Deru mesin dari knalpot mobil truk Colt Disel membahana di depan rumah Suro pertengahan November lalu. Bunyi-bunyian dari tojok, timbangan dan skop yang dilemparkan kedalam bak mobil semakin memecah kesunyian pagi itu.
Laporan INDRA EFENDI Tembilahan
Arah jam tepat menunjukkan pukul 07.00 WIB. Suro duduk santai di depan teras rumahnya di Blok E Desa Karya Tunas Jaya, Kecamatan Tempuling, Indragiri Hilir. Secangkir kopi panas dan sepiring singkong mejadi pemandangan rutin diatas sebuah meja petak. Kemudian, kopi pekat sedikit gula itu ia minum seteguk demi seteguk. Setelah mencicipi hidangan ringan pagi itu, Suro langsung menaiki mobil Cold Diesel yang baru di running supirnya. Kemudian pria berusia 82 tahun itu melaju dengan kendaraan pribadinya ke kebun kelapa miliknya.
Suro adalah seorang pendatang dari Desa Cipetir, Kecamatan Bojong Picung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat (Jabar). Ia datang ke Indragiri Hilir sebagai seorang transmigran bersama 50 KK pada Agustus 1980. Dulunya di kampung halamannya, ia berprofesi sebagai seorang guru honor di salah satu Sekolah Dasar (SD) di daerah itu. Profesi mulia itu dijalaninya lebih dari satu dekade ketika itu dengan gaji perbulan Rp 3.000. Walau pas-pasan, dengan penghasilannya itu bisa menghidupi seorang istri dan tujuh anak. Kemudian, untuk meningkatkan perekonomian keluarganya, Suro mendaftar sebagai peserta transmigrasi yang selanjutnya di tempatkan di desa itu.
Berubahkan nasib Suro di tempat penempatan transmigran? Bukannya sukses malah ia mendapatkan tekanan hidup tak kalah berat seperti masih di kampung. Untuk bertahan hidup, ia harus mau bekerja semberautan alias buruh harian lepas. Berbagai profesi terpaksa dilakoninya diantaranya menjadi buruh pikul maupun buruh bangunan. Bahkan seketika waktu, dia terpaksa harus berbohong kepada teman-temanya karena kepepet untuk keperluan makan minum keluarga.''Meski tak bisa kerja bangunan, tapi saya mengaku sebagai tukang. Alhamdulillah semua pekerjaan saya rampung dan tidak ada masalah,'' kenangnya ketika berbincang di rumahnya pekan lalu.
Penderitaanya tidak habis sampai disitu. Ia menceritakan, pernah suatu hari, sekitar 22 tahun silam dia dan seorang temanya harus berjalan kaki dari Tembilahan, menuju Blok E Desa Karya Tunas Jaya. Ia dia tidak punya ongkos sehingga terpaksa berjalan kaki selama empat jam, mulai pukul 16.12 WIB hingga 20.15 WIB. Itu pun bukan sampai di tempat tujuan, namun baru tiba di Desa Sungai Salak. Karena sudah malam dan lelah dia memutuskan untuk bermalam di desa itu.
''Kebetulan teman saya itu punya kenalan di Sungai Salak. Akhirnya kita numpang tidur di dsana,'' sebut Suro.
Pagi harinya sekitar pukul 05.00 WIB, Suro kembali melanjutkan perjalananya. Setelah berjalan kurang lebih empat jam barulah ia sampai di Blok E Desa Karya Tunas Jaya.
Keesok harinya, Suro kembali melanjutkan aktifitasnya seperti biasa. Parang dan cangkul merupakan senjata utama yang ia miliki sebagai modal dalam kerjanya sebagai seorang petani.
''Luka sudah sulit di hitung. Memang itu ancaman buat kami yang berpropesi sebagai petani,'' akunya.
Akses jalan darat ke Desa Karya Tunas Jaya, dari Tembilahan, ibu kota Indragiri Hilir berjarak sekitar 35 kilo meter melintasi Jalan Raya Tembilahan-Rengat. Sedankan jalur sungai, dapat diakses dengan mengarungi Sungai Indragiri-Sungai Mumpa. Secara administratif, Mumpa berada di Kecamatan Tempuling. Dia diapit oleh Kecamatan Kempas dan Kecamatan Tembilahan Hulu.
Sejak tiba di daerah Transmigrasi itu, Suro seperti terperangkap. Ia tak bisa kemana-mana, apalagi untuk pulang ke kampung di Jabar.''Kala itu untuk makan saja susah, jangankan untuk pulang kampun ke jawa sana,'' kenang Suro.yang mengaku, sejak mulai berhasil sudah 29 kali pulang ke jawa.
Lima tahun pertama penempatan transmigasi, Suro merasakan tidak banyak yang berubah, begitu pula dari sisi ekonomi. Terkadang ia dan keluarga hanya makan nasi seadanya, sesuai jatah sembako yang di berikan pemerintah pada saat itu. Komoditi yang ia tanam, itu pulah lah yang ia makan. ''Tanam jangung, kita makan jagung. Kalau menanam singkong ya kita harus makan singkong,'' cerita Suro yang diamini istrinya Ipit (66).
Meski pernah menjadi guru di kampung halamanya, namun Suro mengaku tetap tidak ingin kembali berpropesi sebagai guru. Dia lebih memilih menjadi kuli serabutan. Padahal kala itu, banyak pihak yang menawarkanya untuk menjadi tenaga pendidik tapi tetap saja ia tolak dengan alasan ingin fokus menjadi petani.
Suro juga pernah mengalami kegagalan dalam menanam kelapa hibrida di lahan seluas dua hektare. Bahkan ia mengaku tiga kali kelapa hibrida yang ia tanam rusak di serang hama babi hutan. Dia hampir putus asa. Apalagi kala melihat 44 kepala keluarga (KK) seangkatan Suro dari Jabar pulang kampung, karena merasa tidak kerasan. ''Karena semangat dan tekat yang kuat, saya tetap bertahan hidup di sini,'' kata Suro.
Berbekal dari kegagalan itu, Suro mulai melakkan berbagai antisipasi. Ia mulai mengatur staregi agar penanam ke empat kalinya itu bisa berhasil. Pada suatu ketika dia mendapatkan ide membuat boneka kayu (orang-orangan sawah) untuk untuk mengusir hama babi hutan. Usaha kerasnya itu mulai berhasil. Kelapa hibrida yang ia tanam bisa tumbuh besar seperti diharapkannya saat ini.
''Pagi-pagi betul saya sudah turun ke kebun. Menjelang magrib saya baru pulang. Semua itu saya lakukan demi masa depan hidup keluarga,'' tuturnya.
Perjuangan selama puluhan tahun, akhirnya mengantarkan kakek 20 cucu sebagai seorang transmigran yang sukses. Ia juga bisa bernafas lega, sebab sembilan anaknya sudah mandiri dan mapan. Cerita Suro, salah satu potret kehidupan ribuan warga transmigrasi di Negeri Sri Gemilang.
Kehadiran warga transmigrasi asal Jawa, menumbuhkan semangat dan motivasi baru bagi warga tempatan (Lokal, red). Setidaknya mereka dapat mencotoh kerja keras warga transmigran, yang seyokyanya ingin menjadi petani tulen. Terlebih diantara mereka banyak yang sukses.
”Ketekunan transmigran dari Jawa memang perlu kita contoh. Tengok sajalah, akibat kerja kerasnya mereka sekarang ini sudah memiliki lebih dari dua hektare kaplingan,” kata Rusdin, salah seorang warga tempatan disana.
Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi Setdakab Inhil, H Sirajuddin, menjelaskan program transmigrasi dari semua sisi sangat menguntungkan. Dari sisi peningkatan ekonomi, transmigran mendapat dua hektare lahan. Mereka juga mendapatkan rumah layak huni dengan biaya hidup selama tahun pertama juga ditanggung penuh pemerintah setempat.
Transmigrassi juga berperan dalam penciptaan kemampuan wirausaha para masyarakat di tingkat-tingkat desa. Dan akhirnya berkembang hingga ke berbagai daerah kecamatan, kabupaten dan provinsi.
Kepala Dinas Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertans) Kabupaten Indragiri Hilir, H Hafitsyah menuturkan kedatangan warga transmigran di Riau, khusnya Inhil, memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di salah satu Kabupaten pemekaran Indragiri Hulu (Inhu).Setidaknya menurut Hafit, sejak tahun 1971 hingga sekarang terdapat 18.001 KK atau 25.718 jiwa yang tersebar di 7 Kecamatan se Inhil yakni Tempuling, Kempas, Enok, Kateman, Pelangiran, Teluk Belengkong, Tembilahan dan Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra). Umumnya mereka berasal dari berbagai darah di Pulau Jawa. Sehingga beragam suku bangsa terdapat dalam satu kelompok transmigrasi. Meski demikian, keberagaman itu tidak membuat warga transmigrasi menjadi berbeda padangan. Hingga saat ini mereka masih tetap hidup rukun berdampingan antara satu dengan lain.
Kehadiran warga transmigrasi, lanjutnya, selain sebagai akselerasi pertumbuhan dua sektor tersebut diatas juga merupakan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemerataan penduduk. Dengan peningkatan ketrampilan, keahlian dan kompetensi tenaga kerja dan produktivitas mampu menghadapi persaingan yang semakin terbuka ataupun menjadi usahawan mandiri dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara optimal, efisien dan produktif guna memperluas lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas
”Ini salah satu tujuan utama transmigrasi,”katanya.***