Menjelajahi Sejarah Candi Muara Takus

Feature | Minggu, 26 Januari 2014 - 09:44 WIB

Menjelajahi Sejarah Candi Muara Takus
Pengunjung menikmati suasana segar di Candi Muara Takus, Kabupaten Kampar. FOTO: KUNNI MASROHANTI/RIAU POS

Potongan masa lalu itu masih berdiri tegap; Candi Muara Takus. Bangunan ini melambangkan keagungan kebudayaan, prilaku, peradaban bahkan kecanggihan tekhnologi manusia di masa itu. Termasuk rentetan panjang perjalanan Kerajaan Sriwijaya.

Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

CANDI Muara Takus merupakan cagar budaya nasional Indonesia. Terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar. Tempat ini menjadi salah satu objek wisata terkenal di Riau, bahkan Indonesia. Pengunjung bukan hanya ingin melihat dari dekat peninggalan sejarah masa lalu itu, tapi banyak juga yang menggelar iven bersama rekan kerja ataupun keluarga.

Candi ini terletak sekitar 128 kilo meter dari Pekanbaru, arah ke Sumatera Barat (Sumbar). Hamparan Danau PLTA Koto panjang yang membentang di sisi kanan kiri jembatan baja, memanjakan mata memandang sebelum memasuki jalan kecil arah ke kanan menuju Candi Muara Takus. Setelah  melewati Desa Tanjung Alai, Gulamo, Batu Bersurat dan Koto Tuo, candi itupun terlihat. Jalan yang ditempuh, beraspal mulus. Hanya beberapa bagian saja yang rusak.

Candi dengan stupa berwarna kuning, terlihat jelas. Ada yang tinggi, ada yang rendah. Ada bangunan rata yang tidak berstupa lagi. Bangunan-bangunan ini berada di atas lahan sekitar 74x74 meter. Pagar besi mengelilingi bangunan ini.

Candi Muara Takus merupakan candi Buddha. Ini terlihat dari adanya stupa yang merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Syiwa. Bangunan yang utama adalah yang disebut Candi Tua. Candi ini berukuran 32,80 m x 21,80 m dan merupakan candi bangunan terbesar di antara bangunan yang ada. Letaknya di sebelah Utara Candi Bungsu. Di sebelah Timur dan Barat terdapat tangga yang menurut perkiraan aslinya dihiasi stupa.

Bangunan kedua dinamakan Candi Mahligai. Bangunan ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m. Tingginya sampai ke puncak 14,30 meter. Bangunan ketiga disebut Candi Palangka, yang terletak 3,85 m sebelah Timur Candi Mahligai. Bangunan ini terdiri dari batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka merupakan candi terkecil. Relung-relung batu yang tersusun tidak sama dengan dinding Candi Mahligai. Dulu, sebelum dipugar, bagian kakinya terbenam sekitar satu meter.

Bangunan keempat dinamakan Candi Bungsu. Candi Bungsu terletak di sebelah Barat Candi Mahligai. Bangunannya terbuat dari dua jenis batu, yaitu batu pasir. Selain bangunan-bangunan ini, di sebelah Utara atau tepat di depan gerbang Candi Tua terdapat onggokan tanah yang mempunyai dua lubang. Tempat ini diperkirakan tempat pembakaran jenazah. Lubang yang satu untuk memasukkan jenazah dan yang satunya lagi untuk mengeluarkan abunya. Tempat pembakaran jenazah ini termasuk dalam pemeliharaan karena berada dalam komplek percandian. Di dalam onggokan tanah tersebut terdapat batu-batu kerikil yang berasal dari Sungai Kampar.

Candi ini sudah pernah dipugar. Batu-bata pada candi bagian atas, merupakan batu-bata masa kini. Tapi, di bagian bawahnya masih asli. Bentuknya seperti tanah, lembut dan meresap air. Di antara batu-batu itu juga ada drainase peninggalan masa silam. Di bagian paling belakang candi ini juga terdapat sumur yang digunakan untuk penelitian.

Di luar pagar bangunan ini terdapat halaman yang luas. Di sini ada pondok-pondok tempat masyarakat berjualan. Di sinilah pengunjung biasanya beristirahat dan sering melakukan berbagai kegiatan. Bisa berbentuk perlombaan, permainan atau hanya sekedar berdiskusi dengan menggelar tikar dan makan bersama. Fasilitas seperti kamar mandi dan musala, juga tersedia di sini.

Kawasan asli candi ini sebetulnya cukup luas, yakni mencapai 4 kilometer persegi. Bahkan sampai di pinggiran Danau PLTA yang terletak tidak jauh dari candi. Sisi danau di kawasan ini juga menjadi lokasi berkunjung bagi wisatawan. Pohon-pohon di sekitarnya yang teduh dan semilir angin di pinggiran danau, membuat pengunjung betah berlama-lama di sini. Paling tidak, mereka menghabiskan sebagian waktu untuk berfoto-foto di sini.

Danau ini dibangun tahun 1992. Waktu itu, Tokyo Elektric Power Limited melakukan proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Desa Koto Panjang, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar. Program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Jepang itu berupa pembuatan bendungan. Awalnya, air Sungai Kampar Kanan akan dinaikkan hingga 100 meter sehingga bisa menghasilkan 140 megawatt. Hal ini sempat diributkan banyak kalangan. Air setinggi itu dipastikan menenggelamkan gugusan candi, maka diturunkan lagi menjadi 85 meter.

Gugusan Candi Muara Takus memang terselamatkan, tetapi penggalan kisahnya kini juga berada di bawah permukaan air danau. Secuil kisah itu ada di Desa Pongkai, desa dimana tanah liat bahan candi diambil. Bekas-bekas lubang galian tanah di desa yang berjarak sekitar 8 kilo meter di sebelah hilir kompleks Candi Muara Takus ini musnah tenggelam. ‘’Ada delapan desa yang tenggelam, tapi semua sudah dipindahkan. Di sini dulu kawasan pasar,’’ kata Datok Ramli bergelar Rajo Datok Tigo Balai.

Di sisi lain, juga tidak jauh dari candi, terdapat bangunan kecil yang terbuat dari batu-bata yang sama yang digunakan untuk membuat candi. Sudah pasti bangunan ini merupakan bagian dari bangunan candi. Sekitar 20 meter ke arah pinggir sungai, terdapat dermaga. Tidak jauh dari dermaga ini terdapat sumur larangan. Sumur yang juga menjadi bagian dari bangunan candi.

Karena air danau yang tinggi, sumur ini sempat hilang. Warga tempatan kemudian mencarinya dan kembali menemukan sumur itu. Tidak ingin kehilangan lagi, warga kemudian mengubah bentuk sumur ini menjadi sumur cincin. Sumur inipun tidak terlihat jelas, padahal, banyak kisah dan sejarah di dalamnya.

Mengapa kawasan candi ini diyakini masyarakat setempat seluas 4 kilo meter, karena kawasan ini memang dipagar dengan tanggul kuno. Tanggul ini dibuat keliling. Sisa tanggul kuno itu masih terlihat. Tidak jauh dari dermaga. Cukup dengan berjalan kaki saja. Di kawasan sisa tanggul kuno inilah dulu yang menjadi tempat pembuatan dan pembakaran batu-bata untuk membuat candi itu. Tapi kawasan ini juga sudah tenggelam oleh Danau PLTA.

Wisatawan yang datang tidak akan ditemani guide. Tapi, candi ini tetap ada penjaga dan juru peliharanya (jupel). Salah satunya Zaidil. Ia diangkat sebagai pegawai honor melalui Surat Keputusan (SK) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah Purbakala Batu Sangkar wilayah kerja Provinsi Sumbar, Riau dan Kepri ketika yang kini sudah berubah menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Zaidil bekerja sama dengan delapan Jupel lainnya; empat dari BPCB dan lima lainnya dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kampar.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook