PENGALAMAN MENGINAP DI GER, RUMAH TRADISIONAL MONGOLIA

Televisi LCD 39 Inci Jadi Barang Kesayangan

Feature | Senin, 27 Agustus 2012 - 09:08 WIB

Televisi LCD 39 Inci Jadi Barang Kesayangan
TELEVISI LCD: Paira berpose di rumah Tsere, dengan televisi LCD di pinggiran Kota Ulan Bator, Rabu (22/8/2012). foto: faridfandi/jpnn

Laporan AINUR ROHMAN, Ulan Bator

Sekitar 30 persen penduduk Mongolia diperkirakan masih hidup nomaden dengan tinggal di ger.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Wartawan JPNN yang tengah bertugas di sana, mencicipi bermalam di tenda yang terbuat dari kulit domba itu.   

Tenda bundar milik Tserendolgor Tseeye itu hanya berdiameter 8 meter dengan tinggi 3,5 meter. Berdiri di atas padang rumput berpagar seng seluas hampir 1 hektare di Distrik Khan-Uul, 4 kilometer dari distrik utama ibu kota Mongolia, Ulan Bator, tenda itu disangga satu besi di bagian tengah.

Itulah ger, rumah tradisional Mongolia yang identik dengan sejarah panjang negeri berpenduduk sekitar 3,1 juta tersebut sebagai bangsa nomaden.

Sejarah mencatat, wilayah yang kini disebut Mongolia itu dulu diperintah berbagai kekaisaran nomaden: Xiongnu, Xianbei, Rouran, Gokturks, dan beberapa lainnya. Genghis Khan kemudian mendirikan Kekaisaran Mongol pada 1206.

Kini sekitar 30 persen dari total penduduk negeri yang perekonomiannya amat bergantung kepada Cina itu diperkirakan masih hidup seperti nenek moyang mereka: nomaden atau seminomaden. Tsere, sapaan Tserendolgor, seorang janda berusia 64 tahun, adalah salah satunya.

Ke ger milik Tsere itulah JPNN pergi menginap pada Rabu malam lalu (22/8). Tsere adalah nenek Javzandolgor Bat-Orshih, seorang liaison officer tim nasional muda Indonesia yang bertanding pada 22nd FIBA Asia U-18 Championship di Ulan Bator.

Javza-lah yang memfasilitasi keinginan kami untuk mencicipi pengalaman bermalam di ger. Dia sekaligus menjadi penyambung lidah antara kami dan Tsere serta sepasang suami istri yang juga diundangnya menginap di ger, Khaltar dan Javzandor Jauzka.

Meski terlihat kontras dengan kompleks apartemen plus pusat perbelanjaan yang terletak persis di seberang jalan, modernitas hadir di dalam ger Tsere.

Barang kesayangan nenek yang suaminya meninggal sebulan silam itu adalah televisi LCD 39 inci yang memiliki channel luar negeri macam CNN, National Geographic, dan ESPN. Pasokan listrik untuk televisi dan penerangan didapatkan dari pembangkit listrik setempat.

‘’Saya membayar 6 ribu Mongolian tugrik (sekitar Rp42 ribu) setiap bulan untuk mendapatkan saluran-saluran tersebut,’’ ucap Tsere.

Sebagian listrik di Mongolia dibeli dari Rusia, negeri yang amat berpengaruh bagi mereka. Rusia-lah, kala masih menjadi negeri utama di Federasi Uni Soviet, yang mendukung negeri yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup pada pertanian dan peternakan itu memerdekakan diri dari Cina pada 11 Juli 1921.

Tiga tahun berselang, Republik Rakyat Mongolia yang komunis dideklarasikan, tentu di bawah pengaruh kuat Soviet. Bahkan, sampai sekarang pun, setelah Mongolia berubah menjadi republik parlementer, bekas partai komunis, Partai Rakyat Mongolia (MPP, sebelumnya Partai Rakyat Revolusioner Mongolia), tetap menjadi partai terbesar.

Sisa-sisa pengaruh Soviet itu juga masih terlihat jelas di lanskap bangunan Ulan Bator. Aksara Sirilik yang hampir sama dengan aksara yang digunakan di Rusia juga tetap dipakai sampai sekarang.

Selain televisi, di ger Tsere juga terdapat lemari es dua pintu, mesin cuci, dua ranjang, dan sebuah kaca besar. Di bagian tengah, ada sebuah tungku untuk memasak yang terkoneksi dengan cerobong asap. Kegiatan masak setiap pagi memang dilakukan di dalam rumah.

Satu yang absen dari kediaman Tsere itu yang membuatnya tetap terlihat nomadic: tak ada toilet. Kalau ingin buang air kecil, langsung saja ke padang rumput. Buang air besar juga dilakukan di area terbuka. ‘’Ainur, kamu hanya butuh kertas toilet untuk mengatasi semuanya,’’ tutur Javza.  

Di area ger milik Tsere, ‘’toilet’’ hanya ditandai dengan satu tali sepanjang 3 meter. Di sanalah aktivitas biologis setiap hari dilakukan.

Jika ingin mandi, Tsere dan keluarganya akan menyeberangi jalan, mandi di toilet apartemen. Namun, itu jarang dilakukan. Karena udara yang kering, biasanya orang Mongolia hanya mandi tiga hari sekali.

Namun, kehangatan sambutan dari Tsere serta suami istri Khaltar dan Javzandor Jauzka membuat kesulitan perkara buang hajat itu terlupakan. Khaltar dan Javzandor Jauzka bahkan begitu antusias begitu tahu bahwa kami berasal dari Indonesia.   

Melalui Javza, Khaltar dan Javzandor bertanya banyak tentang Indonesia. Mereka begitu takjub ketika mengetahui bahwa Indonesia memiliki ribuan pulau dan garis pantai terpanjang di dunia.

‘’Seumur hidup, saya belum pernah melihat pantai,’’ kata Khaltar (70).

Memang Mongolia adalah negara terbesar kedua di dunia yang tidak punya laut alias landlocked. Negara landlocked paling luas di dunia adalah negeri sekawasan, Kazakstan.  

Saking gembiranya, Khaltar memeluk dan mencium pipi kami. Dia lantas mengajak kami berjalan di tengah padang rumput pada malam hari.

Sebagai bagian penyambutan, Khaltar juga mempersilakan kami menghirup bubuk cokelat bernama Bellows-Khurug dari hidung. Seperti menghirup kokain.

Saya sampai terbatuk-batuk karena bubuk tersebut sangat keras. Khaltar terpingkal-pingkal karena reaksi saya. Namun, setelah itu, hidung terasa sangat lega. ‘’Bubuk ini terbuat dari batu asal Cina. Sangat keras, tapi manjur untuk melawan hawa dingin,’’ ujarnya.

Dingin memang kata yang tak bisa dipisahkan dari Mongolia, negeri yang belakangan mulai menggeliat perekonomiannya berkat kegiatan pertambangan tembaga, batu bara, bahkan uranium. Pada malam-malam musim panas seperti saat ini saja temperatur bisa mencapai 3 derajat Celsius.

Saat musim dingin datang pada Desember sampai Februari, jangan tanya. Udaranya ekstrem, mencapai minus 37 derajat Celsius di Ulan Bator dan minus 40 derajat Celsius di pinggiran kota. Pada musim dingin 2009-2010 Mongolia bahkan sampai kehilangan 22 persen stok hewan ternak yang berbuntut ancaman kelaparan nasional.

‘’Saat musim dingin tiba, kami akan selalu menyalakan api dari tungku. Juga memakai baju hangat berlapis-lapis,’’ papar Tsere.

Saya tidak bisa membayangkan berapa banyak baju yang dikenakan Tsere dan warga Mongolia lain saat musim dingin. Yang pasti, malam itu baju dan jaket tebal yang saya kenakan terasa tak cukup untuk menahan hawa dingin. Saya pun sulit memejamkan mata.

Padahal, saya dan Farid diberi kehormatan tidur di atas ranjang utama. Sedangkan Tsere dan suami istri itu memejamkan mata di karpet yang digelar di lantai. Adapun sang cucu, Javza, berbaring di ranjang lain.

Ger yang berbahan dasar kayu dan dilapisi kulit domba pada bagian luarnya itu juga sebenarnya cukup hangat. Namun, embusan angin lewat cerobong asap terasa membuyarkan kehangatan tersebut.

Tapi, Tsere dan jutaan warga nomaden Mongolia tampaknya tak pernah terganggu dengan semua itu. Tsere bahkan rela meninggalkan kehidupan ala apartemen yang sudah dijalaninya bertahun-tahun.

Tiga tahun lalu dia memutuskan menyusun 5 papan dan 81 tongkat untuk membentuk ger peninggalan orang tuanya di tanah yang konon milik seorang fotografer koran setempat. Dia tak perlu membayar sepeser pun sewa tanah.  

Rasa syukur atas kehidupan yang dijalaninya sekarang juga diwujudkan lewat ibadah yang teratur. Tsere adalah pemeluk Buddha —agama mayoritas di Mongolia, pemeluknya 53 persen dari penduduk negeri itu yang berusia 15 tahun ke atas— aliran Tibet yang taat.

Dalam ger, di dekat kaca terdapat dua gambar Tuhan utama. Tsere menyebutnya Zam Balgara, Tuhan pemberi kehidupan, dan Bayannamsrai, Tuhan untuk mendatangkan rezeki.

Saat bangun pagi, Tsere selalu menyembah Zam Balgara dengan cara tengkurap di lantai sambil merapalkan doa sebanyak 108 kali. Selain itu, perempuan 64 tahun tersebut menyalakan lilin di dalam stoples.

Nah, mungkin sadar bahwa kami berjuang cukup keras melawan dingin semalaman, Javza memasakkan kami sarapan tradisional yang menurutnya istimewa. Namanya banshtai-tai.

Makanan itu mirip kolak. Terdiri atas campuran beras, teh, susu domba, pangsit daging kambing, tepung, dan garam. Cairan putih itu tercampur dalam satu panci.

‘’Ini enak kok. Kami tidak setiap hari makan ini. Seminggu hanya sekali. Soalnya, ini spesial,’’ ucap Javza.

Mungkin memang istimewa bagi mereka. Tapi, bagi saya, makanan itu terasa aneh. Makan satu sendok saja, perut sudah mual. Tapi, untuk menghormati, saya menghabiskan tiga sendok dari semangkuk besar yang disuguhkan.

Kami tak sempat bertemu Tsere pagi itu. Pada pukul 08.00 (07.00 WIB) dia harus pergi bekerja. Setelah sang suami meninggal sebulan lalu, dia menyambung hidup dengan membersihkan rumah-rumah penduduk. Juga mencuci pakaian. Apa saja.

Tapi, tak sekali pun dia mengeluhkan kerasnya hidup yang dijalani. Kepada kami, dia sempat bercerita bahwa kelelahan yang menghinggapi setelah bekerja seharian langsung terobati begitu dirinya kembali menginjak ger kesayangan.

‘’Sebagai orang Mongolia sejati, saya harus tinggal di ger. Kalau sudah menjalani kehidupan ini, rasanya apa yang sudah saya lakukan di dunia ini sudah lengkap,’’ tegasnya.(ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook