Sejumlah anak muda di Pekanbaru merisaukan bahaya laten minyak jelantah. Kenyataannya, kilau minyak bekas yang bisa memicu kanker dan penyakit degeneratif ini malah makin masif dipakai. Alih-alih berkurang, penggunaan minyak jelantah disinyalir tambah tak terkendali, bahkan jadi gaya hidup kaum urban. Bank jelantah diharapkan jadi solusinya. Bisakah?
Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru
KETEGANGAN rapat sebuah organisasi masyarakat di kawasan Marpoyan Damai, Pekanbaru, Provinsi Riau itu langsung cair, suatu petang pada pekan kedua Agustus 2023 lalu. Setumpuk gorengan telah hadir. Fokus pun beralih pada pisang goreng hingga sala lauak itu. Begitulah tradisi bertahun-tahun di organisasi ini, seperti pada banyak organisasi lainnya. Dalam pertemuan resmi atau sekadar kongkow, gorengan selalu jadi hidangan penghangat cerita. Plus kopi, teh hangat, atau jus buah.
Dalam banyak kasus, para pedagang gorengan di Pekanbaru tak menyisakan sedikit pun minyak ketika menggoreng. Tidak ada jelantah dalam kamus mereka. Semuanya tenggelam dalam kilau gorengan yang terus menantang untuk camilan petang. Sebagian pedagang makanan lain juga berperilaku demikian. Rafi’ah (49), misalnya. Pedagang nasi di bilangan Panam, Pekanbaru ini tak pernah menyisakan sedikit pun minyak goreng di wajannya. Minyak berkurang, tambah lagi, lalu goreng lagi. Jika ada minyak tersisa atau jadi jelantah di suatu hari, maka tinggal disimpan dan digunakan keesokan harinya dengan tambahan minyak goreng baru. Begitu seterusnya. Maka minyak jelantah pun bergelimang dalam tiap ayam, tempe, dan tahu goreng atau tumis sayur yang dimasaknya. Padahal bahaya laten jelantah mengancam kesehatan dan jiwa. Dari pemicu kanker hingga penyakit degeneratif seperti alzheimer dan parkinson terpendam dalam kilau jelantah.
Rahima, guru SD 162 Kelurahan Agrowisata, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru paham benar potensi bahaya jelantah ini. Dia pun mulai masif mengampanyekan bahaya minyak jelantah. Tak hanya di lingkungan ibu-ibu tempatnya tinggal, di keluarga kecil dan keluarga besarnya, juga di sekolah tempatnya mengajar, bahaya jelantah selalu disampaikan. Rahima bahkan beberapa kali diingatkan anaknya soal minyak goreng hanya untuk sekali pakai, saking sudah mendarah daging wacana ini dalam keluarganya.
Sebagai guru yang juga kader BBPOM (Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan) Provinsi Riau, Rahima merasa bertanggung jawab menjaga orang terdekatnya dari bahaya minyak jelantah. Kandungan karsinogenik dalam jelantah membuatnya jadi racun dalam senyap.
Murid yang diajarkannya juga sudah paham bagaimana bahaya jelantah dan bagaimana menabung cairan ini. Kendati berbahaya, jelantah bisa dijadikan sarana pendidikan dan potensi ekonomi sekaligus. Jelantah bisa ditabung dan kemudian diuangkan.
Murid kelas 6 SDN 162 Pekanbaru, Dimas, paling bersemangat mengumpulkan tabungan jelantah ini di kelasnya. Saldonya telah mencapai Rp50 ribu, baru sebulan setelah dilakukan sosialisasi sejak tahun ajaran baru dimulai. Selain dari dapur orang tua, minyak jelantah juga didapatkan dari bekas pakai masak kenduri.
“Alhamdulillah anak-anak bersemangat mengumpulkan jelantah dan sudah paham bahayanya jika digunakan kembali,” ujar Rahima, Selasa (23/8).
Rahima merupakan wali kelas 6 SDN 162 Pekanbaru. Dia baru saja melakukan sosialisasi bahaya jelantah dan program tabungan jelantah pada tahun ajaran baru, 10 Juli 2023 lalu. Hampir semua murid di kelasnya aktif menabung jelantah. Beberapa murid kelas yang lebih rendah, mulai kelas 3 hingga 5 SD juga sudah ikutan.
