Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu pekerjaan rumah pemimpin baru di Bumi Lancang Kuning hasil Pilgubri 2013 lalu.
Laporan MARRIO KISAZ, Pekanbaru
2013 merupakan tahun infrastruktur di Provinsi Riau. Dinamika persoalan sarana infrastruktur mewarnai di Tanah Melayu yang kerap menarik perhatian masyarakat. Dimulai dari lubang yang menghiasi berbagai ruasjalan, permasalahan pembangunan dan perbaikan jembatan Siak III dan IV, rencana pengembangan jalan tol Pekanbaru-Dumai yang tak kunjung dimulai hingga minimnya alokasi dana untuk penerapan sistem rigid pada kualitas jalan yang sudah sangat memprihatinkan.
Di Riau terdata 1.261,11 kilometer jalan nasional dan 3.033 kilometer jalan provinsi. Dari angka tersebut kerusakan ringan, sedang hingga berat masih tergolong tinggi. Untuk jalan provinsi misalnya, 645,41 kilometer atau 21,48 persen kondisi baik, 739,87 kilometer atau 24,39 persen kondisi sedang, 815,42 kilometer atau 26,88 persen dalam rusak ringan dan 832,62 kilometer atau 27,45 persen rusak berat.
Sementara untuk jalan nasional, 444,79 kilometer atau 39,50 persen kondisi baik, 477,17 kilometer atau 42,37 persen kondisi sedang, 154,90 kilometer atau 13,76 persen rusak ringan dan 49,25 persen atau 4,37 persen rusak berat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan jalan di Riau memerlukan perhatian serius. Pertama, karena kondisi tanah dasar yang sebagian besar rawa gambut. Faktor lainnya adalah kualitas jalan yang masuk dalam kategori kelas III dan sudah tergolong tua, sehingga diperlukan peremajaan dengan peningkatan kualitas untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Selain itu, beban lalu-lintas yang berlebihan dengan tonase kendaraan yang melebihi kapasitas menyebabkan kerusakan jalan di Riau kian parah. Hal itu diperparah dengan kualitas pembangunan jalan dan pemeliharaan yang kurang memadai.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau, SF Hariyanto kepada Riau Pos mengatakan, kondisi tersebut memang menjadi tantangan dalam mengoptimalkan pelayanan jasa transportasi kepada masyarakat. Untuk itu telah dicarikan berbagai solusi, mulai dari menginventarisir kawasan yang memerlukan perhatian ekstra hingga menerapkan sistem rigid pavement (beton) untuk meningkatkan kualitas jalan.
‘’Kami memberikan perhatian serius untuk kerusakan jalan itu. Kalau untuk tahan lama, memang harus dengan kualitas maksimal. Seperti dengan penerapan sistem rigid pavement,’’ ungkap Hariyanto.
Pada 2013, ia mengatakan, proses perbaikan jalan disesuaikan dengan porsi anggaran. Namun, ia memastikan, komitmen diperlihatkan dengan pembangunan jalan dengan sistem rigid sepanjang 110 kilometer yang tersebar di Riau. ‘’Kalau hanya tambal sulam, beberapa tahun sudah bisa rusak. Kami harus serius untuk itu, sistem rigid itu sudah diterapkan di negara luar, seperti di Filipina dan Thailand. Karena memang daerah kita ini 50 persen adalah gambut, maka konstruksi yang paling layak itu memang rigid,’’ tegas Hariyanto.
Sepanjang 115 kilometer jalan rigid tersebut dibangun di Dumai-Lubuk Gaung, Peranap-Lubuk Kandis (Inhu), Simpang Beringin-Maredan (Siak), Selensen-Kota Baru (Inhil), Bolak Raya-Benteng (Inhil) dan Lipat Kain-Batu Sasal (Kampar). Ini menjadi perhatian, karena ketersediaan infrastruktur, merupakan salah satu faktor penentu daya saing bagi setiap daerah.
Semakin banyak ketersediaan infrastruktur yang berkualitas maka semakin tinggi pula nilai daya saing suatu daerah, sehingga semakin besar pula peluang untuk menarik investasi ke daerah tersebut. Infrastruktur juga merupakan salah satu motor pendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Sedangkan untuk jalan nasional, ia mengaku tidak memiliki kewenangan untuk penanganannya. Namun, dalam pertemuan dengan pusat, permasalahan jalan nasional yang memprihatinkan sudah disampaikan untuk menjadi pertimbangkan.
‘’Jalan nasional menggunakan APBN. Kami sudah inventarisir dan informasi ke pusat. Memang selama ini, perhatian pusat masih minim. Padahal kontribusi kita ke pusat sangat besar. Ini yang terus kita suarakan ke pusat,’’ kesalnya.
