ALVATIRA GEMA, KORBAN GEMPA 30 SEPTEMBER 2009

Ungkapkan Pengalaman Pahit lewat Buku

Feature | Selasa, 26 Juni 2012 - 10:36 WIB

Ungkapkan Pengalaman Pahit lewat Buku
Alvatira Gema (tiga dari kanan) korban gempa dahsyat Sumatera Barat 30 September 2009 yang menungkap pengalamn pahitnya lewat buku. (Foto: RPG)

Meski harus kehilangan kaki kanan dan rekonstruksi kaki kiri, tak membuat Alvatira Gema berputus asa dan menyerah dengan takdir. Sempat tampil di Idola Cilik 2010 lalu, Alvatira Gema menghilang untuk rekonstruksi kaki kiri dan pemulihan mental.

Laporan RPG Padang

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kini, setelah tiga tahun gempa 30 September 2009, Alvatira hadir dengan semangat baru. Alvatira adalah salah satu korban selamat dari reruntuhan bangunan Bimbingan Belajar Gamma di Jalan Proklamasi, Padang.  

Sabtu (23/6) lalu, Alvatira hadir dalam pengukuhan Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unand di Gedung Serbaguna Semen Padang. Dia duduk di bagian depan dan ditemani ibu dan adiknya.

Rambutnya ikal sebahu terlihat sesekali diterbangkan angin. Senyum selalu mengembang pada wajah gadis belia tersebut. Tak sedikit pun rasa canggung tampil di antara para tamu penting yang hadir da­lam acara itu.

Ia mengerakkan kaki dari balik rok panjang yang dike­na­kannya. Terlihat kaki kanan palsu yang menopang tubuh­nya untuk bisa berjalan. Alva­tira, kepada Padang Ekspres, mengaku tengah menanti ke­sem­buhan kakinya.

Di masa penantian itu, ia menuliskan pengalamannya saat berjuang dari maut pada kertas-kertas HVS. Alhasil, curahan hatinya tersebut sudah setebal 41 halaman. Ia iseng  memasukkan tulisannya ke salah satu penerbit. Tiga bulan setelah itu, ia mendapat kabar tulisan dikirimkannya akan dibukukan dan diterbitkan.

“Buku itu diberi judul Never Give Up dan berisi pengalaman pribadinya saat gempa mengguncang Padang, 30 September 2009. Buku ditulis itu sudah cetakan ketiga,” ungkap dara kelahiran 13 April 1999 itu.

Kini, ia juga telah menyelesaikan buku karya keduanya bercerita soal petualangan. “Alhamdulillah, sekarang sudah saya serahkan lagi sama penerbit. Saya masih menunggu jawaban dari penerbit. Mudah-mudahan saja di terima. Doakan ya, kak,” kata Alvatira.

Masih membekas di benaknya mengingat kejadian gempa yang membuat ia harus kehilangan kaki kanan. “Kala itu, saya lagi bimbingan belajar di lantai 3. Tiba-tiba saja, terjadi guncangan hebat. Saat ingin berlari ke bawah, tangga yang akan dituju ambruk duluan. Saya pun mencoba berlindung dekat dinding bangunan, tapi sayang roboh. Dinding itu menindih saya dalam posisi tertelungkup,” kenang pelajar SMPN 8 Padang ini.

Setelah kejadian itu, ia hanya melihat cahaya gelap dan pekikan minta tolong dari teman-temannya yang masih tertimbun dalam reruntuhan bangunan. “Orang yang pertama kali menemukan saya, adik-adik mama. Lalu dibawa ke rumah sakit dan di sana kaki kanan saya diamputasi dan dirujuk ke Rumah Sakit Pertamina (RSP) Jakarta untuk berobat lanjutan,” ujar putri pasangan Merry dan Anwar ini.

Di RSP ia dirawat 3,5 bulan dan 5 bulan didampingi psikolog. “Saya semangat untuk sembuh karena teman-teman saya sering menelepon. Bahkan ada yang mengirimi saya surat, isinya supaya cepat sembuh. Itulah yang memberikan semangat untuk sembuh,” ucap anak sulung yang suka buku bacaan ini.

Alvatira mengatakan, sejak peristiwa itu, ia sudah jarang tampil untuk menyanyi mengisi acara. “Kalau sekarang saya tak bisa bergerak sebebas dulu. Apalagi sekarang saya pulangnya jam 16.00. Latihan pun sudah jarang saya lakukan. Jadi  saya tak terlalu fokus lagi untuk menyanyi,” kata peraih penghargaan Rekor Muri untuk figur anak yang tabah di daerah bencana.

Ditanya cita-cita, Alvatira sedikit malu-malu. “Jika sudah besar, nanti  saya ingin jadi dokter, Kak. Biar bisa menyembuhkan banyak orang,” ucapnya sambil tersenyum.

Anwar, orangtua Alvatira, juga mengaku tak bisa melupakan kejadian kelam itu. “Saya sudah lihat anak saya di bawah puing reruntuhan. Saya ingin sekali masuk, tapi yang lain melarang. Karena khawatir, bangunan itu akan bergetar dan meruntuhkan bangunan yang ada. Akhirnya adik mama­nya, masuk lubang dan menyelamatkan Alvatira. Setelah dikeluarkan, Alvatira dirujuk ke RS Tentara Reksodiwiryo,” ujarnya.

Saat Alvatira sampai di RST, tak langsung mendapatkan pertolongan karena listrik mati. Anwar mengambil inisiatif pulang ke rumah untuk mengambil genset. Setelah genset datang dan dihidupkan, barulah Alvatira mendapatkan pertolongan.

 “Saya berjuang untuk bisa menyelamatkan satu kaki. Lewat bantuan dr Nurman, anggota IKA Unand, kami membawa Alvatira ke Jakarta dan dirawat di RSP Jakarta. Alhamdulillah, kaki kirinya bisa terselamatkan,” ucapnya sambil mengelus pundak putrinya. (rpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook