Keturunan Abdoel Hamid di Washington, Amerika Serikat, nyaris putus hubungan dengan keluarga adiknya, Abdoel Manap, di Probolinggo, Jawa Timur. Namun, berkat jejaring sosial Facebook, keluarga yang terpisah selama 70 tahun itu akhirnya bertemu.
MUHAMMAD IQBAL, Probolinggo
KELUARGA Abdoel Manap tidak pernah menyangka bahwa akhirnya bisa bertemu dengan keluarga kakaknya, Abdoel Hamid, yang tinggal di Amerika. Pasalnya, jarak yang sangat jauh dan waktu yang sangat lama telah memisahkan mereka. Apalagi, Abdoel Hamid meninggal dunia pada 1999. Tidak ada lagi yang tahu persis asal usul Abdoel Hamid di Indonesia.
Tapi, suratan takdir berkata lain. Meski nyaris "kematian obor" dua keluarga kakak-beradik yang terpisah selama 70 tahun itu pun bisa berjumpa. Uniknya, meski mereka saudara sepupu, keluarga Abdoel Hamid menjadi "bule" semua, sedangkan keluarga Abdoel Manap tetap Jawa. Bahasa komunikasi mereka pun berbeda. Yang satu menggunakan bahasa Indonesia, satunya lagi berbahasa Inggris.
Tak mengherankan bila pertemuan dua keluarga itu menarik perhatian para tetangga Abdoel Manap di RT 5, RW 4, Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, Probolinggo. Rumah Abdoel Manap menjadi ramai karena mendapat tamu istimewa keluarga Abdoel Hamid yang diwakili Kathleen Marfiah Suprata, anak ketiganya, beserta suami dan seorang anaknya. "Ini pertemuan Lebaran yang paling mengesankan bagi keluarga saya," ujar Abdoel Manap yang kini berusia 83 tahun.
Menurut cerita Bambang Heri Wahyudi, anak Abdoel Manap, komunikasi kakak-beradik itu kali terakhir terjadi pada Februari 1974 atau sekitar 38 tahun silam. Saat itu sang kakak, Abdoel Hamid, sudah menetap di Washington, Amerika Serikat. Dalam surat terakhir itu, Abdoel Manap mengabarkan bahwa ayah mereka, Abdurrahman, meninggal dunia.
"Entah mengapa, sejak itu komunikasi di antara mereka seperti terputus," terang Yudi -panggilan Bambang Heri Wahyudi- kepada Radar Bromo (JPNN Group), Sabtu (25/8) lalu.
Surat-surat dari Probolinggo ke Washington tak pernah lagi mendapat balasan. Hubungan keduanya seolah telah putus. Bahkan, Abdoel Manap tidak tahu bahwa kakaknya, Abdoel Hamid, meninggal pada 1999 karena serangan jantung. Padahal, sebelumnya dua bersaudara itu memberikan kabar perihal kondisi keluarga masing-masing.
Kedunya juga saling berkirim foto setelah berpisah sejak 1942, semasa penjajahan Jepang di tanah air.
Ihwal perpisahan dua bersaudara tersebut terjadi ketika Abdoel Hamid mendaftarkan diri menjadi siswa di sekolah pelayaran milik pemerintah Jepang yang berkedudukan di Singapura pada 1942. Nama sekolahnya, Shonan Seinin Yoshesho. Shonan dalam bahasa Jepang berarti Singapura, seinin berarti pemuda, dan yoshesho berarti pelayaran.
Setelah dia tiga tahun di Singapura, Jepang kalah perang oleh tentara sekutu yang berakibat geopolitik tanah air pada 1945 berubah drastis. Karena takut ditangkap sekutu lantaran dianggap bagian dari tentara Jepang, Abdoel Hamid bersama temannya, Husaini yang berasal dari Magelang (Jateng), lari ke Sarawak, Malaysia, untuk bersembunyi.
Setelah situasi aman, mereka kembali ke Singapura. Untuk menghilangkan jejak, mereka mengubah identitasnya, termasuk tempat kelahiran keduanya. Abdoel Hamid berubah nama menjadi Ketut Ida Suprata, sedangkan Husaini menjadi Ketut Ida Sumarta. Keduanya mengaku berasal dari Denpasar, Bali.
Selanjutnya, Abdoel Hamid (dengan nama barunya, Red) bekerja di kapal Inggris. Beberapa waktu kemudian dia pindah ke kapal Amerika. Saat kapal Amerika itu pulang ke negaranya dan berlabuh di New York, Abdoel Hamid alias Ketut Ida Suprata memutuskan keluar dan mencari perlindungan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington.
Di KBRI Washinton, Ketut Ida Suprata bertemu dengan Mukarto, salah seorang staf asal Indonesia, dan menceritakan kejadian yang dialami. Oleh Mukarto, dia ditolong dan dipekerjakan di KBRI. Singkat cerita, Ketut Ida Suprata akhirnya menetap di Negeri Paman Sam dan menikah dengan Terry, warga Amerika keturunan Prancis.
Pasutri berbeda kebangsaan itu dikaruniai empat anak. Yakni, Daniel Rogers Suprata, Steven Ida Suprata, Kathleen Marfiah Suprata, dan Michael John Suprata.
"Perjalanan hidup Pakde (Abdoel Hamid) mulai Singapura menuju Sarawak kembali ke Singapura hingga berlabuh dan berkeluarga di Washington itu diceritakan melalui surat kepada ayah saya," cerita Yudi.
Namun, kabar meninggalnya Abdurrahman, bapak dua bersaudara itu, nyaris memutuskan komunikasi mereka. "Nyaris terputus. Paman (Ketut Ida Suprata/Abdoel Hamid, Red) tidak pernah berkirim surat lagi. Berkali-kali dikirimi surat tidak pernah dibalas hingga sekarang," imbuh pegawai Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Probolinggo itu.
Didorong rasa penasaran, awal 2012 Yudi berspekulasi mencari keluarga ayahnya yang tinggal di Amerika melalui Facebook. Di situs jejaring sosial itu dia menemukan tiga nama dengan akhiran "Suprata". Yakni Steve Suprata (Steven Ida Suprata), Kathi Suprata (Kathleen Marfiah Suprata), dan Mikey Suprata (Michael John Suprata).
"Karena wajah ketiganya mirip dengan wajah Indonesia, akhirnya saya mencoba untuk mengirimkan pesan lewat inbox kepada tiga akun Facebook tadi pada Maret 2012. Isinya, saya bisa jadi keluarga Anda yang berada di Indonesia," kata Yudi.
Pesan yang ditulis Yudi baru mendapat balasan pada Mei lalu dari Kathi Suprata. Perempuan 54 tahun berwajah Indo itu meminta Yudi berkomunikasi melalui e-mail saja, bukan Facebook.
"Untuk meyakinkan Kathi bahwa kami ada hubungan saudara dengan Ketut Ida Suprata, saya mengirimkan foto yang pernah dikirim Ketut Ida Suprata melalui suratnya dulu. Termasuk foto dia semasa kecil bersama orang tuanya (Ketut Ida Suprata) dan foto bapak saya sekarang, barangkali ada kemiripan, serta foto rumah di Probolinggo," jelasnya.
Setelah itu, Kathi baru bisa yakin bahwa antara dirinya dan Yudi memiliki hubungan keluarga. Keduanya pun kian sering berkomunikasi via e-mail. Dari komunikasi itu, Yudi menjadi tahu bahwa pakdenya, Ketut Ida Suprata, meninggal pada 1999. Begitu pula, kabar Daniel Rogers Suprata (putra sulung Ketut, Red) yang meninggal pada 2010. Sedangkan Terry Suprata, istri Ketut, kini tinggal di Maryland, AS.
Akhirnya, Kamis lalu (23/8) Kathi bersama suami dan seorang anaknya terbang ke Indonesia. Mereka tiba di Bandara Juanda, Surabaya, pukul 18.00 dan disambut Yudi beserta keluarga besarnya.
Dari pembicaraan Kathi dan keluarga Probolinggo, diketahui bahwa Ketut Ida Suprata tidak pernah menceritakan soal keluarganya di Indonesia. Karena itu, yang diketahui Kathi, ayahnya berasal dari Bali, bukan dari Jawa, apalagi Probolinggo. Kathi sendiri sempat berencana hendak ke Bali pada Januari 2012 untuk mencari asal usul bapaknya. Namun, dia bingung bagaimana mencarinya.
"Hingga sekarang, kami belum tahu apa alasan Pakde tidak pernah menceritakan asal usulnya yang sesungguhnya. Termasuk perihal keluarganya di Probolinggo," kata Yudi.
Saat Radar Bromo kemarin berkunjung ke rumah Abdoel Manap, suasana akrab menyelimuti pertemuan dua keluarga yang telah dipisahkan 70 tahun itu. Keduanya saling berbagi cerita. Yang satu berbahasa Inggris, satu lagi berbahasa Indonesia. "Saya yang menjadi penerjemahnya," tandas Yudi. (*/c4/ari/jpnn)