Sementara itu, pengamat perkotaan dan konstruksi Dr Ir M Ikhsan MSc menilai salah satu faktor penyebab tingginya angka kerusakan jalan provinsi dan nasional adalah dari sisi pemeliharaan. Untuk itu, salah satu solusi yang diperlukan adalah dengan penerapan sistem rigid pavement.
‘’Sistem rigid itu saya pikir sebagai suatu keharusan. Meskipun agak mahal, tetapi kualitas jalan akan lebih baik dengan sistem rigid. Saya pikir itu solusi baik. Ya mau tidak mau harus diterapkan. Harganya memang bisa tiga kali lipat dari pemeliharaan jalan,’’ sambung akademisi Universitas Riau itu.
Ketua Komisi C DPRD Riau, Aziz Zainal menilai kondisi jalan di Riau sudah tidak tepat lagi jika dilakukan dengan sistem tambal sulam. Dengan pertimbangan itu, ia menegaskan pihak legislatif siap men-support rencana pengembangan jalan dengan sistem rigid untuk menjawab permasalahan infrastruktur di Riau, dengan catatan pengerjaan harus berkualitas dan terus diawasi.
‘’Sistem rigid atau beton memang agak mahal. Untuk rigid per kilometer diperlukan dana mencapai Rp8 miliar, sementara pengaspalan biasa cukup dengan Rp4 miliar. Tapi dari segi kualitas sangatlah jauh berbeda, kalau pengaspalan biasa hanya bertahan 2-3 tahun. Tapi kalau rigid bisa bertahan sampai 20 tahun,’’ ungkap pria berkacamata itu.
Pekerjaan rumah lain yang masih menjadi catatan permasalahan infrastruktur di tahun 2013 lainnya adalah proses perbaikan jembatan Siak III. Meskipun sempat mengalami beberapa kendala teknis yang mengakibatkan penundaan, akhirnya jembatan yang menghubungkan pusat kota dengan Kecamatan Rumbai dan Rumbai pesisir itu resmi ditutup untuk diperbaiki selama lima bulan.
Penundaan yang terjadi sempat menimbulkan kekhawatiran masyarakat tentang kemampuan jembatan dalam menampung laju mobilitas yang terus mengalami peningkatan di Kota Pekanbaru. Permasalahan lain mencul, ketika akses transportasi itu ditutup, timbul kemacetan karena arus transportasi tertumpu pada jembatan Siak I dan Siak II.
Menurut jadwal, pengerjaan perbaikan Jembatan Siak III itu bakal memakan waktu 4-5 bulan. Setelah itu baru dilakukan uji coba kekuatan jembatan kembali oleh tim teknis. Pengerjaan perbaikan jembatan dilakukan lima tahap. Untuk tahap pertama, proses persiapan pengerjaan awal selama sepekan. Kedua pengiriman material selama 2-3 pekan. Kemudian tahap ketiga lanjutan perakitan dan install (pemasangan) material hanger.
Menurut SF Haryanto, tiga tahapan perbaikan itu sudah dilalui. Kemudian tahap keempat dan kelima yakni, pelaksanaan perbaikan dan monitoring serta evaluasi. Kedua tahapan ini memang memerlukan waktu yang cukup panjang yakni 16 pekan atau sekitar empat bulan kerja.
Untuk lebih teknisnya, proses pelaksanaan perbaikan dilakukan dengan 8 tahap pengerjaan. Setiap tahap dilakukan dengan meng-adjust 3 hanger selama 15 hari untuk tiga hanger. Artinya pemasangan dan pengujian temporary hanger per satuan memerlukan waktu 5 hari. Sehingga secara keseluruhan memerlukan waktu sekitar 4 bulan. Pascapemasangan dan pengujian temporary hanger dilanjutkan dengan tahapan finalisasi, monitoring dan penyempurnaan. Pada saat ini, seluruh hanger akan dievaluasi dan kembali diuji beban untuk melihat kekuatan hanger yang baru.
‘’Jadi memang cukup rumit. Pengerjaan secara teknis memerlukan waktu yang tidak singkat, karena memerlukan kehati-hatian dan ketelitian. Untuk diketahui, proses perbaikan ini lebih rumit dari pada pemasangan awal jembatan. Karena sekali salah SOP-nya, dampaknya sangat luar biasa,’’ urai Kepala Bidan Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Riau, Ahmad Ismail.
Tidak hanya itu, permasalahan infrastruktur lainnya adalah tak kunjung tuntasnya rencana pengembangan jalan tol Pekanbaru-Dumai. Bahkan, proses ganti rugi lahan sebagai salah satu syarat mutlak untuk pengembangan akses transportasi bebas hambatan itu tidak tuntas pada 2013. Gesekan demi gesekan terus melanda, di akhir tahun 2013 merebak isu rencana pengembangn tol Pekanbaru-Dumai dicoret dalam blue print program prioritas pembangunan nasional.
Hal itu dibantah Asisten II Setdaprov Riau, Emrizal Pakis saat ditemui Riau Pos di Kantor Gubernur Riau. Penegasan itu dilakukan setelah melakukan crosscheck langsung di Kementerian PU RI dan instansi terkait di level pusat. Hanya saja, ia mengaku masih ada beberapa permasalahan yang perlu menjadi perhatian bersama. Salah satu kendala teknis yang dialami adalah adalah trase jalan yang terbentur hutan produksi konvensi (HPK) dan Hutan Produksi terbatas (HPT). Kondisi itu diperparah dengan kurang kooperatifnya perusahaan yang arealnya terkena imbas pengembangan infrastruktur tersebut.
Sebagai solusi, Pemerintah Provinsi Riau bersama tim percepatan pembangunan jalan tol Pekanbaru-Dumai telah melakukan konsultasi ke pusat, baik dari Kementerian Pekerjaan Umum RI, BPN hingga ke aparat penegak hukum di level pusat. Ini ditempuh agar rencana yang dirancang tidak menjadi kendala di kemudian hari.
Setelah melewati tahapan yang cukup panjang di triwulan akhir tahun 2013, proses ganti rugi lahan tol Pekanbaru-Dumai dimulai. Pemerintah pusat akhirnya menggelontorkan dana mencapai Rp8,6 miliar untuk ganti rugi lahan tol tahap awal di daerah Minas, Siak. Capaian itu diyakini menjadi embrio awal untuk melanjutkan proses ganti rugi di tahun 2014 mendatang.
‘’Pasca-dirampungkan ganti rugi jalan tol Pekanbaru-Dumai dan diawalinya pembangunan sepanjang 7 Km (Pekanbaru-Kandis), Pemprov Riau akan melanjutkan proses untuk 10 Km lagi. Namun, proses ini terkendala, di mana salah satunya adalah trase atau sumbu jalan tol yang harus melewati kawasan hutan,’’ imbuhnya.
Menurutnya, pihak pusat melalui Kementerian PU dan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan, sudah menunjuk UPT Balai Pengelolaan Kawasan Hutan (BPKH) Kemenhut di Pekanbaru dalam menuntaskan kendala trase di wilayah hutan. Dia mengharap hal itu menjadi solusi untuk menjawab permasalahan ganti rugi lahan tol yang sudah lama dinantikan masyarakat.
Selain itu, persoalan klasik dalam infrastruktur di Riau yang juga ditemukan pada 2013 adalah penempatan gedung baru Bank Riau-Kepri di jalan protokol Pekanbaru yang tidak terealisasi. Gedung pencakar langit yang telah menelan dana ratusan miliar itu hampir setahun tidak difungsikan karena terkendala administrasi antara pihak direksi dengan kontraktor pelaksana. Gedung yang sebelumnya diharapkan menjadi ikon baru di Bumi Melayu Lancang Kuning seakan menjadi monumen saksi bisu karut-marutnya planning pengembangan infrastruktur di Riau.
Informasi terakhir, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) akan menggelar sidang terakhir mengenai Menara Bank Riaukepri (BRK), 15 Januari 2014 di Pekanbaru. Pemprov Riau berharap sidang ini akan memberikan keputusan final terhadap gedung yang sudah setahun ini selesai namun belum bisa dipergunakan.
Harapan itu disampikan Kepala Biro Ekonomi Setdaprov Riau, Syahrial Abdi kepada Riau Pos, belum lama ini. Ia menegaskan, BUMD milik Riau yang bergerak di bidang perbankan sudah siap atas segala konsekuensi dari putusan majelis hakim.
‘’Bank Riaukepri sudah menyiapkan anggaran, sudah siap seandainya memang harus dibayarkan. Karena hasil utang akan diketahui secara keseluruhan sehingga bangunan benar-benar menjadi milik mereka,’’ lanjutnya.
Ia mengakui, selama ini proses pelunasan pembayaran utang bangunan Menara Bank Riaukepri masih terkendala. Sebab, pihak kontraktor meminta bayaran jauh lebih besar dibanding kontrak karena adanya anggaran perawatan.
Namun hal ini diakui Syahrial dapat dituntaskan dan sedang dalam proses penyelesaian.
‘’Kita berharap ini jadi jawaban untuk permasalahan yang selama ini terjadi. Mudah-mudahan tuntas dan menara bisa dimanfaatkan segera,’’ harap mantan Kepala Biro Kesra Setdaprov Riau itu.
Karut-marut situasi tersebut makin diperkeruh dengan batalnya penunjukan Rafjon Yahya sebagai Direktur Utama Bank Riau-Kepri. Untuk permasalahan ini, Pemprov Riau mengaku salah yang idealnya dilantik paling lambat 3 Desember lalu.
Apakah rangkaian pekerjaan rumah infrastruktur di Riau terselesaikan 2014 mendatang? Inilah yang menjadi salah satu tantangan besar Gubernur dan Wakil Gubernur Riau terpilih.(esi)