Kalaupun Pekanbaru memiliki ruang terbuka hijau atau taman kota milik publik, masih belum representatif. Sebab, belum memanusiakan manusia dengan fasilitas yang layak. Sehingga kawasan padat lalu lintas seperti di Tugu Selais jadi tongkrongan favorit. Digagas ide, kompleks perkantoran Wali Kota dijadikan taman terbuka representatif
Laporan MUHAMMAD HAPIZ, Pekanbaru
BARU tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru dari Jakarta, Beni (38) dijemput teman lamanya. Penasaran seperti apa Kota Pekanbaru, ia yang tiba di jam penerbangan malam, langsung meminta diri untuk menyetir sendiri mobil milik temannya tersebut. Memasuki Jalan Sudirman, ia cukup tercengang dengan perkembangan Kota Pekanbaru yang 15 tahun lalu pernah dikunjunginya.
Ditengah asyiknya ia berkendara sambil bercerita hendak menuju hotel tempatnya menginap tidak jauh dari Plaza Sukaramai Jalan Sudirman, Beni terkejut dan sempat mengerem mendadak diujung turunan Fly Over mendekati Kantor Wali Kota Pekanbaru persisnya depan Tugu Air Mancur yang sekarang lebih dikenal dengan Tugu Selais. Ia nyaris menabrak pengendara sepeda motor yang baru akan parkir di sekitar bundaran Air Mancur Tugu Selais. Dan lebih terkejut pula, saat melihat banyaknya warga kota yang ramai di ‘’areal berbahaya’’ tersebut.
‘’Sedikit lagi tertabrak sepeda motor itu. Untung saja masih sempat mengerem. Kok bisa-bisanya tempat seperti itu jadi tempat nongkrong. Kan berbahaya. Di tengah turunan fly over, tentu kendaraan melaju cukup kencang. Pekanbaru sepesat ini perkembangannya apa tidak ada tempat nongkrong seperti alun-alun kota atau taman kotanya? Apa pemerintah dan polisi membiarkan saja di tengah jalan parkir kendaraan dan orang-orang pada nongkrong sehingga bisa membayakan diri mereka dan pengendara yang lewat,’’ celutuk Beni kesal.
Kekesalan Beni patut menjadi cermin arah kebijakan pembangunan Kota Pekanbaru khususnya penyediaan ruang terbuka (open space). Areal Tugu Selais dan hiasan air mancur diterangi lampu berwana jingga di malam hari, memang terkesan sejuk dan bernuansa estetika sehingga menarik minat warga kota untuk bersantai menikmati malam hari. Bunyi gemericik air ditambah udara malam nan sejuk, mengalahkan rasa takut warga yang ingin bersantai di Tugu Selais dengan terlebih dahulu melintasi jalan raya jalur cepat di jantung kota bertuah itu.
Biasanya warga yang ingin bersantai (didominasi anak muda), akan memarkirkan kendaraannya dekat lingkaran Tugu Selais. Laju kendaraan dari Sudirman menuju Bandara, akan terganggu dengan kendaraan parkir ini saat hendak menaiki fly over, khususnya pada pukul 20.30 WIB-22.30 WIB. Begitu juga arah sebaliknya. Pengendara yang melaju kencang diturunan, kerap mendapati orang atau sepeda motor yang melintas atau parkir diareal Tugu Selais. Kondisi ini tentunya membahayakan, baik warga yang ingin bersantai di Tugu Selais maupun pengendara.
Bukan hanya soal keberadaan Tugu Selais yang ramai dijadikan tempat nongkrong ‘’berbahaya’’ di malam hari, tapi secara menyeluruh masih kurangnya keberadaan taman kota atau ruang terbuka hijau yang representatif dan layak. Kalaupun ada, open space di Kota Pekanbaru gersang dengan tanaman seperti halnya Taman Kota Garuda Sakti, atau hanya dijadikan ‘’tempat khusus’’ bagi muda-mudi di malam hari karena kurangnya penerangan seperti Taman Kota Jalan Diponegoro, Stadion Utama Jalan Naga Sakti dan Areal Stadion Rumbai.
Diinvetarisir, ruang terbuka publik dalam bentuk taman kota di Pekanbaru, belum ada penambahan dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini. Sebut saja Taman Kota Jalan Diponegoro (samping Hotel Arya Duta), Hutan Kota belakang Gedung Balai Adat Melayu Riau, Rumbai didepan Stadion dan Taman Kota Garuda Sakti Panam yang hanya berupa hamparan tanah kuning gersang dengan banggunan sekitar 6x5 meter diatasnya, berikut sedikit jalan setapak terbuat dari Batako.
Itupun, Pemko Pekanbaru malah berencana menggusur Taman Kota Garuda Sakti untuk dijadikan rumah sakit. Terakhir, ada areal terbuka di Jalan Naga Sakti tepatnya Stadion Utama, namun nyaris sama sekali tidak dikelola hingga menjadi ‘’sarang’’ kejahatan karena memang belum resmi diserahkan kontraktor kepada Pemprov Riau. Agak mendekati representatif Taman Kota Jalan Diponegoro samping Hotel Arya Duta. Memiliki tajuk pepohonan yang rindang, penampungan air, ruang santai dan sarana kesehatan, menjadikan areal tersebut banyak dikunjungi warga. Tapi sayangnya areal tersebut terbatas, sebab di malam hari ditutup dan minim penerangan.
Kalau diamati, areal-areal yang dijadikan taman terbuka yang ada, bisa diartikan tidak memanusiakan manusia. Idealnya, taman terbuka memilik fungsi sosial dan ekologis. Fungsi sosial diantaranya menjadi sarana bermain dan berolahraga, tempat berkomunikasi sosial, peralihan dan menunggu, mendapatkan udara segar, pengubung satu tempat ke tempat lain, pembatas diantara massa bangunan, sarana penelitian, penyuluhan dan menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan. Disampimg fungsi penting dalam memperbaiki iklim mikro, menyerap air hujan, pengendali banjir dan tata air serta memelihara ekosistem plasma nutfah.
‘’Kalaupun ada penataan kawasan untuk taman terbuka yang cukup ramai seperti di bawah Jembatan Siak I dan Siak III, itu tidak representatif. Sebab berada di pinggir sungai yang menyajikan pemandangan kurang mengenakkan. Atau areal sekitar MTQ, itu kawasan terbatas dan tidak diperuntukkan bagi open space sehingga warga memanfaatkan pinggir jalan dan itu juga tidak sesuai dengan estetika juga berbahaya. Taman terbuka representatif itu seperti areal Masjid Agung An-nur. Tapi karena areal peribadatan Umat Islam, tidak juga layak disebut taman kota yang representatif. Areal publik hijau tidak boleh berupa simbol SARA. Menurut saya, yang paling representatif itu, taman terbuka di eks kantor PU Jalan Ahmad Yani dan lahan Kantor Wali Kota Pekanbaru saat ini. Kan sudah diwacanakan juga bakal dipindah,’’ ucap pengamat perkotaan yang juga Ahli Perencanaan Wilayah dari Universitas Islam Riau, Ir Mardianto Manan MT.
Rencana memindahkan Komplek perkantoran Wali Kota saat ini sudah disampaikan Wali Kota Pekanbaru Ir Firdaus MT melalui Draft Rencana Pembanguanan Jangka Menengah (RPJM). RPJM itu sendiri sudah dibahas dan disahkan bersama DPRD Pekanbaru. Perkantoran Wali Kota Pekanbaru rencananya akan dipindahkan ke Kecamatan Tenayan Raya. Sayangnya, kepindahan tersebut juga diiringi dengan wacana eks perkantoran Wali Kota dijadikan areal dan gedung tambahan bagi Bank Indonesia.
Mardianto menilai, letak perkantoran Wali Kota berada di jantung Kota Pekanbaru dan jika dijadikan kawasan terbuka hijau dengan arti sebenar-benarnya, maka hak-hak warga atas ruang publik mulai terpenuhi. Kawasan tersebut bisa ditata sedemikian rupa, bukan hanya penyiapan pepohonan yang rindang, areal santai dan bermain, tapi juga lahan parkir yang layak.
‘’Bisa saja dibuat lahan parkir luas dibawah tanah. Pohon besar yang bertajuk jika ingin langsung ada, bisa dipindahkan dari satu tempat seperti yang pernah dilakukan ITB. Artinya, jika ada keseriusan Pemerintah Kota untuk mewujudkan kawasan terbuka yang layak dengan arti sebenar-benarnya, tidak sekedar memenuhi ketentuan perundang-undangan saja, maka lahan perkantoran Wali Kota sekarang sangat tepat,’’ ucap Ketua Jurusan Perencanaan Wilayah dan Tata Ruang (Planogi) UIR ini.
Sebuah kota tanpa memiliki ruang terbuka yang layak diibaratkan Mardianto seorang manusia tanpa beragama sehingga gersang dan tandus. Kota-kota besar sebutnya memberikan open space kepada publiknya dengan pandangan pemenuhan hak-hak publik untuk ‘’merehabilitasi’’ psikisnya setelah lelah beraktivitas. Seperti halnya Singapura yang mengalokasikan hampir separuh dari luas wilayahnya sebagai Taman Kota. Di Amman, Yordania, luas taman kotanya mencapai 12 persen wilayah. Atau Central Park di New York City yang memiliki taman kota terkenal didunia dengan luas 3,41 Km2.
‘’Atau kita lihat di Pulau Jawa, terkenal dengan sebutan Alun-alun kota. Areal tersebut memang berada di jantung kota dan menjadi kawasan yang asik untuk bersantai bersama keluarga. Di Jogjakarta, Malang, Kota Batu, alun-alun kotanya dilengkapi areal permainan anak-anak selain tempat yang hijau,’’ ucap pria Kelahiran Pangean, Kuansing ini.
Setakat ini, sebut Mardianto, Pemko Pekanbaru hanya berusaha memenuhi luasan ruang terbuka hijau sebagaimana diamanatkan UU no 26 tahun 2007 tentang tata ruang. Dalam aturan ini, diamanatkan penyediaan ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari total wilayah, dimana 20 persen milik publik (pemerintah) dan 10 persen privat.
‘’Kalau dihitung kuantitas, jumlah ini sudah terpenuhi di Pekanbaru. Kan banyak ruang terbuka hijau, tapi milik privat seperti Alam mayang, areal perkantoran, rumah dan lainnya. Tapi yang milik Pemko, masih kurang. Dan yang adapun milik publik, belum reprsentatif. Dan ini berbahaya bagi generasi muda Kota Pekanbaru karena pemenuhan hak atas ruangnya tidak terpenuhi. Pemko Pekanbaru harus memikirkan hal ini mulai saat ini,’’ ujarnya.
Pengamat perkotaan yang juga ahli enggenering Universitas Riau, Dr Muhammad Iksan MSc memiliki pandangan sama terhadap belum adanya ruang terbuka yang representatif di Kota Pekanbaru. Ia juga setuju jika kompleks perkantoran Wali Kota diubah menjadi ruang terbuka hijau jika nanti rencana pemindahan direalisasikan.
‘’Sebenarnya saya tidak setuju kantor Wali Kota dipindah. Tapi sudah dimasukkan dalam RPJM. Yang jelas penyediaan taman terbuka yang layak harus dilakukan Pemko Pekanbaru. Bisa pula lahan Taman Bermain Putri Kaca Mayang dijadikan Taman Kota. Lahannya kan milik Pemprov Riau. Bisa saja kan dijadikan ruang publik,’’ tutur Iksan.
Lebih jauh M Iksan menyorot, jika Pemko Pekanbaru serius menciptakan ruang publik hijau yang representatif, selain menyiapkan areal khusus, bisa saja bekerjasama dengan berbagai instansi. Seperti dengan Unri yang memiliki ruang hijau yang belum termanfaatkan secara maksimal. Pemko Pekanbaru sebut Iksan bisa memberi insentif atau dana hibah ataupun memberikan perlengkapan untuk kawasan publik Unri jalan HR Subrantas.
‘’Sebenarnya bisa kan kalau mau kerjasama dengan Unri. Unri punya ruang hijau yang luas, tapi belum tergarap maksimal. Jika Pemko Pekanbaru ingin, bisa dilengkapi fasilitasnya sehingga semakin ramai. Lihat saja dengan kondisi seadanya, ramai dikunjungi warga,’’ jelas Iksan.
Melihat fenomena ‘’belum tersedianya’’ open space yang representatif di Kota Pekanbaru, menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pemko Pekanbaru untuk mewujudkannya. Apalagi semakin lama, warga kota semakin sadar dengan hak-hak nya atas kebutuhan ruang publik. ‘’Jika tidak disiapkan dari sekarang ruang publik layak, tidak menjamin di masa akan datang lebih mudah mengadakannya sebab ekonomi semakin tumbuh dan lahan akan dilihat dari sisi komersial,’’ tutup Iksan.***