhan masing-masing wilayah. Dari Serasan, warga membawa cengkeh, tikar, dan ikan. Sebaliknya, dari Kuching warga Serasan membeli gula dan beras. Di masa lalu, gula dan beras Malaysia itulah yang banyak diselundupkan ke Tanjungpinang.
Dari hubungan itu, tambah Hamid, masyarakat Pulau Serasan memiliki kestabilan ekonomi. Pasokan kebutuhan hidup terjaga dengan baik. “Lebih baik dibanding jika kami menunggu barang-barang dari Ranai,” ujarnya. Lamanya jarak tempuh ke Ranai, Tanjungpinang, dan Batam membuat masyarakat akhirnya menggantungkan pasokan kebutuhan hidup mereka ke Kuching. “Kalau nunggu barang dari Ranai atau Tanjungpinang, bisa-bisa kami tak punya beras. Sering gula dan beras dari Ranai putus (langka),” ungkapnya. “Lagi pula kualitas beras dan gula dari Malaysia jauh lebih baik. Kalau ada ukuran, bedanya tiga tingkat,” Hamid menambahkan.
Kepala Dinas Perhubungan Natuna, Wan Siswandi mengatakan, tahun 2012 ini, Pemkab Natuna sudah menganggarkan pengadaan dua kapal perintis. “Kini sedang proses lelang,” ujarnya. Kata dia, dengan bertambahnya jumlah kapal bisa mengurangi kesulitan transportasi yang dialami masyarakat, terutama yang berada di wilayah perbatasan. “Setiap tahun kita akan atasi kekurangan yang ada,” kata Siswandi. Ia menambahkan, tahun 2013 nanti, Pemkab Natuna akan mengembangkan dermaga yang sudah ada agar bisa dimasuki kapal-kapal perintis maupun KM Bukit Raya. “Dermaga yang akan dikembangkan di Serasan, Midai, dan Subi,” katanya. ***