“Yang kelas satu atau dua belum bisa. Mereka belum paham dan belum mampu menyampaikan kepada orang tua masing-masing,” ujar Rahima.
Program ini sudah disosialisasikan kepada para orang tua murid di kelas berbeda. Hanya saja, yang paling masif baru di kelas yang diasuh Rahima. Para murid kelas 6 ini sudah dapat menjadi ujung tombak bagi gerakan tanpa mengonsumsi jelantah. Sebab, minyak jelantah ini justru membahayakan dan murid kelas 6 biasanya sudah dapat memberikan pengertian kepada orang tuanya. Dalam berbagai kesempatan, sebenarnya Rahima juga sudah menyampaikan perihal bahaya jelantah ini langsung kepada para orang tua. Misalnya saat pertemuan dengan wali murid.
Sabtu menjadi hari tabungan jelantah bagi mereka. Rata-rata, tiap murid menyetor 1 hingga 2 ons hasil tabungan selama sepekan. Kadang lebih. Hasilnya dicatat dan catatan tabungan itu dikembalikan ke murid, sehingga bisa dilihat orang tua. Dengan rata-rata hanya 2 ons per pekan, maka dalam sebulan bisa terkumpul 1 kg jelantah per murid. Jelantah itu dihargai Rp8 ribu per kg. Makin banyak jelantah yang disetor, tabungan murid juga makin membengkak.
Program tabungan jelantah di SDN 162 Pekanbaru sudah berjalan sejak Januari 2023. Murid yang diasuh Rahima di kelas 6 tahun ajaran lalu bahkan sudah tamat dan masuk SMP.
“Tabungan mereka sudah dikembalikan. Selain tabungan uang, saya harapkan pelajaran soal jelantah ini tetap mereka amalkan di bangku SMP, bahkan seterusnya,” ujar Rahima.
Selain SDN 162, Rahima juga sudah berkomunikasi dengan kepala SD Luhur Budi yang juga masih di Kelurahan Agrowisata, Kecamatan Rumbai. Pihak SD Luhur Budi merespons positif tabungan jelantah ini. Sosialisasi segera dilakukan dan dalam waktu dekat akan diterapkan juga di sana.
Dalam dua tahun terakhir, Rahima telah bergabung dengan unit bisnis Bank Jatah Riau (BJR), yang berkantor di Kelurahan Umban Sari, masih di Kecamatan Rumbai. Unit bisnis BJR yang dikelola Rahima berada di wilayah Kelurahan Agrowisata.
Nasabahnya saat ini merupakan kaum ibu rumah tangga di kelurahan itu. Jumlahnya baru 45 orang. Dalam sebulan, rata-rata seorang nasabah bisa menyetor 2 kg jelantah. Untuk berkomunikasi, mereka membuat WhatsApp Group (WAG) khusus. Mereka menyepakati pada Ahad pekan kedua tiap bulan menyetor jelantah yang sudah ditabung di rumah.
“Agustus 2023 ini terkumpul 81 kg. Lumayanlah,” ujarnya.
Nyaris Tak Ada Jelantah
Tidak didapat kasus mencolok dalam penggunaan minyak jelantah skala besar yang dioplos di Riau dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan selama langka dan mahalnya minyak goreng tahun lalu, tidak ada isu minyak jelantah yang dioplos jadi minyak goreng baru di Riau. Setidaknya tidak ada penindakan aparat daerah terkait isu ini.
Minyak jelantah memang bisa dioplos seakan menjadi baru. Dengan diendapkan beberapa waktu, maka kotorannya turun dan dapat dipisahkan. Bau menyengat dan tengiknya juga bisa juga berkurang dengan pengendapan ini. Tak jarang para pengoplos jelantah menggunakan bahan kimia seperti H2O2 atau hidrogen peroksida untuk menjernihkan minyak yang sudah menghitam itu. Beningnya bisa nyaris seperti minyak goreng baru. Padahal kandungan berbahayanya tidak berkurang, bahkan bertambah dengan adanya bahan kimia baru.
Kasus-kasus minyak goreng oplosan ini tidak menjadi isu di Riau, baik dalam pengawasan BBPOM maupun kepolisian. Sebab, Riau adalah daerah penghasil crude palm oil (CPO) terbesar di Tanah Air. Daerah ini tidak kekurangan stok minyak goreng baru. Maka mengoplos dengan jelantah tidak jadi pilihan para pencuri peluang nakal.
Akan tetapi sikap curang terjadi dengan cara lain. Disinyalir, penggunaan jelantah dalam barang dagangan, misalnya gorengan atau kedai makan terjadi dengan masif. Beberapa pedagang gorengan mengaku menggunakan ulang minyak goreng yang tidak habis di hari sebelumnya.
“Sayang jika tak digunakan lagi,” ujar Rani, pedagang gorengan di Jalan HR Soebrantas memberi argumen.
Hal senada diungkapkan Rosi. Biasanya, Rosi menggoreng pisang, tahu, tempe, dan jenis gorengan lainnya dengan tanpa mengganti minyak goreng sebelumnya. Jika minyak goreng habis, maka ditambah minyak baru. Pelaku UMKM lainnya yang berbasis bahan makanan yang digoreng tak terbilang lagi menggunakan jelantah.
Terdapat fakta mencengangkan terkait penggunaan minyak jelantah di Pekanbaru. Menurut Direktur Utama (Dirut) Bank Jatah Riau (BJR) Mhd Adriyo Habibi, pihaknya mencari minyak jelantah tak hanya dari nasabah yang mayoritas kaum ibu dan sekolah, namun juga pedagang makanan yang menggunakan minyak goreng. Dari pedagang pecel lele, ayam geprek, gorengan, kafe, hingga kedai nasi mereka cari minyak jelantah ini. Yang cukup mencengangkan, menurut Habibi, delapan dari sepuluh pedagang pecel lele yang dihubunginya tidak memiliki minyak jelantah.
“Artinya, semua minyak itu mereka pakai ulang. Biasanya yang terakhir digunakan untuk membuat sambal,” ujar Habibi.
Hanya sekitar 20 persen penjual pecel lele yang memiliki minyak jelantah. Yang lebih parah adalah para pedagang di kedai nasi. Menurut Habibi, sangat sulit menemukan minyak jelantah dari pedagang nasi di Pekanbaru. Jika pun ada, persentasenya hanya sekitar 10 persen atau bahkan kurang dari itu. Yang paling parah adalah para pedagang gorengan. Menurut Habibi, hampir benar-benar tidak ada pedagang gorengan yang memiliki stok jelantah.
“Semua yang saya tanyakan menyebut tak punya stok jelantah. Mungkin ada, tapi jarang sekali. Mungkin hanya 1 persen saja yang punya stok jelantah. Yang 99 persen memakai ulang minyak jelantah itu,” ujar Habibi.
Stok minyak jelantah bisa tersedia cukup banyak dari kafe, restoran besar, restoran cepat saji, dan hotel. Sebab, mereka menjaga mutu makanan, termasuk dari jelantah. Rumah makan cepat saji asal luar negeri misalnya, jika ketahuan menggunakan minyak jelantah bisa dicabut izinnya. Begitu juga hotel dan restoran besar. Mutu makanannya diinspeksi secara internal dan eksternal secara periodik. Ada standar operasional prosedur (SOP) yang harus mereka terapkan. Jelantah dianggap bagian sumber bahan makanan tidak sehat dan berbahaya. Kafe-kafe premium juga menjaga makanannya agar tak menggunakan minyak jelantah. Akan tetapi menurut Habibi, tetap sulit juga mendapatkan minyak jelantah dari kafe, rumah makan cepat saji, termasuk hotel.
“Sudah banyak yang mengambil. Biasanya pemain besar,” ujar Habibi.
Dia menuturkan, ada tiga pemain besar dalam industri jelantah di Riau. Mereka hanya mengambil dari rumah makan cepat saji, hotel, atau kafe. BJR sendiri juga masih bisa mendapatkan jelantah dari segmen itu. Bahkan persentasenya sebenarnya juga cukup besar, lebih besar dibandingkan dari nasabah yang berasal dari ibu rumah tangga atau sekolah. Disebutkan dia, ada tiga konsep minyak jelantah yang dikelola BJR, yakni jual beli, tabungan, dan sedekah. Jual beli sifatnya cash and carry. Biasanya partai besar. Jika sudah ada langganan, mendapatkan jelantah relatif mudah. Selanjutnya tabungan, yakni dengan melibatkan unit bisnis di tingkat kelurahan. Satu unit bisnis BJR berada di tingkat kelurahan. Pengelola unit bisnis kebanyakan ibu rumah tangga. Saat ini terdapat 13 unit bisnis BJR yang tersebar di beberapa kecamatan di Pekanbaru. Selanjutnya yang ketiga sedekah. BJR bekerja sama dengan masjid dan menerima sedekah jelantah. Jika terkumpul, maka jelantah itu bisa diuangkan dan dananya masuk ke kas masjid. Porsi jelantah sedekah ini paling kecil dibandingkan dua yang pertama. Kendati porsi tabungan bukan yang terbesar, tapi tabungan jelantah ini yang menjadi andalan program BJR.
“Sebab ada edukasi di sana. Kami bukan hanya berbisnis, tapi juga ingin mengedukasi masyarakat, terutama kaum ibu agar mewaspadai bahaya jelantah,” ujar Habibi.
Bahan Baku Biodiesel
Lalu untuk apa jelantah yang sudah dikumpulkan itu? Menurut Habibi, sejauh ini Bank Jatah Riau menyiapkan jelantah untuk bahan baku biodiesel. Dia menjamin, jelantah ini tidak dijadikan bahan baku untuk minyak goreng curah seperti dalam beberapa kasus di Jawa. Minyak goreng curah memang sempat naik daun ketika minyak goreng kemasan sempat langka dan sangat mahal. Jelantah, dengan treatment khusus bisa dijadikan minyak goreng curah dengan kebeningan yang mirip. Tentu dengan kandungan karsinogenik yang masih membahayakan.
“Semuanya untuk bahan baku biodiesel, bukan untuk yang lain,” ujar Habibi.
Sejauh ini, BJR bisa mengumpulkan 6 ton jelantah per bulan. Semuanya dibawa ke Medan, selanjutnya ke Malaysia dan bermuara ke Cina. Di Cina, jelantah diolah menjadi biodiesel karena ada pabrik besar di sana. Jelantah memang menjadi bahan baku untuk biodiesel dan sangat besar pasarnya di Eropa serta Cina.
Kenapa tidak diolah di Indonesia? Ada beberapa alasan. Salah satunya, menurut Habibi, karena harga keekonomian biodiesel asal jelantah yang lebih mahal di Indonesia. Harga biodiesel B-30 saat ini fluktuatif antara Rp10 ribu hingga Rp11 ribu per liter. Sementara harga jual bahan baku jelantah dari BJR ke pengepul besar di Medan saja sudah mencapai Rp12 ribu per kg. Harganya juga fluktuatif, kadang bisa turun jadi Rp10 ribu per kg, tapi bisa juga lebih tinggi, tergantung pasar internasional. Tentu lebih mahal lagi setelah diekspor dan diolah menjadi biodiesel.
“Memang cara ukurannya berbeda. Satu dengan liter, yang lain dengan kilogram. Tapi setelah dihitung-hitung, memang tidak masuk (perhitungannya, red). Makanya diekspor,” ujar Habibi.
Di Cina dan pasar Eropa, harga keekonomian biodiesel berbahan baku jelantah sudah tinggi. Makanya jelantah Indonesia lebih banyak diekspor. Salah satunya dari Riau. Biodiesel di Indonesia sendiri berbahan baku dari minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dengan sebutan B-30 atau campuran 30 persen minyak nabati dari CPO. Kini sudah muncul juga B-35. Adapun sisanya, yakni 70 atau 65 persen lagi masih menggunakan minyak fosil. Sedangkan yang diproduksi dari jelantah berbeda.
“Itu (jelantah) nanti jadinya B-100 atau murni dari jelantah tanpa campuran lagi,” ujar Habibi.
Sebenarnya, menurut Habibi, pihaknya sudah berencana membuat biodiesel sendiri berbahan baku jelantah. Kajiannya sudah ada di Politeknik Caltex Riau (PCR). Studi kelayakan dan uji coba sudah dilakukan dengan menggunakan pabrik mini biodiesel. Hanya saja pengembangan ini belum diterapkan. Dalam simulasi yang pernah dilakukan, pabrik mini biodiesel ini bisa menghasilkan 50 liter biodiesel sekali produksi. Dalam sehari bisa diproduksi delapan hingga sepuluh kali, sehingga bisa diproduksi 400-500 liter biodiesel per hari.
“Kalau sebulan bisa 6 ribu liter,” ujar Habibi.
Bank Jatah Riau bahkan sudah memiliki rencana jangka panjang. Habibi bercita-cita, ke depan bisa memproduksi biodiesel sendiri di beberapa wilayah. Dengan kapasitas pabrik mini biodiesel yang kecil, maka produksinya bisa dibuat per kecamatan. Selain ada gudang penyimpanan jelantah, ada juga pabrik mini biodiesel di tiap kecamatan yang memiliki banyak gudang jelantah.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Lancang Kuning (Unilak), David Setiawan menambahkan, pihaknya juga pernah membuat rencana untuk pabrik biodiesel mini ini. Akan tetapi rencana itu belum berjalan.
“Kami pernah uji coba dan bisa diterapkan,” ujar David.
Dia mengatakan, LPPM Unilak diajak bekerja sama dalam pembentukan Bank Jatah Riau sejak awal. Pihaknya yang melakukan pendampingan dari program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) terkait bank jelantah ini. Pihaknya yang mendampingi dalam hal capacity building, melakukan sosialisasi, mengelola dan membina SDM dari pemuda tempatan hingga menghasilkan produk turunan dari jelantah ini.
“Selain biodiesel, ada juga sabun, lilin, aroma terapi, pupuk, hingga pembersih lantai. Jadi banyak sekali,” ujar David.
Dalam skala uji coba, pihaknya sudah menerapkan pada pembuatan sabun dan tahap perencanaan pabrik mini biodiesel. Hanya saja diperlukan investasi yang tidak sedikit, bernilai ratusan juta rupiah, sehingga masih dilakukan evaluasi oleh pihak PHR. Secara teknologi, produksi biodiesel dari jelantah ini sangat mungkin diterapkan. Apalagi, LPPM Unilak sempat bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait produksi biodiesel dari jelantah ini.
“Kami harapkan nanti dapat terwujud,” ujar David.
Pengembangan Berbasis IT
Dirut BJR Mhd Adriyo Habibi mengaku belum maksimal dalam melaksanakan program ini. Dia memiliki perencanaan yang jauh ke depan agar masyarakat bisa terbebas atau setidaknya sangat kurang menggunakan jelantah. Selain terus membentuk unit usaha di tingkat kelurahan, dia juga terus melakukan sosialisasi dan MoU ke sekolah-sekolah. Saat ini sudah empat sekolah yang MoU dan bekerja sama dengan pihaknya.
“Target saya 10 persen saja masyarakat Pekanbaru ini sadar tentang jelantah, itu sudah bagus,” ujar Habibi yang juga Ketua Karang Taruna Kelurahan Umban Sari, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru ini.
Dari sekitar 200 ribu kepala keluarga (KK) di Pekanbaru, dia menargetkan bisa merekrut 20 ribu nasabah jelantah dengan 83 unit usaha di tiap kelurahan. Sebagai gerakan masyarakat, BJR lebih mengutamakan tabungan jelantah dibandingkan jual beli langsung, kendati hasilnya sedikit. Sisi edukasinya yang lebih diutamakan.
Untuk mendukung program ini, dia sedang membuat aplikasi sehingga memudahkan masyarakat mendaftar. Ditargetkan akhir tahun ini, BJR sudah punya aplikasi bank jelantah.
“Jadi lebih memudahkan. Masyarakat yang mau menyisihkan jelantah tinggal meng-klik sesuai wilayah dan unit bisnisnya,” ujar Habibi.
Ditargetkan tak hanya Pekanbaru yang digarapnya, melainkan Riau, bahkan Indonesia. BJR memiliki slogan “Indonesia Bebas Jelantah”. Semuanya akan lebih mudah setelah aplikasi berbasis IT diterapkan.
Pengembangan Bank Sampah
Bank jelantah bernama BJR dibina oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) sejak awal berdiri tahun 2021, dengan menggandeng Unilak. Seiring waktu, saat ini pembinaan dialihkan ke Universitas Muhammadiyah Riau (Umri), dengan beberapa pertimbangan teknis. Manager Social Performance PHR WK Rokan, Pinto Budi Bowo Laksono menyebutkan, bank jelantah adalah pengembangan dari bank sampah yang sudah dikelola PHR sejak lama. Program bank sampah sudah ada sejak era Chevron Pasific Indonesia (CPI) mengelola Blok Rokan. Operator Blok Rokan beralih kelola ke era PHR sejak 9 Agustus 2021. Saat ini sudah berdiri 13 bank sampah di Riau yang tersebar di empat kabupaten dan kota, yakni Siak, Pekanbaru, Bengkalis, dan Kampar.
“Pengembangan dengan jelantah ini sudah murni di era PHR. Konsepnya sama, yakni pemberdayaan masyarakat agar limbah bisa menjadi rupiah,” ujar Pinto.
Jelantah merupakan limbah yang potensial, sama seperti sampah. Pihaknya ingin menanamkan kesadaran masyarakat di wilayah operasi WK Rokan untuk menerapkan zero waste (nol buangan). Pengelolaan limbah, termasuk jelantah, memiliki tiga manfaat sekaligus yakni aspek lingkungan, kesehatan dan ekonomi masyarakat. Pihaknya selalu memberikan edukasi bahwa jelantah tidak boleh dibuang sembarangan karena akan merusak dan mencemarkan lingkungan. Dikonsumsi juga berbahaya. Akan tetapi jelantah bisa dijadikan rupiah.
PHR menggandeng Unilak sebagai mitra pelaksana saat program ini dimulai. Hal itu mencakup pendampingan teknis, peralatan, operasional, hingga sosialisasi ke masyarakat.
“Saat ini transisi ke mitra baru yakni Umri. Jadi ada beberapa perbedaan,” ujar Pinto tanpa bersedia menyebutkan alasan perubahan mitra itu.
Sebagai pengembangan bank sampah, peralatan teknis kepada pengelola diberikan sesuai proporsinya. Bank-bank sampah bahkan diberikan bantuan mesin pencacah sampah agar bisa diolah menjadi pupuk kompos. Bagaimana dengan mesin atau pabrik mini biodiesel? Terkait ini, pihaknya akan mengkaji lebih dahulu.
“Akan kami asesmen lebih lanjut soal itu (pabrik mini biodiesel, red),” ujar Pinto.
Terpisah, Corporate Secretary PHR WK Rokan, Rudi Ariffianto, menyebutkan, peluang pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel di dalam negeri terbuka. Kendati PHR saat ini mengelola hulu migas, dan sektor pengolahan menjadi biodiesel merupakan bagian hilir migas, tapi pihaknya siap mengkaji masukan yang ada. Apalagi, jelantah merupakan salah satu bahan baku energi baru dan terbarukan.
“Hanya saja tentu diperlukan kajian lebih lanjut. Kapasitas yang sudah terkumpul berapa? Kemudian jika dibuatkan pabriknya sudah cukup atau tidak,” ujar Rudi.
Di Indonesia, ujar Rudi, sudah ada kilang biodiesel Pertamina di Cilacap. Basis bahan bakunya berasal dari CPO yang dimurnikan. Akan tetapi kilang Refenery Unit (RU) IV Cilacap ini juga bisa mengolah bahan lain, termasuk used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah. CPO dan UCO dilakukan blending atau pencampuran hingga 50:50.
“Kalau kapasitas jelantahnya memadai, bisa saja dikirim ke kilang Cilacap ini,” ujar Rudi.***
Editor: Edwar Yaman