KEBANGKITAN ISLAM DI GRANADA, BENTENG TERAKHIR ISLAM DI EROPA (1)

Hamparan Zaitun Penuhi Bukit dan Lembah

Feature | Sabtu, 28 Juli 2012 - 09:57 WIB

Hamparan Zaitun Penuhi Bukit dan Lembah
Kota Granada dipandang dari benteng Alhambra di Bukit La Sabica, Kamis (26/7/2012). (Foto: ABDUL ROKHIM/JPNN)

Laporan ABDUL ROKHIM, Granada

Wilayah Andalusia di Spanyol Selatan adalah situs yang tak bisa diabaikan dalam proses terbentuknya Eropa mutakhir.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Dari kawasan seberang Afrika Utara itulah terletak pondasi bagi ekonomi, ilmu pengetahuan, seni, dan budaya Eropa modern.

Meskipun satu daratan, secara kasat mata, akan terlihat perbedaan antara wilayah Spanyol Selatan dan Utara, bahkan dengan semua kota utama di Eropa seperti Roma, Paris, London, dan Athena.

Dari jendela kereta Renfe Alteria yang bertolak dari Stasiun Enricho Renfe di jantung Kota Madrid, perbedaan itu terlihat dari kontur alam yang berbukit-bukit, desain bangunan, serta warga asli Spanyol Selatan yang disapa dan diajak berbincang di sepanjang perjalanan selama 5,5 jam.

Memasuki wilayah Granada, hamparan bukit-bukit yang penuh dengan tanaman zaitun, asparagus, dan apel langsung menggantikan pemandangan bangunan flat, kawasan pergudangan, dan hamparan perumahan yang selalu terlihat saat masih di wilayah Madrid, masuk Getafe, hingga Manzanare.

Rakesh Saldanha, warga Inggris keturunan India yang sudah 20 tahun bekerja dan menetap di Granada, menceritakan, di Spanyol Selatan yang meliputi wilayah Granada, Cordoba, dan Sevilla, iklim lebih hangat.

‘’Saat musim panas ini, matahari bersinar terik sehingga suhu sama panas dengan di Afrika. Sedangkan jika musim dingin, meskipun kadang ada salju, dinginnya tak seekstrem di (Spanyol) Utara,’’ ceritanya sambil menenggak minuman cola dalam kaleng saat berbincang di kantin kereta api yang nyaman.

Cahaya matahari yang melimpah dan musim dingin yang pendek itu membuat 918.702 penduduk (hasil sensus 2010) di kawasan yang juga populer disebut sebagai Semenanjung Andalusia itu menjadikan agrobisnis dan turisme sebagai mesin utama perekonomian.

 ‘’Selain menghasilkan jutaan euro, dua sektor bisnis itulah yang membuat warga Selatan lebih ramah,’’ ujar Saldanha.

Ingin membuktikan cerita Saldanha, penulis mencoba menyapa beberapa penumpang yang disebut Saldanha sebagai warga asli Granada yang juga sedang melepas dahaga dan bosan di kantin kereta.

Menyusuri jalan-jalan dari stasiun ke pusat kota pekan lalu, terasa sekali bahwa Granada sedang bersolek menyambut datangnya musim panas. Musim yang ditandai dengan terang siang hingga 16 jam (mulai pukul 06.00 hingga 22.00) itu membuat sepanjang jalur pedestrian di pusat kota dipenuhi turis dari mancanegara.

Kota Granada memang memanjakan pejalan kaki. Selain jalur yang bersih, nyaman, dan aman (banyak polisi berjaga), pejalan kaki bisa menikmati pemandangan gedung-gedung dengan arsitektur unik, gabungan gaya barok yang penuh ukiran dan bukaan lebar serta gaya Timur Tengah yang ditandai dengan kubah dan lengkung.

Langkah terhenti ketika dari sebuah gang terdengar sayup-sayup lagu irama padang pasir yang akrab di telinga.

‘’Melihat peta, didapat nama bahwa kawasan itu adalah Alcaiceria. Lagu yang ternyata berasal dari sebuah kedai teh yang berimpitan dengan toko-toko suvenir di sebuah lorong itu seakan mengingatkan bahwa peradaban Timur Tengah dan Islam pernah berada di Granada.

Ingin tahu lebih banyak dan sekalian melepas penat, JPNN masuk dan duduk di dalam kedai. Sebuah papan berukir Allah dan Muhammad yang bertengger di tengah-tengah dinding bagian dalam menunjukkan bahwa pemiliknya adalah seorang muslim.

Tak seberapa lama, keluarlah pemilik kedai yang kemudian mengenalkan diri sebagai Hamidi Bennati. Tanpa diminta, dia langsung menyodorkan segelas teh rasa mint.

Tentang musik dan dekorasi nuansa Islam di kedainya, Hamidi menjelaskan, dirinya sengaja mendekorasi meja, sofa, hingga alat makan dengan hiasan khas Andalusia yang bernuansa Timur Tengah.

‘’Kami sangat ingin menjadi bagian dari kesinambungan sejarah muslim yang tak pernah benar-benar meninggalkan Granada,’’ ujar pemilik kedai yang mengaku keturunan Tunisia tersebut.

