Oleh Intsiawati Ayus., SH., MH
PROFESI sebagai advokat ataupun anggota Dewan bagi saya pada hakikatnya tak begitu banyak beda. Jika seorang advokat mendampingi para pihak atau masyarakat yang mencari keadilan atas masalah hukum, maka kewajiban seorang anggota Dewan juga mendampingi para pihak dan masyarakat agar terpenuhi hak-haknya. Dalam konteks memperjuangkan hak keduanya berada di sisi yang sama.
Bagi saya, setiap profesi menjadi mulia karena nilai manfaatnya. Seseorang yang menjadikan profesinya semata-mata an sich untuk mengejar profit maka pasti pada akhirnya akan mengalami kegersangan nilai. Jika hanya terfokus pada keuntungan materi saja, secara perlahan namun pasti nurani kemanusiaan kita akan layu dan mati. Oleh karena itu, di samping menimba profit, setiap profesi selayaknya menyisihkan zakatnya.
Zakat dalam pengertian asalnya sebagai kewajiban agama, yaitu menyisihkan sekian persen penghasilan kita untuk diserahkan kepada fakir-miskin atau mustahik yang berhak, sedangkan bentuk ‘zakat profesi’ bisa dilakukan pula melalui pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai advokat, bentuk zakat profesi dalam pengertian kedua ini bisa dilakukan melalui berbagai cara, dan di antaranya adalah memberikan advokasi hukum kepada masyarakat tak mampu secara cuma-cuma.
Zakat profesi inilah yang menjadi tabungan sosial yang pada gilirannya melahirkan kepercayaan publik. Sekecil apapun bentuk pengabdian atau pelayanan kita kepada publik, balasan yang Kita dapat insya Allah akan jauh lebih berarti dan di luar perkiraan kita.
Demikianlah, keterpilihan saya sebagai wakil daerah, agaknya lebih karena berkah dari ‘zakat profesi’ yang pernah saya sisihkan tersebut. Kantong-kantong suara dan dukungan basis masa pada Pemilu DPD RI Pertama (2004) ternyata banyak saya peroleh dari orang-orang atau kelompok masyarakat yang pernah saya bela kasus hukumnya atau melalui bantuan lainnya.
Tak bisa dinafikan, profesi advokatlah yang memang mengantar saya menjadi anggota DPD-RI. Pertama, spirit advokat adalah menempatkan dirinya menjadi lawan atas ketidakadilan. Inilah bagian penting yang membangunkan kesadaran politik saya untuk turut berkiprah dalam perubahan. Kedua, melalui tabungan penghasilan yang saya peroleh sebagai advokat, cukup rasanya untuk modal menyiapkan atribut kampanye ala kadarnya. Ketiga, bekal keilmuan di bidang hukum di kemudian hari menjadi aset penting terkait kerja anggota parlemen di bidang legislasi.
Jika kemudian ada anggapan bahwa suara bisa dibeli, maka kepercayaan (trust) rakyat justru sebaliknya. Salah satu bukti penting adalah Pemilu DPD RI Kedua (2009); kompetisi yang begitu berat karena jumlah kandidat yang dua kali lebih banyak. Alhamdulillah, perolehan suara saya bertambah 20 persen tanpa harus membeli suara atau mengeluarkan biaya politik yang lebih besar. Mungkin memang kerja setelah menjadi politisi adalah bukan bersifat ‘zakat’ lagi tapi sepenuhnya menjadi ’infaq profesi’. Segala daya memang harus diupayakan insya Allah untuk mengabdi dan melayani publik.
Pada intinya, kepercayaan (trust) publik secara umum dibedakan dua jenis, ada yang bersifat politik (political trust) ada juga yang bersifat sosial (social trust). Kepercayaan yang bersifat politik tumbuh karena performa (kinerja) kita, sedangkan kepercayaan sosial (social trust) tumbuh karena perilaku atau kepribadian kita di depan publik. Oleh karena itulah, tagline sekaligus do’a saya dalam berbagai atribut kampanye adalah ‘Insya Allah Tetap Amanah’.
Hal ketiga sebagaimana saya sampaikan di atas, dari sisi keilmuan, profesi advokat pulalah yang kini banyak menunjang kerja saya sehingga saya nyaman bercengkrama dalam dunia legislasi parlemen. Pada dasarnya materi kerja legislator sama dengan materi profesi advokat: yaitu Undang-Undang. Begitu pula ruang sidang sebagai arena ‘defending the argument’.
Sekian periode saya terpilih untuk menjadi pimpinan di Panitia Penyusunan Undang-Undang (PPUU) dan dipercaya teman-beberapa kali menjadi Ketua Tim Panitia Kerja UU, bahkan saat ini terpilih menjadi pimpinan Tim Litigasi DPD RI, serta Badan Pekerja MPR yang pemilihannya sangat selektif. Para anggota Dewan yang duduk biasanya dipilih dari mereka yang terutama berlatar belakang hukum.
Pengalaman yang saya alami inilah barangkali bisa menjadi penjelasan mengapa para advokat kita sejak zaman Pergerakan Nasional dulu banyak yang berpindah haluan ke bidang politik. Tak heran jika Daniel S.Lev, Guru Besar Ilmu Politik AS, pernah mengemukakan fakta sejarah bahwa para advokatlah yang menginspirasi gerakan politik di Indonesia kemudian mendirikan partai-partai politik sehingga mereka duduk sebagai pimpinan partai, di kursi legislator, maupun pemerintahan.
Spirit advokat memang memberikan warna bagi aktivis dunia politik. Advokat adalah salah satu pilar penting bagi tegaknya hukum dan rasa keadilan warga negara. Mengingat interaksinya yang tinggi dengan masyarakat, para advokat pulalah yang selayaknya menjadi edukator hukum bagi masyarakat. Oleh karena itu para advokat dituntut untuk menjadi teladan dan selalu berbenah diri agar senantiasa bekerja profesional dan teguh dalam menjalankan amanah untuk memperjuangkan keadilan.
Kita berharap ke depan organisasi advokat kita semakin solid. Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) adalah salah-satu organisasi profesi advokat yang sah di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Adanya organisasi advokat yang kuat tentu akan mendukung proses reformasi hukum dan reformasi institusi hukum di Republik ini. Selamat Bermusyawarah.
*Anggota PERADI, Anggota DPD/MPR RI Dapil Riau