Laporan DANI TRI WAHYUDI, Doitung
Puluhan tahun lamanya Khun Sa memaksa warga minoritas di kawasan Golden Triangle sebagai petani opium.
Mereka miskin, tak berpendidikan, terisolasi, dan rawan dibunuh tentara berpatroli. Kini kondisi tersebut berbalik 180 derajat.
Di Mae Fah Luang Art & Cultural Park, Doi Tung, Thailand, Sekretaris Jenderal DTDP (Doi Tung Development Project), Mom Rajawongse (MR) Disnadda Diskul, mengajak rombongan Indonesia ke sebuah aula teater.
Program DTPD merupakan milik Mae Fah Luang Fondation (MLF), yaitu sebuah yayasan yang diprakarsai Ibu Suri Thailand, (alm) Srinagarindra, yang bekerja sejak 30 tahun lalu.
Khun Cai, panggilan akrab Disnadda Diskul, atau serupa dengan Raden (Jawa) untuk panggilan gelar kebangsawanan, menghadirkan tujuh warga lokal, terdiri atas perempuan dan lima laki-laki. Di antaranya dua kepala desa setempat, mantan kurir opium Khun Sa, mantan anak kepala desa era Khun Sa, serta para mantan petani opium.
Mereka ini mewakili sekitar enam etnis minoritas di kawasan DTDP dengan 11 ribu populasi, pada luas areal 2.242 hektare di pegunungan Doi Tung. Kebanyakan mereka tidak bisa berbahasa Nasional Thailand, hanya berbahasa lokal.
Maka dialog antara mereka dengan rombongan harus menggunakan dua penerjemah. Pada dasarnya mereka memberikan kesaksian bahwa DTDP pimpinan Khun Cai jauh mengubah hidup mereka lebih baik dibanding semasa Khun Sa berkuasa.
Chamnan (62), yang hadir merupakan mantan petani opium terbesar di Doi Tung pada era Khun Sa.
Dengan begitu, secara spontan para rombongan pun menyebutnya sebagai “Raja Opium”.
Kendati begitu, dia hanya berpenghasilan 20- 30 ribu Bath per tahun. Jika dikalikan kurs sekarang (1 Bath = Rp313,5), maka penghasilan si “Raja Opium” adalah Rp6 - Rp9 juta per tahun.
Namun kini dalam setengah tahun saja penghasilannya bisa 60 ribu Bath (setara Rp18,8 juta). Berdasarkan data di DTDP, penghasilan perkapita warga Doi Tung rata-rata kini meningkat 10 kali lipat dibandingkan masa pendudukan Khun Sa.
Seperti halnya Chamnan dari semula tidak punya apa-apa. Kini, dia memiliki mobil yang bisa digunakan untuk bepergian ke Bangkok.
Penghasilannya terdongkrak berkat dia menanam pohon Macadamia, yang merupakan salah satu pohon proyek reboisasi DTDP. Pohon tersebut menghasilkan kacang Macadamia yang diklaim sebagai kacang termahal di dunia dan setiap hari bisa dipanen.
Hasil panen kacang Macadamia dijual ke DTDP. Setelah diolah dan dikemas oleh DTDP, Macadamia Nut kaleng ukuran 150 gram dijual sekitar Rp80 ribu.
Bandingkan dengan harga kacang termahal di Indonesia, yaitu kacang mente. Harga kacang matang sekitar Rp90 ribu per 1 Kg. Sementara kacang Macadamia merek Doi Tung kebanyakan dijual untuk memenuhi permintaan pasar di Jepang.
Pada zaman Khun Sa, anak-anak di Doi Tung tidak sekolah. Sebaliknya, anak-anak dieksploitasi tenaganya untuk menghitung peluru yang diperdagangkan bersama dengan senjata gelap Khun Sa.(jpnn/ila)