Hamidi meyakinkan, ajaran Islam yang dirinya jalani saat ini juga seperti Islam yang pernah ada di Granada dulu, yang menyebar dari Afrika Utara hingga Semenanjung Iberia dari abad ke-7 hingga abad ke-14.

Selain tradisi yang terjaga, Hamidi mendapat keuntungan karena hampir tiap tahun ribuan muslim seluruh dunia yang berlibur ke Granada mampir ke kedainya.

Bagaimana kehidupan kaum muslim di Granada? Said Abdullah yang berasal dari Pakistan dan bekerja sebagai penjual suvenir di lorong paling dekat dengan Katedral Granada mengungkapkan, pembukaan kedai-kedai teh dan toko-toko kerajinan menjadi pemicu awal kembali bangkitnya budaya Islam di Granada. Itu terjadi pada 1980-an, saat harga properti di sana masih sangat rendah. Kini harganya melambung hingga sepuluh kali lipat lebih.

‘’Sebelum kami membuka kedai dan toko, sedikit sekali orang yang berani berjalan di jalanan, terutama malam hari,’’ kata Said. Semuanya begitu lengang dan orang-orang yang kerap ditemui di jalan adalah pengguna narkoba dan pekerja seks komersial (PSK).

Titik balik komunitas Islam di Spanyol terjadi pada 1980. Sebelumnya, bersama komunitas Yahudi dan Hindu, kewarganegaraan komunitas muslim tidak diakui.

Namun, sejak berakhirnya pemerintahan junta militer Franco pada 1980 dan diterapkannya prinsip menghargai semua agama yang mengakar di Spanyol (notorio arraigo) dalam konstitusi baru, kehidupan komunitas Islam di Spanyol, khususnya Granada, kembali bergairah. Sejak itu pula, jumlah komunitas muslim bertambah, baik muslim asal warga Spanyol asli maupun muslim asal negara lain melalui imigrasi.

Menurut Said, imigran muslim itu tak hanya mengunjungi Alhambra, kompleks benteng dan istana yang dibangun pemerintahan Islam pada abad ke-14, tetapi berkunjung pula ke masjid besar yang dibangun pada 2003. ‘’Suasana dan kondisi ini membuat 20 ribu muslim di sini mulai merasa benar-benar berada di rumah sendiri,’’ ungkap Said.

Pada 2003 memang momentum kedua bagi umat Islam di Granada setelah pemberlakuan notorio arraigo. Hari itu, 10 Juli 2003, masjid pertama di Granada dibuka dengan kumandang azan, disusul peresmian oleh Syekh Sultan bin Mohammad Al Qassimi dari Uni Emirat Arab (UEA). Momentum bersejarah tersebut diabadikan dalam prasasti batu yang ada di pelataran masjid.

JPNN yang mengunjungi masjid di kawasan permukiman Albecina itu melihat bangunan yang tak banyak berbeda dari bangunan di sekitarnya. Mahmud Ali, seorang jamaah, menjelaskan bahwa bantuan dana dari donatur negara-negara muslim lainnya memungkinkan tegaknya masjid berarsitektur paduan antara biara klasik Katolik dan gereja klasik Granada tersebut.

Peristiwa sembilan tahun lalu itu, menurut Mahmud, membekas dalam ingatannya.

‘’Semoga suara azan saat itu hingga kini tidak akan lenyap lagi dari Granada. Bahkan, gemanya diharapkan mampu menembus puncak-puncak Pegunungan Sierra Nevada. Sebagaimana dulu keagungan dan kejayaan Islam terpancar dari Alhambra di Bukit La Sabica,’’ ungkap Mahmud yang saat peresmian masjid itu baru datang sebagai imigran Maroko.

Suara azan memang pernah lenyap dari menara-menara masjid Kota Granada, Spanyol, 520 tahun lalu. Tepatnya, 5 Januari 1492, setelah penguasa terakhir Granada Sultan Muhammad XII Boabdillah An Nashiriyah menyerahkan kunci benteng Alhambra kepada penguasa Spanyol Kristen, Ferdinand dan Isabella.

Sultan terakhir dari kerajaan Islam di Spanyol itu meninggalkan bumi Andalusia yang menjadi tanah air muslimin sejak tahun 711 (sekitar 800 tahun) menuju Maroko. Dia diikuti puluhan ribu umat Islam lainnya.

Sejak itu, kegiatan agama Islam pun otomatis dilarang. Masjid-masjid dirobohkan atau dialihfungsikan. Granada, pusat pemerintahan Dinasti Nashiriyah atau Banu Al Ahmar yang dibangun pada 1232 oleh Muhammad I Al Ghalib Ibnu Ahmar, berubah menjadi kota mati.

Alhambra, istana dan benteng termasyhur, ikut kehilangan pamor, redup suram. Istana dan benteng berwarna merah hasil karya puncak arsitektur umat Islam abad pertengahan yang tak tertandingi hingga kini tiba-tiba mirip rumah hantu.

Kejatuhan Granada adalah akhir dari serangkaian penaklukan tentara Kristen atas kota-kota umat Islam lainnya di Spanyol seperti Cordoba, Sevilla, Zaragoza, Toledo, Malaga, dan Almeria.

Jatuhnya Granada itu menandai hilangnya sinar Islam di semua kota yang pernah menjadi permata-permata di Eropa di abad pertengahan.(ca/ari/ila/bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook