PETANI SAWIT DI RIAU: PETANI SEJAHTERA DI INDONESIA

Dulu Bagai Bulan Kesiangan, Kini Bulanan Dapat Jutaan

Feature | Minggu, 28 Oktober 2012 - 08:29 WIB

Dulu Bagai Bulan Kesiangan, Kini Bulanan Dapat Jutaan
Sunarto saat pertama tiba di Riau dari Jawa Tengah, tahun 1991, masih kelihatan kurus. Sunarto saat ini di 2012, rumahnya megah, mobilnya mewah. Sunarto adalah salah seorang petani sawit yang hidup sejahtera di Riau saat ini. (Foto: istimewa)

Menjadi petani tidak lagi identik dengan kemiskinan. Apalagi menjadi petani sawit di Riau. Uang jutaan, kekayaan dan tentu saja kesejahteraan, sudah pasti dalam genggaman!

Laporan Zulmansyah, Riau

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

ADALAH Tumingan yang jadi bukti nyata. Lelaki kurus tinggi legam berusia 54 tahun ini, sejak 1993 lalu memilih menjadi petani sawit di Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) Mekar Sari di Sungai Pagar, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Itu berarti sudah hampir 20 tahun Tumingan bersama istrinya Nur, melakoni hidup sebagai petani sawit.

Sebelum menjadi petani sawit, Tumingan yang berasal dari Desa Jangkang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis adalah buruh angkat pedagang antar-pulau. Hidupnya miskin, karena upah yang diperolehnya paling banyak Rp10 ribu per hari. Upah itu, hanya cukup untuk dua kali makan seorang bujangan.

Tumingan, selama dua tahun, juga pernah mencoba menjadi petani kelapa di pedalaman Kabupaten Indragiri Hilir, sekaligus bekerja sambilan di pabrik kopra kecil-kecilan atas ajakan pamannya. Namun hasilnya tidak memadai dan hidupnya tetap saja dalam belenggu kemiskinan dan penderitaan. ‘’Sebelum menjadi petani sawit, hidup saya benar-benar bagai bulan kesiangan, selalu lesu, pucat tanpa gairah. Sekarang, setelah menjadi petani sawit, bulanan selalu dapat uang jutaan. Alhamdulillah...,’’ kata Tumingan sumringah.

Awal ikut TSM Mekar Sari di Kamparkiri, Tumingan hanya dapat lahan garapan sekapling lahan sawit berukuran 18.000 M2 atau hampir 2 hektare. Tapi saat ini--setelah hampir 20 tahun-- lahan garapan sawit miliknya sudah 10 kapling atau sekitar 20 hektare luasnya. ‘’Sudah cukup untuk saya, keluarga dan menyekolahkan anak-anak sampai tamat perguruan tinggi,’’ kata Tumingan bangga, seraya menyebut anak tertuanya sudah tamat FKIP Universitas Islam Riau dan yang nomor dua saat ini di Fakultas Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Qasim.

Cerita lelaki berputra empat ini, setiap hektare kebun sawitnya bisa menghasilkan dua sampai tiga ton buah sawit per panen, bergantung pupuk dan musim. Bila harga sawit sedang bagus mencapai Rp1.400 per kilogram, maka dari setiap kapling lahan sawitnya, Tumingan bisa memperoleh uang lebih Rp8 juta. ‘’Kalau 10 kapling ya bisa hampir Rp100 juta. Tapi itukan pendapatan kotor, belum dikurangi biaya pupuk, ongkos angkut dan lain-lain. Kalau harga sawit lagi bagus, minimal Rp5 juta sampai Rp6 juta per kapling alhamdulillah dapat di bawa pulang ke rumah,’’ ungkap Tumingan.

Dulunya, hasil berkebun sawit ditabung Tumingan untuk membeli lahan, menambah dan memperluas areal garapan kebun sawit miliknya. Tapi sekarang, hasil kebun sawit dibuat untuk membangun rumah megah, membeli kenderaan bermotor dan menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat perguruan tinggi. ‘’Sebagian uang sawit masih ada ditabung juga untuk bekal berangkat haji,’’ kata Tumingan, semangat.

Kisah sukses menjadi petani sawit, juga diceritakan Sunarto, 52 tahun, perantau asal Jawa Tengah yang kini bermukim dan berkebun sawit di Kerinci Kanan, Siak . Sunarto yang datang ke Riau bersama sejumlah perantau asal Wonogiri, Boyolali dan Seragen, pada awalnya mengikuti program transmigrasi di tahun 1994 dengan jatah lahan garapan sawit 2 hektare dari pemerintah, ditambah lahan untuk tanam palawija 0,5 hektare. ‘’Saya juga dijatahi Rp100 ribu per bulan untuk biaya hidup,’’ kata Sunarto memulai kisah hidupnya di Riau sebagai petani.

Karena niatnya merantau jauh meninggalkan tanah Jawa harus sukses, maka Sunarto bersama istrinya bersungguh-sungguh menjalani hidup sebagai petani sawit. Pahit getir awal membuka lahan dijalani Sunarto dengan iklas dan tabah. ‘’Alhamdullillah, akhirnya saya sukses sekarang ini. Menjadi petani sawit di Riau adalah pilihan yang tepat bagi saya dan istri,’’ kata Sunarto mengenang.

Selama 18 tahun bersungguh-sungguh menjadi petani sawit, lahan garapan  Sunarto sudah tidak 2 hektare lagi, melainkan telah bertambah luas menjadi 16 hektare. ‘’Sekarang, penghasilan saya antara Rp30 juta sampai Rp40 juta per bulan. Bukan Rp100 ribu lagi,’’ kata Sunarto mengenang.

Kisah petani sawit lainnya adalah kisah pasangan Darimi (58)-Jaan (55), yang memang tidak seberuntung Tumingan dan Sunarto. Darimi, perantau asal Lubuk Alung Sumatera Barat ini bertani sawit di Dusun Bakal Desa Tualang Kecamatan Tualang Kabupaten Siak. Sudah lima belas tahun lamanya mantan nelayan ini berkebun sawit. Lahangarapannya pun cuma 3 hektare saja—dari dahulu sampai sekarang— tetap 3 hektare saja. ‘’Waktu kami beli, masih semak belantara. Harganya hanya Rp800 ribu per hektare,’’ jelas Jaan.

‘’Kebun kami, sekali panen, setiap 14 hari, dapat 2 ton. Sebulan dapatlah 4 ton. Tapi harga sekarang bulan Oktober ini lagi jatuh, cuma Rp750 per kilogram sawit. Syukur masih bisa dapat Rp3 juta per bulan,’’ tambah Jaan, akhir pekan lalu.

Ketika harga sawit bagus, jelas Jaan, dirinya bersama suami bisa mendapatkan lebih Rp6 juta per bulan. ‘’Dengan uang jutaan begitu, tentu kami bisa menyekolahkan anak kami sampai tamat universitas, sekaligus juga masih bisa ditabung,’’ ungkap Jaan.

Diakui Jaan, tidak semua petani sawit di Dusun Bakal bisa hidup sukses. Ada juga tetangganya yang gagal berkebun sawit. Mereka yang gagal adalah petani yang kurang tangguh, kurang gigih dan kurang bersungguh-sungguh. Ditambah pula lahan garapan mereka kurang dari sehektare.

Camat Tualang Roni Rachmat SSTP mengungkapkan, khusus di Dusun Bakal Tualang, tempat Darimi-Jaan bermukim, terdapat 2.700 jiwa. ‘’Sebagian besar mereka memang petani sawit. Sebagian lainnya bekerja di perusahaan perkebunan sawit,’’ ungkap Roni, Kamis (25/10).

Menjadi petani sawit, dilakukan masyarakat tempatan setelah melihat banyak perusahaan membuka lahan perkebunan, juga karena banyaknya transmigrasi yang masuk berkebun sawit. Warga tempatan Dusun Bakal dahulu banyak menjadi nelayan, hanya sebagian kecil bertanam palawija. ‘’Sekarang, hampir semua kepala keluarga di Dusun Bakal itu memiliki lahan perkebunan sawit. Pilihan menjadi petani sawit tampaknya memang memberi kesejahteraan bagi mereka saat ini,’’ kata Camat Tualang.

Success story petani sawit di Riau bukan cuma cerita berlebih-lebihan dari para petani. Penelitian Prof Dr Ir Sumardjo MS, Kepala CARE IPB dan Guru Besar IPB menyebutkan, tingkat pendapatan petani sawit di Riau bisa mencapai Rp3,8 juta/ha/bulan, bersih. Maka, setiap petani sawit di Riau yang memiliki lahan sekapling saja atau hanya 2 hektare luasnya, pendapatannya bisa mencapai Rp7,2 juta/kapling/bulan.

Bahkan, petani sawit yang bercocok-tanam di lahan rawa atau gambut pun, penghasilannya bisa mencapai Rp2,9 juta/ha/bulan, bersih. Pendapatan jutaan Rupiah seperti itu, jelas Sumardjo yang juga Penyuluh Pertanian Nasional ini, menyebabkan tingkat ekonomi petani sawit di Riau tinggi-tinggi.

Hasil penelitian Sumardjo juga mengungkapkan, jumlah petani sawit di Riau mencapai 352.022 Kepala Keluarga (KK), jauh lebih besar dari petani non-sawit yang hanya 271.259 KK. Begitu pun dengan luas areal lahan garapan perkebunan, totalnya 845.230,56 hektare, melebihi luas areal perkebunan sawit milik perusahaan yang hanya 769.992,85 hektare (selengkapnya lihat tabel). Itu berarti—bila dirata-rata—setiap KK petani sawit di Riau memiliki luas lahan garapan hampir 2,5 hektare.

Menjadikan Petani Indonesia Sejahtera

Pada peringatan HUT RI tahun 1963, Presiden Soekarno dengan lantang menyampaikan pidato bertajuk ‘’Jalannya Revolusi Kita (Jarek): Tanah untuk Tani!’’ Karena negeri ini bertanah subur, Presiden Soekarno menyakini kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan dapat dicapai dengan pertanian, asal semua petani memiliki tanah garapan, bukan sebagai buruh tani!    

Keyakinan Presiden pertama RI itu—yang diungkapkannya lebih setengah abad lalu—masih relevan dengan keadaan saat ini. Menjadi petani, asal memiliki tanah garapan yang cukup, bisa hidup sejahtera. Tumingan, Sunarto dan Darimi, adalah contoh petani-petani di Riau yang bisa hidup melepaskan diri dari kemiskinan, bahkan kini bisa hidup sejahtera karena luasnya tanah garapan mereka.

Salah satu sukses dari Empat Sukses Pembangunan Pertanian Indonesia adalah peningkatan kesejahteraan petani. Salah satu solusi untuk peningkatan kesejahteraan petani itu adalah dengan menyediakan lahan garapan yang cukup untuk petani. Solusi lainnya adalah memberikan subsidi kepada petani, apakah itu subsidi bibit, subsidi pupuk, bantuan peralatan pertanian dan sebagainya.

Untuk petani sawit di Riau, beberapa kelompok tani pada awal pembukaan lahan garapannya juga mendapatkan subsidi, seperti yang dialami Tumingan dan Sunarto. Sebagaimana diungkapkan Ir H Muhibbul Basar MSi, Kepala Balai Benih Dinas Perkebunan Riau, yang menyebutkan petani sawit di 10 kabupaten/kota di Riau sebagian ada yang mendapatkan subsidi bibit unggul.

‘’Anggaran subsidi bibit sawit unggul itu, ada yang dari APBD Riau dan ada juga dari APBN. Jumlahnya milyaran Rupiah. Dengan memakai bibit sawit unggul, potensi penghasilan petani sawit Riau bisa di atas Rp3,5 juta per hektare per panen,’’ kata Muhibbul.

Sementara itu, Wakil Ketua KP3K (Komisi Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kelautan) Riau Ir H A Kadir Hamid tegas menyebutkan sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun di daerah berkomitmen untuk pro-petani, dan harus segera diwujudkan dalam bentuk program-program yang nyata. Salah satunya adalah subsidi atas harga pokok produksi petani. ‘’Negara-negara maju saja mensubsidi petaninya. Karena itu, kalau pemerintah ini punya political will pro-petani, maka subsidi untuk petani adalah keharusan,’’ kata Kadir Hamid didampingi Sekretaris Ir H Muharnes.

Kadir Hamid mencontohkan, negara maju yang mensubsidi petaninya adalah Jepang yang mensubsidi 65 persen dari harga produksi, Amerika Serikat mensubsidi 24 persen, Uni Eropa mensubsidi sampai 49 persen. ‘’Bahkan di Korea Selatan, subsidi untuk petani mencapai 74 persen. Sehingga rakyatnya mau mengelola lahan-lahan pertanian dengan sungguh-sungguh, karena hasilnya sudah pasti bisa menghidupi dan menyejahterakan,’’ kata mantan Kepala Kanwil Pertanian Riau itu.

Kalau kebijakan subsidi ini berjalan baik, tinggal memperluas tanah garapan untuk petani. Tanah garapan itu masih sangat cukup di Indonesia karena berdasarkan data yang disampaikan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) H Oesman Sapta usai bertemu dengan Kepala BPN Pusat Hendarman Soepandji pertengahan Oktober lalu, saat ini masih terdapat 4,8 juta hektare lahan terlantar yang bisa digarap. ‘’HKTI mengusulkan kepada pemerintah agar petani dapat menggarap lahan terlantar yang ada di Indonesia itu, sehingga selain dapat meningkatkan pendapatan dan mengangkat kesejahteraan petani, juga sekaligus dapat meningkatkan produksi pertanian Indonesia,’’ kata Oesman.

Kajian HKTI, dengan pemberian lahan garapan seluas 1 sampai 2 hektare untuk satu kepala keluarga petani di Jawa dan 2 sampai 3 hektare untuk petani di luar Jawa, kesejahteraan untuk petani di Indonesia diyakini dapat diwujudkan.

Itu berarti—kata kuncinya—cukup dua strategi saja untuk meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia. Pertama, komitmen pro-petani harus segera diwujudkan pemerintah dengan subsidi harga pokok produksi yang memadai seperti di negara-negara maju. Kedua, menyegerakan membagi-bagikan lahan terlantar untuk garapan petani sebagaimana usul HKTI. Dengan subsidi dan ketercukupan lahan garapan, maka tidak akan ada lagi petani di Indonesia yang miskin. Semua petani bisa sejahtera. Bukan hanya petani yang bertanam sawit saja se-perti di Riau yang bisa sejahtera, melainkan semua petani, apapun yang ditanamnya; padi, jagung, kedelai, coklat, semuanya.., akan membawa kesejahteraan bagi mereka, petani Indonesia. Buktikanlah.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook