BERTAHAN TUJUH BULAN DI BARAK, TUJUH TAHUN DISERANG MALARIA

Siabu, Kampung Transmigrasi Pertama di Riau

Feature | Minggu, 25 November 2012 - 08:43 WIB

Siabu, Kampung Transmigrasi Pertama di Riau
Margo, salah seorang transmigran yang tinggal di Bukit Siabu saat berada di kebun karet miliknya. Dengan berhasilnya usaha perkebunan ini, perekonomian keluarganya terus terangkat. Foto: LISMAR SUMIRAT/RIAU POS

Tujuh bulan hidup di barak tak membuatnya menyerah. Tujuh tahun diserang penyakit malaria, ia makin bersemangat. Hambatan berdatangan berhasil ia lalui. Tapi, ketika perbaikan ekonomi tak kunjung tercapai, ia mulai gamang.

 

Laporan LISMAR SUMIRAT, Kampar

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

 

PERTENGAHAN Agustus 1962. Matahari pagi, bangkit dan berangsur menampakkan keperkasaannya. Kicauan merdu burung-burung segera mengikuti menandakan aktivitas pagi itu mulai hidup kembali setelah dibungkam sang malam. Tiba-tiba bus Gelora Kampar yang ditumpangi Margo Wiroso melambat dan kemudian berhenti. Ia pun menyeka kedua kelopak matanya dengan kedua tangannya. Sambil menguap, ia mengangkat tangan dan menggeraknya untuk melemaskan otot. Pagi itu ia baru tiba di Desa Siabu setelah melakukan sepekan perjalanan jauh.

Ia turun dan bergegas sembari membawa barang bawaan pergi meninggalkan bus. Lalu, ia diarahkan pemandu menuju sebuah barak yang berjarak beberapa meter dari tempat pemberhentian bus. Setumpuk barang diletakkan di sudut barak. Kemudian sejenak ia merebahkan tubuhnya untuk menghilang kelelahan yang terpancar dari raut wajahnya.

Berhari-hari perjalanan, membuatnya kelelahan. Apalagi perjalanan yang ia lalui menyeberangi pulau dan melintasi beberapa kota dengan ribuan kilometer jauhnya. Namun, ia agak sedikit lega karena sudah sampai di tempat tujuan.

***

Margo Wiroso (68), adalah salah seorang dari 100 Kepala Keluarga (KK) yang datang sebagai transmigran ke Desa Siabu tahun 1962. Ia adalah transmigran asal Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pertama di Riau. Riau Pos sengaja berkunjung ke kediamannya, awal pekan lalu. Desa Siabu berada di Kecamatan Salo, Kabupaten Kampar. Akses ke desa ini bisa lewat jalan darat dengan menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Pekanbaru.

''Wartawan ya?,'' ujar Margo, sambil mempersilahkan masuk. Rambutnya sudah ditumbuhi uban. Wajahnya penuh kerut ketuaan. Namun, ia masih tampak bugar. Pagi itu ia mengenakan baju kaos singlet, celana pendek berwarna hitam.

Ia pun menceritakan riwayat 100 KK yang ikut program transmigrasi ke Siabu. Kedatangan transmigran dalam enam gelombang keberangkatan dari DIY, Jawa Tengah dan Jawa Barat.  ''Saya berangkat dengan istri ikut trip kelima bergabung dengan 22 KK asal Yogyakarta,'' ujarnya dengan dialek Jawa-nya yang kental.

Sepanjang perjalanan, ia membayangkan bisa memiliki rumah dan lahan berkebun. Namun, kenyataannya berbeda. Rumah dan Lahan kebun masih hutan belantara. Pemerintah hanya menyediakan beberapa barak penampungan berukuran 20 x 10 meter, berlantai dan berdinding papan serta beratap rumbia.

Setiap barak dihuni satu kelompok transmigran yang berjumlah sekitar 20 KK. Kondisi ini ia jalani selama tujuh bulan hingga membangun rumah sendiri. ''Hanya 60 KK pertama yang mendapatkan jatah rumah,'' ujarnya.

Di awal penempatan, dirasakan berat bagi Margo Wiroso. Apalagi setahun pertama, ia diserang penyakit malaria. Penyakitnya itu ia jalani selama tujuh tahun. Ia harus bolak balik berobat ke Puskesmas setempat. ''Transmigran lain juga banyak yang terserang penyakit malaria,'' kata kakek 13 cucu dan 1 cicit itu.

 ***

Untuk menyambung hidup, ia berkebun ubi dan palawija di lahan 100 x 100 meter. Hasil panen ia jual dengan berjalan kaki belasan kilometer ke Bangkinang. Tahun berikutnya, ia beralih berladang padi. Kondisi tanah di Siabu hanya semusim yang menyebabkan panen hanya satu tahun sekali. Kondisi ini membuat Margo gamang. Apalagi beberapa transmigran lainnya memilih pulang kampung atau pindah ke Sumbar. Namun Ia tetap bertekat untuk menetap di Siabu. Ia kemudian mulai beralih berkebun karet sesuai saran Taher, warga asli Siabu. Ia kini memiliki kebun karet seluas tujuh hektare, rumah permanen dan kendaraan bermotor. Bahkan, ia juga bisa memberikan tanah untuk lima anaknya.

Kisah sukses juga diceritakan Ir H Ngadio (50), transmigran asal Solo, Jawa Tengah.  Tahun 1962, ia ikut transmigrasi bersama orangtuanya H Tamansyah dan Hj Ngadikem ke Siabu. Awal penempatan, Ngadio kecil masih belum genap berusia satu tahun. Kepada Riau Pos yang sengaja mengunjunginya, Jumat (23/11), ia mengungkapkan diawal penempatan, ia harus hidup pas-pasan bersama orangtua dan empat saudaranya. ‘’Dulu akses keluar masuk ke Siabu tergantung cuaca. Jalannya masih tanah. Sekarang ini sudah beraspal,’’ imbuhnya.

Ngadio merupakan lima bersaudara dua diantaranya sudah meninggal dunia. Ngadio berhasil di bidang politik dan wiraswasta. Adik perempuannya dr Wiwik Rahayu berhasil menjadi dokter dan juga tenaga pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Satu lagi adiknya bernama Sukardi merupakan pensiunan dari TNI AD.

Ia menuturkan, perekonomian warga transmigrasi kala itu terus menunjukkan peningkatan seiring berkembangnya usaha pertanian. Warga transmigrasi juga terbantu dengan beroperasinya PT Timah di Siabu. Ayahnya, diterima menjadi kepala produksi. Setelah PT Timah tidak beroperasi lagi, pada era tahun 1990-an,  Ayah Ngadio   diamanahkan menjadi Kepala Desa Siabu hingga 10 tahun ke depan.

Ngadio sempat bekerja di perusahaan dan menjadi guru di beberapa sekolah di Kampar. Nasibnya kian berubah setelah terjun ke dunia politik dan berhasil menjadi anggota DPRD Kampar dari Partai PDI Perjuangan. Namun karena pemekaran Kabupaten Kampar ketika itu, pada tahun 2000,  akhirnya pindah ke DPRD Rohul dan turut berperan dalam pematangan pembentukan Kabupaten Rohul. Kini ia memilih  berwiraswasta dan mendirikan LSM di Kampar.

 

Sekcam Salo, Al Kautsar menyebutkan, sebagian para transmigran yang masih bertahan di Siabu memiliki penghasilan tetap, seperti berkebun karet dan sawit. Kehadiran transmigran mendatangkan hal positif. Bukan saja bagi peningkatan ekonomi warga transmigran, namun juga bagi masyarakat sekitar. Bahkan kini Siabu sudah menjadi perkampungan baru dengan berbagai potensinya.

Kadisnakertransduk Riau Nazaruddin memaparkan kedatangan transmigran di Riau dimulai sejak Pra Pelita tahun 1962. Transmigrasi yang datang mengikuti pola umum dan swakarsa. Hingga 2011 tercatat 131.149 KK atau 540.578 jiwa yang tersebar 11 kabupaten/kota di Riau. Mereka berasal dari Jateng, Jatim, Jabar, DIY, DKI Jakarta, Lampung dan Banten dan penduduk lokal. Secara umum ekonomi transmigrasi bertumpu pada sektor agronomi dengan basis perkebunan kelapa sawit, karet dan pertanian.

Ekonomi Meningkat, Dorong Pemekaran Daerah

Wakil Gubernur Riau HR Mambang Mit menyebutkan penempatan transmigran ikut menjadi motor penggerak roda perekonomian daerah. Sebagian daerah penempatan transmigrasi bahkan menjadi pusat perekonomian baru di Riau yang akhirnya mendorong terjadinya pemekaran daerah seperti Kabupaten Siak, Kabupaten Rohil (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rohul (pemekaran dari Kampar), Kuansing (pemekaran Kabupaten Inhu).

''Transmigrasi  ikut memajukan daerah. Juga  membuka keterisoliran daerah sehingga lama kelamaan daerah transmigrasi berkembang dan terjadilah pemekaran wilayah yang berdampak positif terhadap pemerataan pembangunan,'' ulasnya.

Menurutnya, program transmigrasi patut didukung. Apalagi transmigrasi juga mendukung pembauran suku bangsa. Di sisi lain, kesuksesan para transmigran memicu semangat warga tempatan untuk menggapai kesuksesan.

Integrated Development

Menurut pengamat ekonomi Unri, Edyanus Herman Halim, program transmigrasi sebaiknya menerapkan pola integrated development  atauterintegrasi dengan pembangunan daerah. ‘’Jangan cuma diberikan tanah untuk berkebun, tapi juga diberdayakan ke sektor lainnya sesuai potensi daerah dengan pembinaan yang serius," ulasnya.

Sebelum transmigrasi, juga perlu dilakukan seleksi ketat calon transmigran agar yang ikut bukan sekadar kerabat dari para tuan tanah.

Ke depan, lanjutnya, keterlibatan aktif Pemda harus ditingkatkan. Terutama untuk memetakan pola transmigrasi yang cocok bagi para transmigran di daerahnya. ‘’Pemda juga harus mengerti program pembinaan apa yang cocok bagi para transmigran, tentunya sesuai dengan potensi daerahnya juga," tuturnya.

Kadisnakertransduk Riau Nazaruddin memaparkan kebijakan transmigrasi di era reformasi memberikan kesempatan lebih luas bagi daerah diantaranya penempatan transmigrasi. Selain itu, juga terjadi perubahan kuota transmigrasi lokal lebih diperbanyak.  Paradigma baru ini diterapkan pada transmigrasi  di Pulau Rupat, Bengkalis dan di Kuindra, Inhil. Namun diakuinya hingga kini hanya transmigrasi di Kuindra yang masih berjalan sejak 2009-2012.  ‘’Jumlah penempatannya sudah mencapai 64 KK. Mayoritas transmigrasi lokal,’’ jelasnya.

Tak dimungkiri program transmigrasi terbukti mendatangkan dampak positif. Bukan saja dalam menciptakan lapangan kerja dan kemandirian masyaratakat, namun juga pembangunan daerah. Selamat Hari Bhakti Transmigrasi ke-62.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook