DARI WORKSHOP JURNALISTIK RAPP DI SINGAPURA (2-HABIS)

”Kampanye Hitam Serang Produk Nabati Indonesia’’

Feature | Selasa, 26 November 2013 - 09:36 WIB

”Kampanye Hitam Serang Produk Nabati Indonesia’’
Presiden Direktur PT RAPP Kusnan Rahmin menyampaikan materi soal industri pulp and paper global di Orchad Hotel Singapura, Kamis (21/11/2013). Foto: MUHAMMAD AMIN/Riau Pos

Dalam peta perdagangan dunia, hasil hutan dan perkebunan Indonesia masih dinilai tak punya standar internasional yang bagus. Beberapa sertifikat internasional bahkan mustahil bisa didapat untuk menandakannya layak berstandar internasional. Mengapa?

Laporan MUHAMMAD AMIN, Singapura

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Di antara sertifikasi yang dianggap bagus dan berstandar internasional tinggi untuk produk kayu dan turunannya adalah Forest Stewardship Council (FSC).

Akan tetapi kendati perusahaan-perusahaan di seluruh dunia berusaha memenuhinya, ternyata perusahaan Asia sangat sulit mendapatkannya. Secara persentase, Eropa dan Amerika Utara memperolehnya 84 persen, Asia 3 persen dan Indonesia hanya 1 persen.

Kondisi ini dikeluhkan mayoritas pengusaha Indonesia. Termasuk lontaran keluhan itu diungkapkan Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Kusnan Rahmin.

Di hadapan sejumlah jurnalis saat memaparkan tentang perkembangan industri pulp dan kertas dunia, Kusnan menyampaikan tentang tidak fair-nya cara-cara sertifikasi yang dilakukan.

‘’Padahal kami ini termasuk pengumpul sertifikat yang baik. Apapun sertifikat akan kami terapkan di perusahaan,’’ ujar Kusnan, Kamis (21/11) di Orchad Hotel Singapura.

Yang dimaksud sebagai pengumpul sertifikat yang baik adalah bahwa RAPP terus berusaha agar mampu memiliki standar dunia yang menjadi acuan di Eropa maupun Amerika, khususnya dalam industri kertas. Beberapa sertifikat yang sudah didapat antara lain PEFC/CoC, SVLK-PHPL, HK Green Ecolabel, LEI-Renewal-Sustainable Forest Mngt, Certified for BV-OLB Timber Legality, ISO 9000, ISO 14000, dan lainnya. Hanya FSC CW yang tak didapat. Kusnan menuding ada persaingan dagang yang tak sehat yang dilakukan orang-orang luar Asia agar produk dari Asia, khususnya Indonesia tak memiliki sertifikat yang layak secara internasional. Tujuannya agar produk-produk pulp dan kertas Asia tak berkembang di pasar Eropa. ‘’Ada kampanye hitam yang terus menyerang hasil produksi alam dan produk nabati dari Indonesia,’’ ujar Kusnan serius.

Salah satu keunggulan komparatif yang dikhawatirkan negara-negara Eropa dan Amerika adalah iklim tropis yang membuat pengembangan hutan tanaman industri (HTI) bisa dipanen dalam lima tahun. Ini lebih cepat tujuh kali lipat dari pada HTI di negara-negara skandinavia yang beriklim salju. Kedekatan geografis Indonesia dengan Cina, salah satu tujuan ekspor kertas terbesar Indonesia juga menjadi penyebab tingginya keunggulan ini. Untuk itulah dibuat regulasi dan sertifikasi yang mustahil bisa dilakukan perusahaan pulp dan kertas di Asia.

‘’Misalnya ada aturan tentang waktu beroperasi. Kita tak mungkin bisa seperti mereka yang perusahaannya sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu. Makanya kita tak mendapatkan sertifikat dengan syarat yang mustahil itu,’’ keluh Kusnan.

Kusnan menyebutkan, sejumlah LSM asing secara konstan dan kontinyu menyebarkan kampanye hitam terhadap produk kayu olahan dari Indonesia. Untuk itu ia berharap pemerintah dapat turut membantu perusahaan kertas dalam menghadapi kampanye hitam yang bermotif dagang ini. Tanpa bantuan pemerintah, maka kampanye seperti ini akan terus berlangsung.

Kampanye Hitam Minyak Sawit

Produk nabati lainnya yang tak lepas dari kampanye hitam adalah minyak sawit (palm oil). Pembicara lainnya dalam workshop ini, Goh Lin Piao yang merupakan Director Group Corporate and External Affairs Asian Agri (perusahaan bidang kelapa sawit di bawah APRIL Group) memaparkan tentang maraknya kampanye hitam tentang minyak sawit. Di antaranya adalah produk sawit yang tak ramah lingkungan dan minyak sawit yang berbahaya bagi kesehatan karena mengandung kolesterol tinggi.

‘’Semuanya itu sengaja dihembuskan karena khawatir tentang keunggulan kompetitif palm oil dibanding minyak nabati lainnya,’’ ujar Goh.

Ia menyebut, sebenarnya produk minyak kelapa sawit mengancam produk minyak nabati yang dihasilkan di Eropa berupa minyak kedelai, bunga matahari, minyak zaitun, atau yang lainnya. Sebagai contoh, minyak zaitun tak bisa menggoreng ikan secara penuh. Dalam suhu tertentu, panasnya tak stabil dan bisa memunculkan percikan api. Begitu juga produk lainnya.

Begitu juga tentang isu deforestasi yang merebak. Menurutnya, kini muncul isu deforestasi yang luar biasa di dunia karena kebun sawit begitu banyak yang muncul dengan produk yang juga makin banyak.

Selain memang ada beberapa kenyataan tentang isu deforestasi, tapi menurutnya hal yang faktual juga bahwa persentase hutan di Indonesia jauh lebih besar dari pada negara mana pun.

Hanya Finlandia yang memiliki hutan lebih luas yakni 73 persen dibanding Indonesia seluas 52 persen. Negara lainnya seperti Inggris hanya 12 persen, Prancis 29 persen, Jerman 32 persen dan Norwegia 33 persen.

Saat ini, dalam dunia minyak sawit, ada ketentuan soal RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), tentang pentingnya menjaga lingkungan berkaitan dengan produk minyak sawit. Tapi Goh justru melihat isu RSPO lebih banyak digunakan sebagai kampanye hitam negara-negara pesaing dan produsen minyak nabati di dunia.

‘’Mereka tak mungkin dapat mengalahkan produk minyak sawit yang dihasilkan Indonesia dan Malaysia. Makanya kampanye hitam terus dilancarkan,’’ sebutnya.

Ia mencontohkan soal kolesterol yang dihasilkan minyak sawit. Pada umumnya, jika digunakan berlebihan, seluruh bahan baku minyak ini mengandung lemak, dan juga kolesterol.

Intinya adalah pemakaian yang berlebihan, baik minyak sawit, kelapa, maupun zaitun, bunga matahari, atau kedelai akan berbahaya bagi kesehatan. Akan tetapi yang selalu dikampanyekan mengandung kolesterol tinggi hanyalah minyak sawit.

‘’Motifnya kampanye hitam itu,’’ ujarnya.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook