WACANA PEMEKARAN KOTA PEKANBARU

Untuk Pemerataan Pembangunan atau Syahwat Politik?

Feature | Minggu, 27 Oktober 2013 - 09:00 WIB

 Untuk Pemerataan Pembangunan atau Syahwat Politik?

Laporan MUHAMMAD HAPIZ, Pekanbaru muhammad-hapiz@riaupos.co

Berkembang pesat, Kota Pekanbaru bisa dimekarkan menjadi tiga kota, yaitu Pekanbaru Kota, Pekanbaru Utara (Rumbai) dan Selatan (Panam).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Rumbai masih dengan keminiman infrastrukturnya dan Panam dengan pesatnya pembangunan. Wacana lama, tapi muncul kembali. Bahkan sudah ada yang menggerakkan untuk mempersiapkan syarat administrasinya.

Sekitar empat tahun lalu ide memekarkan wilayah Pekanbaru Utara atau Rumbai dimunculkan beberapa tokoh masyarakat. Ide itu berkembang dan sempat menjadi isu hangat, namun belum sampai pada tahap persiapan teknis.

Isunya kawasan Rumbai sekitarnya (di sepanjang pesisir Sungai Siak), tidak mendapat porsi kue pembangunan secara merata sehingga jauh tertinggal dibanding wilayah lainnya dan layak dimekarkan. Malahan diibaratkan, Pekanbaru Kota sebagai kota berkilau dan Rumbai wilayah pedesaannya.

Wacana itu redup sebelum disiapkan lebih matang. Tentu saja, Pemerintah Kota Pekanbaru pada waktu itu mulai memperhatikan pembangunan wilayah Rumbai.

Apalagi, beberapa pusat strategis pembangunan sudah diarahkan ke Rumbai. Seperti stadion dan kawasan wisata dan olah raga Danau Bandar Khayangan. Begitu juga akses jalan hingga ke ujung perbatasan mulai dibenahi.

Wacana itu kini muncul kembali ditengah pesatnya perkembangan Kota Pekanbaru tapi wilayah Rumbai masih dinilai tertinggal. Agak berbeda, wacana itu muncul tidak ‘’semerbak baunya’’ ke publik.

Walau begitu, sudah sampai persiapan di tingkat kelurahan dan akan melakukan kajian akademik sebagai salah satu syarat mutlak pengajuan daerah pemekaran sebagaimana diatur didalam PP nomor 78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.

Wilayah Kecamatan yang akan diusulkan untuk dimekarkan tersebut yaitu Rumbai, Rumbai Pesisir, Senapelan, Tanjung Rhu dan Tenayan Raya.

‘’Memang ada yang datang ke kita, beberapa tokoh masyarakat untuk menanyakan persyaratan pemekaran. Mereka tidak mau disebutkan namanya. Kita sampaikan apa-apa saja syarat untuk pengajuan daerah usulan pemekaran baru sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru. Sesuai PP 78 tahun 2007 itu, kalau untuk membentuk sebuah kota minimal harus ada 4 kecamatan. Kalau kabupaten, 5 kecamatan. Untuk syarat ini, mereka menyebut sudah memenuhinya,’’ ungkap Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Riau, M Guntur MSi kepada Riau Pos, Kamis (24/10).

Sudah sejauh mana gerakan yang dilakukan dalam kegiatan pemekaran itu? Guntur enggan menjawabnya lebih detail. Alasannya, untuk pemekaran, usulan datangnya murni dari aspirasi masyarakat atau hak inisiatif dari perwakilan masyarakat, termasuk anggota legislatif.

Posisi pemerintah, sebut dia, memproses usulan tersebut untuk dibahas lebih lanjut. Apakah usulan disampaikan kepadanya sebab pernah menjabat sebagai Camat Rumbai Pesisir dulunya?

M Guntur tertawa menjawabnya. ‘’Posisi saya sekarang melayani masyarakat dibidang pemerintahan. Dulu saya memang pernah menjabat Camat Rumbai Pesisir. Dan itu berbeda. Nanti dikira politis pula. Tidak ada. Tidak ada kaitannya. Saya murni menjalankan tugas. Dan usulan pemekaran murni atas aspirasi masyarakat,’’ tegasnya.

Apakah usulan pemekaran itu akan berjalan mulus, apalagi usulan pemekaran yang sudah sejak lama diajukan seperti Inhil Selatan belum kunjung disahkan? M Guntur mengakui bahwa akan memakan waktu lama.

Apalagi, katanya, saat ini UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah akan dipecah menjadi tiga undang-undang dan paling cepat akhir Desember 2014 baru disahkan.

‘’Artinya tahun 2015 baru bisa diproses daerah pemekaran baru. Apalagi saat ini kan sudah tutup usulan pemekaran daerah baru karena ada moratorium. Untuk Riau, Insel itulah yang terakhir. Dan juga, didalam RUU Pemda yang baru itu, berbeda pointer terhadap usulan daerah pemekaran baru. Dalam RUU itu, daerah pemekaran tidak otomatis menjadi daerah otonom, tapi sebagai daerah persiapan selama tiga tahun. Setelah itu baru dikaji kesiapannya menjadi daerah otonom,’’ paparnya.

Secara kewilayahan, terutama Pekanbaru apakah memang ideal dipecah menjadi beberapa wilayah otonom seperti dikemukakan banyak pihak? M Guntur menyatakan sampai saat ini belum ada kajian akademik berapa idealnya jumlah ideal suatu wilayah.

‘’Termasuk Indonesia sendiri, sampai sekarang tidak ada kajian yang menyebutkan idealnya menjadi berapa Provinsi, berapa kabupaten/kota. Prinsipnya, pembagian wilayah untuk memperpendek rentang kendali pelayanan dan mencapat tujuan pemerataan, kesejahteraan masyarakat,’’ tuturnya.

Sejarahwan Riau yang juga penulis buku Sejarah Kota Pekanbaru, Prof Suwardi MS menimpali, memang Kota Pekanbaru bermula dari Bandar Senapelan atau daerah Pasar Bawah sekitarnya.

Kemudian dengan berdirinya PT Cevron di Rumbai, pembangunan Kota Pekanbaru dulunya mengarah kesana. Tapi katanya tidaklah lama, sebab kondisi geografis dan tanah Rumbai sekitarnya yang rendah, menyulitkan dalam pembangunan.

‘’Rumbai itu daerah rendah sebagiannya dan selalu banjir. Dan sebagian lagi sulit untuk dibangun, karena tanahnya gambut. Itu salah satu daerah itu sulit berkembang. Saya kira bukan karena tidak diberikan porsi dalam anggaran pembangunan,’’ ucap salah satu pendiri Kabupaten Kuansing ini.

Untuk memekarkan suatu kawasan, terang Suwardi, bukan hanya berbicara aspek fisik semata. Tapi terangnya, sangat penting dipikirkan pula sisi pembangunan mental dan spiritual.

Pekanbaru sebagai ibu kota Provinsi Riau, sebut dia, mesti meletakkan pondasi sebagai daerah utama tumbuhnya manusia-manusia yang bermental spiritual, bercirikan budaya Melayu sebagaimana tujuan Riau menjadi pusat perekonomian Melayu tahun 2020. Dan dengan kondisi saat ini, Suwardi menilai, belum selayaknya Pekanbaru dimekarkan.

‘’Kalau melihat kondisi sekarang ini, saya melihat 5 tahun kedepan wacana ini boleh dibahas lagi. Dan bisa saja dalam kurun waktu itu dipersiapkan kajian akademisnya. Pekanbaru ini berkembang pesat dan memang suatu saat akan mekar menjadi beberapa kota, tapi belum sekarang inilah. Persiapkan terlebih dahulu dengan matang,’’ terangnya.

Berbeda dengan Suwardi, pengamat perkotaan yang juga ahli perencanaan wilayah dari Universitas Islam Riau (UIR), Ir Mardianto Manan MT berpendapat pemekaran tetap akan berdampak baik bagi suatu wilayah.

Mengambil contoh daerah pemekaran di Riau, tidak ada satupun daerah yang dimekarkan menjadi persoalan, malah berkembang dengan sangat baik. Untuk Kota Pekanbaru tidak ada salahnya dimekarkan sebab terlalu besarnya cakupan wilayah pelayanan Wali Kota karena kepadatan dan jumlah penduduk yang semakin tinggi.

‘’Kalau perlu Pekanbaru ini dipecah menjadi empat wilayah penjuru mata angin supaya rentang kendali pemerintah semakin pendek. Untuk saat ini saja kita perhatikan, Pemko Pekanbaru kesulitan mengatur wilayahnya. Mengatasi banjir, PKL dan reklame saja sudah kerepotan bahkan mengaku bingung,’’ ujar Mardianto.

Dalam teori keruangan wilayah, Mardianto menyebutkan semakin dekat pelayanan pemerintah maka akan semakin cepat masalah diatasi. Daerah pemekaran baru akan membentuk unit-unit pelayanan kepada masyarakat, jika biasanya jarak dengan masyarakat jauh, akan semakin dekat.

Akan tetapi, tentunya, tegas Ketua Jurusan Ilmu Perencanaan Wilayah Perkotaan (PWK) Fakultas Teknik UIR ini, pemekaran juga mesti memperhatikan sumber keuangan, SDM dan aspek politik dan geografisnya.

Yang terutama sumber keuangan, daerah baru harus memiliki kajian yang matang dari mana sumber PAD nya nanti setelah berpisah dari kota induk. Sehingga kota baru tidak hanya mengandalkan sumber keuangan dari Dana Bagi Hasil (DBH) yang kalaupun ada atau dana alokasi umum (DAU) saja.

‘’Kalau untuk SDM saya kira tidak akan sulit karena tinggal meminta dari daerah lain yang lebihan pegawainya. Tapi dari segi sumber keuangan ini yang terpenting. Jangan sampai daerah baru, tidak memiliki anggaran yang cukup untuk membiayai diri mereka sendiri. Dari aspek politik, tentu saja tidak akan terlalu sulit karena hanya mengikuti ketentuan yang sudah ada, baik dalam pemilihan kepala daerah maupun legislatifnya,’’ terang Mardianto.

Pengamat Kebijakan Publik yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau, Zulkarnain SIp MSi menyatakan kekawatirannya rencana pemekaran Kota Pekanbaru akan lebih kental syahwat politiknya dari pada tujuan pemerataan pembangunan. Dikatakannya, tujuan utama pemekaran daerah adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat dan perbaikan kualitas pelayanan publik.

‘’Jadi dimanapun dan dalam bentuk apapun pemekaran wilayah dilaksanakan, tanpa didasari kedua hal tersebut, dikhawatirkan pemekaran sekadar pemenuhan komoditas politik yang menguntungkan segelintir elite politik. Sebab bukan rahasia lagi selama ini pemekaran wilayah seringkali dianggap sebagai penyediaan semacam ‘’lowongan kerja’’ berbagai jabatan politis, mulai dari kepala daerah hingga anggota DPRD. Karena itu, jika ini yang masih menjadi motif pemekaran, kita sudah dapat memperkirakan bahwa pemekaran hanya akan ‘’memindahkan’’ kesengsaraan rakyat. Namun rakyat tidak akan berubah posisinya, yaitu hanya sebagai objek dari syahwat politik segelintir elite,’’ terangnya.

Diterangkannya, usulan pemekaran daerah bukanlah perkara yang mudah. Pasal 5 ayat 1 Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pemekaran harus memenuhi berbagai persyaratan, mulai syarat administratif, teknis, sampai fisik kewilayahan.

Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah menyebutkan bahwa salah satu syarat administratif pemekaran daerah adalah harus ada persetujuan bersama antara DPRD dan kepala daerah.

‘’Karena itu, di banyak tempat seringkali pemekaran sulit dilaksanakan karena tidak mendapatkan persetujuan DPRD ataupun kepala daerah induk, meskipun usul pemekaran itu adalah kehendak masyarakat,’’ urainya.

Alasan yang menjadi keengganan dari kepala daerah untuk menyetujui usul pemekaran adalah karena ketakutan bahwa sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) wilayah induk akan berkurang. Termasuk juga pengurangan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat.

Apalagi sebut Zul, jika daerah tersebut tak memiliki APBD yang memadai untuk dibagi dengan daerah baru. Fenomena yang perlu dicermati dalam sebuah pemekaran adalah lambannya daerah tersebut mengatasi ketertinggalannya setelah resmi menjadi Daerah Otonom Baru (DOB). Hal ini terjadi karena pemekaran daerah dilakukan tanpa disertai pemetaan analisis potensi kekayaan dan sumber PAD.

Zulkarnain juga memaparkan hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap 57 DOB menyebutkan hanya 22 persen daerah pemekaran yang berhasil, sedangkan sisanya, sebesar 78 persen, itu gagal.

Hal itu diperkuat temuan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal bahwa dari 183 daerah tertinggal di Indonesia, 34 daerah adalah daerah hasil pemekaran. Karena itulah, pemekaran daerah merupakan sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan jika motifnya adalah untuk memajukan taraf hidup masyarakat.

‘’Kita menghimbau pemerintah daerah dan DPRD agar lebih selektif dalam menyetujui usul tentang pemekaran. Bagaimanapun semakin bengkaknya jumlah daerah otonom baru akan kian membebani keuangan negara. Apalagi banyak daerah hasil pemekaran hanya menghabiskan APBD-nya untuk belanja pegawai dan penyediaan infrastruktur. Akibatnya sektor pelayanan publik tidak maksimal dan kesejahteraan rakyat tidak meningkat. Kondisi ini tentu saja jauh dari cita-cita luhur pemekaran,’’ tutupnya.**









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook