Pahlawan kerja. Bekerja, bekerja, bekerja. Nasibmu dihina papa. Jasamu tak kulit terurai tulang. Disini Anda rehat bersama. Tanpa tahu keluarga. Tak ada nama dan upacara. Namun jasamu dikenang bangsa. Andalah pahlawan kerja. Ya Allah, keharibaanMu kami persembahkan mereka. Ampuni mereka. Rahmatilah mereka.
Laporan MUHAMMAD HAPIZ, Pekanbaru-Kuansing
BAIT syair itu dipahat dibatu alam berukuran tinggi sekira satu meter. Terpacak kokoh di tengah lahan seperempat hektare di Simpang Tiga, Kecamatan Bukitraya, Kota Pekanbaru. Kepala Lokomotif kereta api tua tampak 10 meter dibelakangnya dengan posisi ditinggikan. Diantaranya terdapat beberapa makam. Makam bersemayamnya jenazah yang pernah mengalami dera nestapa kekejaman Jepang saat dipaksa membangun jalur kereta api dari Muara Sijunjung Sumatera Barat hingga Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.
Syair yang dibuat dan diresmikan Gubernur Riau HR Soebrantas Siswanto pada 1978 lalu itu kalau dibaca seksama, sungguh tidak dibuat sekedarnya sebab dalam makna. Di syair itulah bermula para romusa atau pekerja paksa tentara Jepang saat membangun rel kereta api, disebut sebagai Pahlawan Kerja. ‘’Pahlawan kerja. Wahai Kusuma Bangsa. Anda diboyong Jepang penguasa,’’ tambahan bait syair itu yang mulai tampak kusam bagian cat putihnya.
Sejarah mencatat, Jepang memaksakan diri untuk membangun jalur rel kereta api yang membentang dari Padang, Sumatera Barat hingga Sumatera Tengah yang kini telah menjadi Provinsi Riau. Tujuan Jepang, memperpendek langkah mereka dalam memperluas jajahan hingga Selat Malaka. Sebab untuk jalur laut di Padang sekitarnya sudah dijaga ketat kapal perang sekutu. Tercatat tahun 1942 hingga 1945 jalur itu dibangun menggunakan tenaga manusia menembus hutan belantara dan menebas pegunungan dengan panjang mencapai 300 kilometer.
Masih jelas diingatan Datuk Su’a, warga Desa Koto Baru, Kecamatan Singingi Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi, beberapa hari menjelang hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 diumumkan, Tentara Jepang berbondong-bondong meninggalkan wilayah Logas, Muara Lembu, Singingi, Singingi Hilir hingga ke Lipat Kain menggunakan gerbong-gerbong kereta api.
Para pekerja paksa dengan tubuh hanya berbalut tulang, kebingungan dan sebagian gembira dengan kepergian tiba-tiba tentara Jepang tersebut tanpa membawa serta peralatan bahkan harta yang dimiliki. Sejarah juga mencatat, selain membangun jalur kereta api untuk transportasi singkat Jepang menuju Selat Malaka, Jepang juga sekaligus mencari harta benda berupa emas di Kuansing dan Batu Bara untuk keperluan perang mereka.
‘’Ada juga tentara Jepang yang menangis sejadi-jadinya sambil bersujud. Bahkan sebagiannya lagi ada yang bunuh diri. Tentara Jepang meninggalkan semua peralatan termasuk hartanya. Hanya membawa tas ransel dan senjata ditangan mereka meninggalkan Singingi ini. Semua pekerja rel kereta api heran dan saling pandang, tak tau harus berbuat apa.
Rupanya Indonesia telah merdeka,’’ ucap Datuk Su’a yang pada tahun 1945 tersebut masih terbilang muda berumur sekitar 20 tahunan dan ikut bekerja mengerjakan rel kereta api dengan tujuan mendapatkan makanan penyambung hidup. Ia tidak tahu persis tanggal berapa lahir dan kini kondisinya sudah sakit-sakitan karena usia yang tua.
Datuk Su’a hingga kini tidak menyadari bahwa kepergian tiba-tiba tentara Jepang meninggalkan daerah pembangunan rel kereta api akibat kalah perang. Tepatnya 15 Agustus 1945 lalu, Kota di Jepang, Hirosima dan Nagasaki di hancurkan Amerika dan sekutunya menggunakan Bom Atom. Jepang menyerah kepada sekutu dan tentara yang menjajah diperintahkan pulang dengan tergesa-gesa untuk mempertahankan tanah air mereka.
Isak tangis dan bunuh diri tentara Jepang yang disaksikan pekerja romusa rel kereta api yang diceritakan Datuk Su’a karena tanah air mereka telah hancur lebur dan mengakui kekalahan mereka dalam perang Asia Fasifik tersebut. Dan momen inilah yang ditangkap Indonesia untuk menyatakan kemerdekaanya tepatnya 17 Agustus 1945.
Jejak rel kereta api yang dibangun dan peralatan serta harta yang ditinggalkan Jepang kini tidak lagi bisa ditemukan. Riau Pos mencoba menyusuri masih adakah jejak-jejak rel kereta api dan apa saja harta yang ditinggalkan Jepang di Kuansing hingga Pekanbaru?. Lelah menyusuri jalur mulai dari Desa Koto Baru hingga Desa Petai, Muara Tangko yang masuk dalam kawasan hutan lindung Bukit Rimbang Baling, tak ditemukan lagi satupun rel kereta api. Padahal, di Muara Tangko, lokasi yang dulu dieksploitasi perbukitannya untuk diambil Batu Bara sebagai bahan bakar penggerak Kereta Api dan Kapal Jepang, terdapat gudang besar tempat ditumpuknya peralatan Jepang.
‘’Sekitar tahun 1980-an, masih mudah menemukan rel kereta api didekat rumah warga, ditengah perkebunan bahkan ada gudang yang menyimpan peralatan besar seukuran gedung. Tapi sekarang tidak ada lagi. Karena semuanya sudah dibongkar masyarakat dan diambil besi-besinya untuk dijual kiloan. Terakhir tahun 1990-an, ada lokomotif yang besar di Tangko dan Buldozer besar milik Jepang, di potong-potong menggunakan alat las besar oleh masyarakat kemudian dijual kiloan. Besinya sangat bagus, begitu juga harganya,’’ terang Rusdi (52) yang kurun waktu tahun 1990-an hingga tahun 2000 mencari burung di hutan untuk dijual.
Lama mencari-cari, Riau Pos hanya dapat menyaksikan bentuk asli rel kereta api di Koto Lamo, Desa Koto Baru yang sudah dijadikan jembatan kecil oleh warga. Itupun hanya besi yang dulu dijadikan bantalan jalur kereta api. Walau sudah lebih dari usia Indonesia merdeka, besi yang sudah berkarat tersebut masih kuat untuk menahan beban warga yang melintas diatasnya.
Namun untuk Lokomotif masih nampak bersisa di Lipat Kain yang kini sudah lapuk tidak terawat ditengah perkebunan karet milik warga. Jika tidak diselamatkan sebagai warisan sejarah, bukan tidak mungkin nantinya onggokan besi ditengah kebun tersebut nantinya akan dipotong-potong lagi untuk dijual sebagai besi kiloan. Dan satu lagi yang tersisa, lokomotif atau kepala gerbong tempat masinis mengendalikan kereta api yang dipajang di Tugu Pahlawan Kerja di Pekanbaru itu.
Ada juga cerita kepergian tiba-tiba tentara Jepang juga meninggalkan harta berharga berupa emas. Konon kabarnya, harta tersebut dikubur di kawasan Muara Tangko, Desa Petai yang berada diantara perbukitan Bukit Rimba Baling. Cerita yang didengar Muhammad Raysid (71) dari orang tuanya, tentara Jepang mengubur emas dan harta berharga lainnya di dalam gua dan pekerja romusa yang membantu mengangkatnya dibunuh dilokasi tersebut.
‘’Jadi itu rahasia Jepang. Emas dibawa berkarung-karung oleh pekerja romusa dengan dikawal Tentara Jepang dan dimasukkan ke dalam gua. Setelah selesai, pekerja romusa yang membantu membawa emas itu dibunuh dan dikubur bersama harta didalam gua. Gua itu memang ada tapi tidak ada yang bisa mendapatkan emasnya. Sudah banyak yang mencoba. Karena ada yang menjaganya,’’ tutur Rasyid yang mengisahkan harta peninggalan Jepang itu dengan mengaitkan dengan nuansa mistis terhadap kata penjaga yang dimaksudkannya.
Gua dimaksud memang dipastikan ada oleh Rusdi namun kini tidak tampak lagi. Riau Pos bersama Rusdi mencoba melihat letak gua yang dimaksud, tapi tidak berhasil menemukannya karena sudah rata akibat eksploitasi Batu Bara di Muara Tanko tersebut. Di kawasan yang dulu terdapat gudang peralatan pembangunan rel kereta api, base camp pekerja, stasiun kereta api, kini sudah tak berbekas lagi. Hanya berupa hamparan rerumputan dan banyak berserakan serpihan batu bara.
Kisah kekejaman yang dialami pekerja paksa yang jumlahnya menurut catatan sejarah mencapai puluhan ribu, bagi penduduk Kecamatan Singingi, Singingi Hilir Kabupaten Kuansing dan Lipat Kain Kabupaten Kampar tidaklah terlalu rumit. Cukup dengan tengkorak kepala dan tulang belulang manusia yang kerap mereka temukan saat membangun rumah atau sekedar membuka lahan perkebunan.
‘’Baru beberapa bulan ini, itu disana (menunjuk ke sebuah rumah yang baru didirikan), tengkorak manusia ditemukan saat menggali pondasi. Kalau sekarang tidak terlalu banyak lagi ditemukan tengkorak manusia. Tapi tahun 1980-an, 1990-an, tidak terbilang lagi jumlah tengkorak dan tulang manusia. Bangun rumah, tanam karet, ada saja tengkorak yang ditemukan. Banyak pekerja romusa yang mati ditepi tebing rel kereta api karena disiksa Jepang atau mati kelaparan,’’ ujar Rasyid yang dibelakang rumahnya dulu merupakan stasiun pemberhentian kereta api, kini terletak dijalan Lintas Pekanbaru-Kuansing. Tengkorak dan tulang belulang manusia yang ditemukan, bagi masyarakat setempat hal biasa. Saat ditemukan langsung dikuburkan ditempat berbeda.
Tidak ada yang memastikan jumlah pekerja romusa yang merupakan tawanan perang Jepang dari rakyat Indonesia, Belanda, Amerika dan Inggris. Dalam buku Buku Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api: Muara Sijunjung-Pekanbaru 1943-1945 yang ditulis H M Syafei Abdullah menyebutkan setiap satu kilometer pembuatan rel kereta api menelan korban 1.270 jiwa. Jika total panjang rel kereta api dari Sumatera Barat sampai Pekanbaru lebih kurang 300 kilometer, berarti lebih dari 300 ribu nyawa yang melayang. Kematian yang dialami pekerja ini diantaranya karena disiksa dan ketidakcukupan makanan.
‘’Tapi penduduk disini (tempatan, red) yang bekerja, tidak disiksa. Karena penduduk disini bekerja untuk mendapatkan upah dan makanan. Tapi itu kalau penduduk disini yang diceritakan orang tua kami. Kalau daerah lain seperti Muara Lembu atau Lipat Kain, tidak tahu kami apa disiksa atau tidak. Karena yang disiksa Jepang itu tawanan perang yang dijadikan pekerja paksa,’’ ucap Rasyid yang dibenarkan pula oleh Datuk Su’a.
‘’Tak ada nama dan upacara. Namun jasamu dikenang bangsa. Andalah pahlawan kerja. Ya Allah, keharibaanMu kami persembahkan mereka,’’ kembali syair itu dikutip. Sejarah kelam kekejaman pembangunan rel kereta api Muara Sijunjung-Pekanbaru yang menggunakan darah manusia Indonesia tersebut, patut terus dikenang. Sebab bukan hanya berupa kisah kekejaman belaka tapi juga saksi sejarah merdekanya Indonesia.***