Lama tinggal di Amerika, tidak lantas membuatnya lupa kembali ke tanah kelahirannya, Indonesia. Di negara kiblat industri film dunia, ia menyerap ilmu, melakoni hobi sekaligus menyimpan mimpi bisa kembali berkarya di negeri sendiri. Meski masih menjadi pemain baru di industri film tanah air, ia telah melahirkan karya-karya yang banyak mendapat apresiasi.
Laporan AFNI ZULKIFLI, Jakarta
PERAWAKANNYA tinggi dan berkulit putih. Senyum seolah tak pernah lepas dari wajahnya. Penampilan begitu santai dan sangat sederhana. Wajah yang terkesan bule seketika menjadi sangat Indonesia ketika memperkenalkan nama aslinya. ‘’Sarjono Sutrisno.’’ katanya pada Riau Pos, saat ditemui di kawasan Kemang, Jakarta beberapa waktu lalu.
Pria kelahiran 4 Desember 1975 di Medan, Sumatera Utara ini menghabiskan masa SMA hingga menyelesaikan pendidikan sarjananya di Amerika. Lulusan Art Center of Pasadena, Los Angeles (LA) ini sejak kecil sangat hobi sekali menonton film. Berada di negara pusat industri film, semakin menambah ‘’kegilaannya’’ melahap karya-karya para sineas ternama asal negeri Paman Sam itu. ‘’Hampir setiap hari saya menonton film. Meski jelek sekalipun saya tonton. Saya mengagumi semua karya itu karena lahir dari kreativitas yang besar. Beberapa kali saya juga mengunjungi kawasan industri film Amerika, Hollywood,’’ katanya saat ditanya awal mula kesukaannya pada film.
Orangtua Sarjono, Sutrisno dan Choe Zulianna, awalnya sempat mengkritisi kesukaan anaknya pada dunia film. Maklum saja, di keluarga pengusaha nasional pemilik perusahaan PT Broco ini tidak ada satupun yang menggeluti industri film. Bahkan pilihan Sarjono mengambil jurusan advertising daripada ekonomi yang menjadi dasar bisnis keluarga, sempat dipertanyakan. Namun demikian orangtua Sarjono tetap mendukung pilihan anaknya, dengan syarat tidak meninggalkan tanggung jawab meneruskan usaha keluarga.
Pada 2002, Sarjono akhirnya kembali ke Indonesia. Ia diserahi tanggung jawab meneruskan bisnis keluarganya. Beberapa jabatan penting pun dipegangnya. Mulai dari direktur di PT Broco dan presiden direktur di cabang perusahaan yang sama. Jabatan penting di dua perusahaan tersebut masih dipegangnya hingga saat ini.
Setelah beberapa tahun bergelut dengan bisnis keluarga bukan berarti kecintaan Sutrisno pada dunia film hilang begitu saja. Justru ia mulai semangat bergerilya mencari rekan-rekan dengan ide kreativitas yang sama di dunia film. Tak perlu waktu lama, pada 2008 berdirilah perusahaan film pertama miliknya, PT Mutiara Warna Indonesia.
Sarjono kemudian mengembangkan sayap bisnisnya dengan membentuk perusahaan film PT Skylar Picture. Dalam beberapa tahun saja, bisnisnya berkembang pesat menjadi Aletta Pictures, Aletta Concerts Skylar TV, Stromotion, Color Films, Trilogy Live, Skylar Comics dan Aletta Int Talent. Semuanya tergabung dalam induk perusahaan bernama, Stro World. Sarjono pun menunjukan bakat alaminya sebagai seorang sineas cerdas. Meski belajar secara otodidak, ayah dari Jaythaneal Skylar Sutrisno dan Jadrianna Aletta Sutrisno ini langsung memasang idealisme sendiri untuk setiap karya-karyanya. Beberapa cerita film berasal dari ide kreatifnya sendiri, yang memprioritaskan mengangkat tema film tentang cinta keluarga.
‘’Pertama kali produksi kita hanya buat film-film DVD atau FTV. Baru pada 2009 kita mulai produksi layar lebar berjudul Jinx, Tebus, Surat Kecil untuk Tuhan, Hasduk Berpola dan The Witness,’’ katanya. Film Surat Kecil untuk Tuhan, yang diangkat dari kisah nyata perjuangan seorang seorang anak berumur 13 tahun, pengidap rhabdomyosarcoma (kanker jaringan lunak), langsung melambungkan PT Skylar Picture. Film ini berhasil menempatkan pemainnya meraih nominasi Piala Citra untuk aktor dan aktris terbaik.
Sedangkan di film lainnya, The Witness, yang diproduksi 2012, Sarjono Sutrisno mulai memiliki target Go Internasional dalam berkarya. Ia berhasil menggaet aktris terkenal asal Philipina, Gwen Zamora, sebagai pemeran utama filmnya. Film ini tidak hanya sukses di dalam negeri, namun juga di negeri asal Zamora. Bahkan film Sarjono ini berhasil mendapatkan Great A, sebuah penilaian tertinggi yang diberikan lembaga sensor film di sana. Karena mendapatkan prestasi itu, pemerintah Filipina memberikan kebebasan pajak untuk film ini dengan tujuan agar industri film Filipina juga bisa menghasilkan karya-karya berkualitas layaknya The Witness.
The Witness bagi Sarjono bukan hanya pembuktian karyanya bisa menembus pasar Asia, tapi juga sebuah pembuktian bahwa anak Indonesia bisa melahirkan karya-karya yang layak ditonton penikmat film di banyak negara. ‘’Rasanya miris sekali, bila duduk bersama sineas luar negeri dan mereka seolah meremehkan film-film buatan Indonesia. Padahal secara kualitas dan kemampuan, tidak ada yang kurang di kita. Hanya soal kemauan, kesempatan dan keberanian dalam berkarya,’’ kata Sarjono.
Film bagi Sarjono adalah bahasa visual yang bisa dipahami oleh kelompok masyarakat manapun di belahan dunia mana saja. Karena itu, baginya sebuah film bisa menjadi media menyampaikan pesan dan sarana memperkenalkan tanah lahirnya, Indonesia. Dari film Sarjono belajar menghargai sebuah ide dan kreativitas. Ia juga menemukan kepuasaan batin ketika karyanya bisa mendatangkan kebahagiaan bagi banyak orang. ‘’Kadang saya sering datang ke bioskop, berbaur dengan penonton dan melihat reaksi mereka tentang film saya. Jika mereka tetap duduk sampai film selesai dan menunjukan wajah puas, saya akan senang sekali. Rasa puasnya susah diungkapkan dengan kata-kata,’’ ujar Sarjono. Atas dasar rasa cintanya pada sebuah karya itulah, Sarjono memiliki syarat khusus ketika membiayai sebuah film. Ia tidak mau menggunakan sutradara dan penulis naskah dari luar negeri.
‘’Artis boleh dari mana saja, tapi untuk sutradara dan penulis naskah harus asli Indonesia. Sehingga karya ini akan dikenal dan dikenang sebagai hasil karya anak Indonesia. Syukur-syukur melalui film bisa membanggakan Indonesia di mata dunia,’’ kata Sarjono bercita-cita.
Hal ini dibuktikan Sarjono dalam film teranyarnya, Guardian. Dalam film ini, Sarjono manggaet bintang Hollywood, Sarah Carter, sebagai pemeran utama. Bagi artis yang pernah main di Final Destination 2, The Vow dan Falling Skies tersebut, ini merupakan pengalaman pertamanya syuting untuk film Indonesia. Sarjono mengatakan nyaris tidak ada kendala saat mengajak Sarah Carter bermain di filmnya. Begitu dikirimi naskah yang merupakan ide kreatifnya, Sarah langsung menyenangi dan bersedia untuk bekerja sama. Selama hampir dua bulan, Sarah melakoni syuting di Jakarta dan sekitarnya.
‘’Ini sebuah bukti bahwa ada orang luar yang mau bermain di film kita dan tidak meremehkan kemampuan yang kita punya. Kemampuan Sarah dalam berakting sangat cocok dengan karakter yang diperlukan Guardian dan hasilnya luar biasa,’’ kata Sarjono.
Sarjono pun menunjukan kelasnya sebagai Eksekutif Produser Hollywood milik Indonesia saat proses syuting Guardian. Tak tanggung-tanggung, untuk pertama kalinya dalam produksi film layar lebar Indonesia, adegan syuting diambil dengan menutup total satu jalan layang di tengah kepadatan kota Jakarta. Kala itu yang ditutup adalah jalan layang karet Bivak, Jakarta Selatan.
Di lokasi ini kru film Guardian melakoni syuting mulai dari pagi hingga sore hari. Aksi kejar-kejaran, tembak menembak dan tabrakan berpadu dengan efek visualisasi yang dahsyat, dengan latar belakang gedung tinggi ibu kota, membuat Guardian disebut-sebut sebagai film dengan budget termahal yang pernah dibuat rumah produksi film Indonesia. ‘’Guardian akan tayang tak lama lagi. Semoga bisa dinikmati tidak hanya di Indonesia, tapi juga bisa kita sajikan bagi penikmat film di seluruh dunia. Kita akan tunjukan bahwa sineas Indonesia juga bisa berkarya ala Hollywood sana,’’ kata Sarjono penuh semangat.
Film Guardian yang menghadirkan bintang film Hollywood asal Kanada, juga mendapat apresiasi dari istri Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Teresa Rozkiewicz. Ia memuji kualitas dan keberanian Sarjono dalam berkarya dan yakin film ini akan dinikmati tidak hanya di Indonesia. ‘’Ini sebuah film yang luar biasa. Selain mengambil adegan asli di Jakarta, film ini sangat menarik karena berkisah tentang cinta seorang ibu kepada anaknya,’’ puji Rozkiewicz.(bersambung)