Taman Budaya ibarat ‘anak malang’ dengan nasib yang masih ‘terombang-ambing’. Kenapa tidak, institusi budaya tersebut belum juga mendapatkan hasil positif dari perebutan hak asuh dua kementerian yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Republik Indonesia (RI).
Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru
TAMAN Budaya sebagai institusi kebudayaan memiliki peran penting dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan tempatan, salah satunya Taman Budaya Riau. Sebagai wadah yang cukup potensial, institusi ini seharusnya didukung oleh program-program terbaik dan tepat guna serta finansial memadai. Tanpa kedua hal itu, niscaya Taman Budaya tidak akan berkembang sebagaimana mestinya.
Pertanyaannya, bagaimana nasib Taman Budaya Riau (TBR) sejak berdiri pada 1981 hingga sekarang? Sebagai unit pelaksana teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau, TBR belum memberikan hasil maksimal dan masih terus melakukan pembenahan di sana-sini. Hal ini diakui Kepala Taman Budaya Riau OK Pulsiamitra beberapa waktu lalu.
‘’Kami masih menunggu keputusan dari pusat, apakah TB berinduk ke Dikbud atau Parekraf RI yang sama-sama berebut untuk mendapatkan ‘hak asuh’. Sebaiknya, Taman Budaya kembali ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti semula hingga upaya pembinaan dan pengembangan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Namun bisa dan bersedia membantu Parekraf dalam upaya promosi dan pengembangan ekonomi kreatif masyarakat. Yang jelas sampai sekarang kami belum tahu harus ‘berinduk’ ke mana,’’ ulas Pulsiamitra.
Pada Temu Taman Budaya Nasional (TBN) beberapa waktu lalu di Surabaya, digelar pula acara temu kepala Taman Budaya se-Indonesia, paling tidak ada 25 kepala yang hadir dan sepakat agar Taman Budaya kembali ke Kemendikbud RI. Alasannya, tentu saja pembinaan dan pengembangan seni dan budaya tempatan yang memang harus dilakukan. Jika berinduk ke Parekraf RI tentu saja upaya pembinaan jadi hilang karena yang diperlukan hanya produk atau hasil saja. Paling tidak, kepala Taman Budaya se-Indonesia juga siap dan mau membantu Parekraf dalam menjalankan beberapa programnya yang tidak bertolakbelakang dengan fungsi dan kerja Taman Budaya.
‘’Pembinaan kesenian, baik tradisi maupun modern yang berlandaskan kebudayaan Melayu jauh lebih penting bagi Taman Budaya, karenanya kami sebaiknya memilih Dikbud namun siap membantu Parekraf jika diperlukan. Selama ini, TBR memang berada di bawah Budpar Riau namun sampai saat ini tidak ada masalah karena program bisa berjalan meski belum maksimal karena pendanaan yang belum memadai,’’ ungkap anak budayawan Riau OK Fauzi Jamil tersebut.
Sekerat Kisah
OK Pulsiamitra menuturkan, Taman Budaya Riau (TBR) berdiri atas upaya keras OK Fauzi Jamil dan kawan-kawan pada 1981. Pendirian institusi budaya tersebut diprakarsai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan di Riau waktu itu sebagai UPT Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan. Syaratnya, pusat akan membantu jika daerah mempersiapkan kawasan untuk pembangunan fisik seperti perkantoran dan berbagai pusat latihan kesenian. Tak lengah lagi maka OK Fauzi Jamil mencari tanah dan dapatlah di kawasan TBR sekarang (bekas kebun karet) seluas 2,5 hektare. ‘’75 persen dari bangunan sekarang di bangun masa Pak OK Nizami dan tidak banyak perubahan meski kepala TBR sudah berganti-ganti sampai pula pada Saya. Tipe TBR hampir sama dengan tipe Taman Budaya se-Sumatera yakni tipe B karena luas tanahnya 2,5 hektare,’’ kata Pulsiamitra.
Sejak berdiri hingga sekarang Taman Budaya Riau pernah berpindah hak asuh dari Kanwil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau. Pasalnya, pada 2001 silam terjadi perubahan yakni Dikbud hanya menjadi Dinas Pendidikan saja maka TBR diasuh oleh Budpar Riau bersama Museum Sang Nila Utama sebagai UPT. Pernah pula berganti nama dari Taman Budaya Riau menjadi Balai Penelitian dan Pengkajian (BPP) Budpar Riau pada 1999 dan kembali ke Taman Budaya pada 2008 lalu.
‘’Kami berazam menjadikan Taman Budaya Riau sebagai kampung Melayu dan diharapkan akan bisa terwujud, maksimal 15 tahun mendatang sebab saat ini masih dalam proses penggarapan menuju ke sana. Kalau masih seperti ini, kami kesulitan untuk mendapatkan dana APBN dan mudah-mudahan tahun depan sudah bisa dipastikan pusat. Kemendikbud bahkan berjanji jika daerah tidak diperhatikan Taman Budaya sama sekali tetap akan jadi tanggung jawab pusat,’’ ulas Pulsiamitra.
Seiring perjalanan waktu, Taman Budaya Riau terus berbenah untuk tetap di rel-nya yakni melakukan pembinaan seni dan budaya Melayu Riau. Walaupun tidak sekali dua pula melakukan kekhilafan seperti memberikan wadah bagi seni-seni yang tidak berlandaskan budaya Melayu dan menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan termasuk seniman/budayawan. Selama bertahun-tahun, TBR pernah menjadi wadah bagi helat seni populer, bahkan musik bawah tanah alias underground serta lainnya.
Menanggapi hal itu, Pulsiamitra mengharap TBR harus kembali ke tugas pokok dan fungsinya namun tentunya harus pula kembali ke Dikbud sebagai wadah pembinaan dan pengembangan kesenian daerah. Jika di bawah Parekraf yang berjanji akan menjadikan Taman Budaya sebagai ujung tombak maka akan ‘halal’ bagi Taman Budaya berbagai kesenian untuk ditampilkan seperti dangdut koplo, underground, seni-seni barat yang tidak mendidik dan sebagainya. Lagipula, belum bisa dipastikan apakah Parekraf yang baru dibentuk pusat itu bisa bertahan lama seperti kementerian pendidikan dan kebudayaan. ‘’Jangan sampai lagi tampil seni-seni yang bukan berlandaskan kebudayaan kita di sini. Taman Budaya harus tetap kami jaga dan pertahankan sebagai wadah tepat untuk pembinaan dan pengembangan kebudayaan, salah satunya seni,’’ ujarnya mengakhiri.***