KINI AIR TAK LAGI MENJADI SAHABAT

Jangan Menantang Alam

Feature | Minggu, 25 November 2012 - 08:46 WIB

Jangan Menantang Alam
Sejumlah foto memperlihatkan banjir 2012 yang terjadi di beberapa kabupaten di Riau. Foto: Riau Pos

Banjir bukan peristiwa alam yang baru-baru ini saja terjadi. Hampir setiap musim beberapa kawasan di Riau menjadi langganan bencana alam ini. Namun kini, kondisinya kian parah, mengapa?

Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Sebulan terakhir, banjir hampir terjadi merata di sejumlah wilayah di Riau. Beberapa kawasan di kabupaten dan kota seperti Pekanbaru, Kampar, Pelalawan, Kuantan Singingi, Rokan Hulu dan Rokan Hilir menjadi korban luapan air baik yang disebabkan tingginya curah hujan maupun kapasitas tampung daerah aliran sungai (DAS) yang tidak lagi memadai.

Meski bukan peristiwa aneh, namun, intensitas banjir yang terjadi dewasa ini diakui warga lebih tinggi dan lebih luas dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Bahkan, di beberapa kawasan banjir diikuti terjangan air bah dari puncak perbukitan yang ikut membawa berbagai jenis material alam termasuk kayu bahkan bebatuan.  

Kondisi ini berbeda sekali dengan kondisi banjir yang terjadi semenjak dulu, dimana, datangnya banjir bisa diprediksi dari kenaikan permukaan air sungai yang berlangsung secara bertahap yang juga memungkinkan masyarakat untuk mengambil langkah evakuasi atau menyelamatkan diri dan harta benda dari kemungkinan banjir yang akan datang.

Bahkan, masyarakat juga sudah punya gambaran tentang berapa tinggi kemungkinan banjir akan terjadi sehingga, mereka membuat rumah-rumah panggung dengan ketinggian tertentu yang sudah diukur dengan rata-rata ketinggian air saat banjir. ‘’Tapi, kini, hal tersebut sudah tak lagi bisa diprediksi Karena peristiwa banjir yang terjadi memang tidak sesuai dengan kondisi sebelumnya,’’ungkap Pakar Planologi yang juga Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (Forum DAS) Ir Mardianto Manan MT saat ditemui Riau Pos Jumat (23/11) lalu.

Ada beberapa faktor, menurut Mardianto yang menjadi penyebab perubahan kondisi tersebut, salah satunya adalah kerusakan yang demikian parah di daerah hulu dan minimnya upaya penanganan secara komprehensif terhadap permasalahan banjir yang terjadi setiap musimnya.  

Idealnya, menurut dia, penanganan masalah banjir tidak hanya berbicara tentang bagaimana membuat perencanaan di wilayah hilir semata dengan membuat drainase, kanal-kanal air, membuat bendungan dan berbagai kebijakan berorientasi akhir. Pola pikir harus diubah, dengan melihat persoalan banjir ini sebagai persoalan yang berawal dari hulu dan berdampak hingga ke hilir.

‘’Bila pemerintah hanya fokus untuk mencari solusi di hilir, maka setiap tahun akan itulah yang menjadi pekerjaan rutin pemerintah. Mengeluarkan bantuan untuk korban banjir. Padahal, ada kebijakan yang mungkin perlu waktu, namun, dampaknya sepuluh atau 20 tahun yang akan datang, bahkan mungkin ratusan tahun ke depan, tidak akan terjadi lagi banjir. Misalnya dengan membuat penataan kawasan yang bisa mencegah banjir, melakukan reboisasi/penghijauan, menghentikan penerbitan izin untuk pembukaan kawasan hutan dan lahan,’’ungkap Ketua Jurusan Planologi UIR ini.

Potensi ini, diakui Mardianto, belum dilaksanakan dengan baik. ‘’Hampir setiap hari, saya mendengar kalimat dari para pejabat kita hanya membahas penyelesaian jangka pendek dari persoalan banjir. Membuat drainase induk, membuat bendungan, dam dan berbagai langkah praktis lainnya. Memang tidak salah, tapi, itu bukan akar dari permasalahan banjir dewasa ini. Sangat sedikit yang berani membahas tentang bagaimana menata kawasan yang mulai rusak di daerah hilir, mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi tidak mematuhi kaidah hukum lingkungan,’’ ungkap Mardianto.

Dia mencontohkan perihal peraturan tentang pemanfaatan lahan dengan sempadan sungai yang saat ini hampir tak lagi diperhatikan. Padahal, kondisi kawasan di sepanjang daerah aliran sungai menjadi penentu terjadinya keseimbangan alam atau tidak. ‘’Bayangkan bila saat ini, ada batang sawit tumbuh di bibir sungai, padahal ketentuannya, 50 sampai 100 meter kawasan di sempadan sungai harus menjadi zona hijau yang tidak bisa dialih fungsikan. Sebenarnya itu kan bukan sekedar pertimbangan teoritis, namun juga proses yang diambil dari pembelajaran dari alam.

Nah, kalau sekarang kita dihadapkan dengan fakta bahwa sawit tak bisa menjadi penyimpan air dan tanaman hutan jenis monokultur seperti yang dibudidayakan HTI tidak bisa menjadi komoditas yang efektif untuk menjadi penahan air, harusnya, para pengambil kebijakan juga memberikan pengawasan di lapangan,’’ungkapnya.

‘’Soal perencanaan, mungkin kita sudah bagus, soal pelaksanaan juga walau tak mulus, tapi sebenarnya masih bisa diperbaiki kalau saja proses pengawasan berfungsi dengan baik. Masalahnya, saat ini, pengawasan terhadap pemanfaatan fungsi-fungsi kawasan inilah yang sekarang kita bisa dikatakan tidak tegas bila tak hendak dikatakan lemah,’’ jelasnya.

‘’Kebijakan-kebijakan seperti ini, diakui Mardianto memang terlihat keras, namun, harus tetap dilaksanakan sebagai konsekwensi kita ingin hidup berdampingan dengan alam dan memanfaatkannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran. Tapi, itu adalah risiko yang juga harus diterima sebagai bentuk kearifan lokal karena kita juga tak mungkin menentang alam,’’ jelas Mardianto.

Kondisi yang sama juga diakui Juru Bicara WWF, Syamsidar yang juga tidak manampik terjadinya banjir dewasa ini tidak terlepas dari fakta kerusakan lingkungan terkait budaya eksploitasi yang tidak lagi memperhatikan kelestarian lingkungan.

Dia mencontohkan mengapa banjir terjadi di Sungai Kampar, itu tak terlepas dari fakta kerusakan kawasan hutan yang terjadi di daerah hulu.

Misalnya banjir yang terjadi di sekitaran Sungai Nilo di Pelalawan, dikarenakan terjadinya kerusakan terhadap kawasan hutan Tesso-Nilo.

Penelusuran WWF bahkan menunjukkan hampir 60 persen kawasan yang masuk dalam taman nasional kini dalam keadaan rusak para akibat perambahan. Kondisi lebih parah juga terjadi di luar kawasan taman nasional yang disebabkan berbagai faktor, mulai dari pengelolaan kawasan hutan yang tidak mengacu pada prinsip pemanfaatan hutan secara lestari, perambahan liar, termasuk alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan.

 ‘’Karena, kawasan tersebut ada di daerah hulu, maka banjir juga mungkin terjadi di hilir. Ya, termasuk banjir di Lubuk Kembang Bunga dan beberapa desa lainnya di sekitar kawasan itu. Kita juga melihat kondisi yng sama di Sungai Subayang di Kampar Kiri yang berbatasan dengan kawasan Rimbang-Baling juga Bukit Tiga Puluh dan bukit Batabuh yang menjadi pertahanan untuk Sungai Indragiri.

Idealnya, menurut Syamsidar, tak mungkin ada sungai tanpa ada hutan sebagai kawasan penyangga. Namun, faktanya, kerusakan hutan memang hampir dipastikan tidak terkendali. Karena itulah, pada tahun 2007 lalu, ada kesepakatan antar beberapa instansi pemerintahan lintas sektoral, seperti Menteri Kehutanan, Menteri Perkebunan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Dalam Negeri untuk mengelola ekosistem terpadu, yang salah satunya mngatur tentang fungsi-fungsi hidrologi kawasan hutan yang ada.

‘’Idealnya itu berjalan, tapi memang perlu waktu dalam pelaksanaannya, karena ini terkait dengan kebijakan dan komitmen pemerintah dan para stake holder untuk mengelola pembangunan berwawasan ekosistem. Jadi ini tak hanya bicara soal alam, tapi juga masyarakat dan lingkungan sebagai bagian yang terpisahkan. ini disebut dengan Koridor Rimba,’’ jelas Syamsidar.

Koridor Rimba ini, melibatkan tiga provinsi, yakni Riau, Sumbar dan Jambi. Artinya, ke depan, tak ada lagi kebijakan yang hanya berorientasi sektoral, semuanya harus terintegrasi sehingga bisa memperkecil dampak-dampak lingkungan yang disebabkan oleh proses pembangunan di daerah.

Syamsidar menyebutkan, dengan koridor Rimba ini, sebenarnya, bisa mencakup pada upaya terselamatkannya kawasan-kawasan hutan yang melingkupi aliran sungai di wilayah Sumatera termasuk diantaranya seperti aliran Sungai Kuantan yang sampai ke Sumbar.

‘’Ada beberapa peristiwa banjir itu penyebabnya kan tak hanya dari lokal Riau, ada juga karena faktor alam seperti derasnya hujan di daerah lain yang menjdi hulu. Karenanya, sengan komitmen bersama dan lintas kebijakan, harusnya ini bisa menekan laju kerusakan di sepanjng aliran sungai,’’ungkap Sammy.

Menyikapi banjir yang terjadi di wilayah Riau, Kepala BP DAS Indragiri-Rokan, Agus Wahyudiyono mengungkapkan ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Meski kerusakan lingkungan menjadi salah satu faktor utama, namun, tidak mutlak semua banjir terjadi karena kerusakan alam.

‘’Kita punya peta keseluruhan wilayah Riau ini. Jadi, ada sebagian yang memang banjir diakibatkan daerahnya memang rendah, seperti di Pelalawan, namun ada juga banjir disebabkan kerusakan lingkungan, khususnya hutan sebagai daerah tangkapan air,’’ ungkap Agus.

Hanya saja, menurut dia, pihaknya tak ingin menjelaskan persoalan banjir ini dengan melihat peristiwanya semata. Harus kita jelaskan detail kondisi wilayahnya supaya publik juga tidak salah memahami tentang situasi yang terjadi dan tidak terlanjur menyalahkan.

‘’Nantilah, saya jelaskan, tapi tidak sekarang, karena kita sedang ada acara di Sumatera Barat dengan Pak Menteri, juga masalah hutan dan sungai ini juga,’’ungkap dia.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook