Meskipun sudah melanglangbuana ke tanah rantau, panggilan jiwanya sebagai anak laut Suku Duanu membuat Rahmin memilih pulang ke Sungai Laut. Di lautlah dia merasakan lebih hidup.
Laporan HARY B KORI’UN, Tanah Merah
PAGI, Kamis (16/5/2013). Hampir pukul 09.00 WIB, aktivitas warga Desa Sungai Laut, Kecamatan Tanah Merah, Indragiri Hilir (Inhil), sudah mulai ramai. Di rumah-rumah panggung yang tertata rapi itu, setelah selesai sarapan pagi sambil minum kopi atau teh, para lelaki sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk melaut. Ada yang masih menyulam beberapa jaringnya yang putus, ada yang masih berada di kedai membeli nasi bungkus untuk bekal, juga malah ada yang sudah berangkat lebih cepat dari yang lainnya.
Kebanyakan warga di desa ini pergi melaut siang hari. Ada yang pergi pagi dan pulang saat air mulai pasang sekitar jam 15.00-16.00 WIB. Ada juga yang baru berangkat sekitar jam segitu, dan pulang setelah Maghrib. Jarang nelayan yang pergi melaut malam hari, kecuali mereka yang pergi ke laut lepas dengan target ikan-ikan besar dengan kapal yang lebih besar. Atau mereka yang ingin menongkah kerang di malam hari, yang sebenarnya juga bisa dilakukan di siang hari.
Pagi itu, Riau Pos diajak oleh Rahmin (40) dan iparnya, Chandra (14), pergi melaut. Kami masing-masing membawa bekal sebungkus nasi dengan lauk sederhana: sepotong ikan sembilang dan seekor ikan belanak yang digoreng kering plus cabai merah goreng. Sengaja tidak diberi sayur atau kuah agar nasi bungkus itu tahan di makan hingga sore. Sebotol air mineral ukuran sedang cukup menjadi persediaan minuman kami masing-masing. Di Sungai Laut, ada beberapa warung yang menjual nasi bungkus dengan lauk sederhana itu. Biasanya, selain dibawa untuk pergi melaut, juga dibeli oleh para keluarga yang tak sempat memasak untuk sarapan pagi.
‘’Kalau tak ingin kulit gosong, pakai baju lengan panjang dan penutup wajah,’’ kata Rahmin mengingatkan sambil tersenyum. Pagi itu, cuaca tak terlalu panas, dan memakai kaos oblong lengan pendek tetap menjadi pilihan. Senyum Rahmin dan Chandra seolah-olah menyembunyikan sesuatu.
Dengan pompong bertenaga diesel berkekuatan 20 tenaga kuda (PK), kami berangkat ke laut yang menjadi ‘’halaman’’ Desa Sungai Laut. Oleh masyarakat, lautan tempat mereka mencari ikan itu diberi nama Laut Berhala, karena bersempadan dengan Pulau Berhala, pulau terdekat dari desa itu meski jaraknya masih dua jam perjalanan memakai perahu motor. Jarak itu sebenarnya lebih dekat ke Kuala Tungkal (Jambi) yang hanya memakan waktu 1 jam perjalanan perahu motor. Itu makanya, hampir semua kebutuhan sembako untuk Sungai Laut, bahkan untuk daerah Kuala Enok dan daerah lainnya di Tanah Merah, banyak dipasok oleh pedagang dari Kuala Tungkal. Mulai dari beras, sayur-sayuran, buah-buahan, bumbu masak hingga air mineral yang bermerek sebuah perusahaan asal Kuala Tungkal.
Setelah sekitar 20 menit, kami tiba di tengah lautan. Di sana baru terbukti apa yang dikatakan oleh Rahmin tentang pentingnya memakai baju berlengan panjang dan menutup wajah dengan kain. Suasana memang semilir. Angin berhembus tak pernah berhenti di antara raungan banyak perahu motor nelayan yang menebar jaring. Namun, panas matahari mulai terasa. Pelan tapi pasti, sengatannya membuat kulit terasa pedih.
***
Di antara saudara-saudaranya yang lain, Rahmin mungkin agak berbeda. Jika Ramadhan, Herman, Indra Lesmana dan Herwin Kurniadi berhasil menamatkan SMA, kemudian ada yang kuliah dan menjadi PNS atau polisi, Rahmin hanya tamat SMP. Tetapi soal pengalaman hidup, Rahmin mungkin lebih kenyang. Anak kedua pasangan Sadin dan Nurhayati ini sudah melanglangbuana sampai ke negeri jauh. Baik saat menjadi anak buah kapal (ABK) maupun saat merantau ke berbagai tempat.
Sebagai nelayan, Rahmin sudah biasa dengan cuaca panas, dingin saat hujan, angin-badai atau cuaca seekstrem apapun. Berkali-kali dia ikut kapal besar dan mencari ikan hingga ke daerah Bangka Belitung maupun Selat Karimata yang memisahkan Sumatera dengan Kalimantan. Selama menjadi ABK, dia sering mengantongi uang dalam jumlah besar, namun uang itu tak berbekas karena habis digunakan untuk mentraktir kawan-kawannya saat tiba di darat.
‘’Kalau sudah memegang uang, susah mengeremnya,’’ ceritanya sambil menghela jaring bersama Chandra.
Di lain waktu, Rahmin pernah tinggal lama di Dumai, dan sempat mengikuti latihan kerja di bidang perikanan yang diselenggarakan oleh Dinas Perikanan Dumai. Kemudian, ketika dia tinggal di Tembilahan ikut kakaknya (Ramadhan) yang ketika itu berdinas di Dinas Perikanan Inhil, ia dikirim untuk mengikuti beberapa kali pelatihan perikanan di Pekanbaru. Dari pelatihan-pelatihan yang diikuti itu, Rahmin banyak mendapat ilmu tentang budidaya perikanan, baik laut maupun darat.
Ia juga memiliki kemahiran membuat jaring berbagai ukuran. Kemahiran itu sebenarnya sudah didapat dari sang ayah, Sadin. Kakak dan adik-adiknya juga memiliki kemampuan yang baik dalam membuat jaring, yang membuat Dinas Perikanan Inhil sering memberikan ‘’proyek’’ kepada keluarga ini melalui Herman atau Ramadhan, untuk pekerjaan finishing jaring. Jaring-jaring dalam jumlah besar itu kemudian disebarkan ke kelompok nelayan lain di Inhil oleh Dinas Perikanan.
‘’Semua pekerjaan sudah saya coba, termasuk menjadi Satpam di sebuah hotel di Tembilahan,’’ ujar Syahmin lagi.
Namun, kecintaan terhadap kampung halaman dan aroma lautlah yang membuat Rahmin selalu memilih pulang setelah sekian lama merantau. Baginya, laut adalah segalanya, tempatnya mengekspresikan kebebasan sebagai lelaki Suku Duanu yang memang menjadikan laut sebagai tempat hidup mereka. Di laut, selain menjaring ikan atau menongkah kerang, Rahmin juga seakan menikmati kehidupan yang selama ini tak didapatkan di tempat-tempat lain perantauannya. Di manapun dia berada, laut di kampungnya seolah selalu memanggilnya untuk pulang.
***
KAMI menjaring ikan belanak, salah satu tangkapan favorit nelayan di siang hari. Perlu feeling khusus untuk tahu di mana ikan-ikan sebesar jempol tangan itu berada. Biasanya, kalau ada beberapa belanak terlihat meloncat di permukaan air, berarti di bawahnya ada gerombolan belanak yang memang selalu bergerak.
Seperti siang itu, setelah melihat ada beberapa ekor belanak meloncat, jaring sepanjang lebih 700 meter ditebar melingkar. Sepuluh menit didiamkan. Setelah dirasa cukup, jaring ditarik ke perahu, dan ratusan ikan belanak dan beberapa ikan todak melekat di jaring. Setelah beberapa kali menjaring, kami istirahat makan siang di atas perahu yang terombang-ambing mengikuti angin yang meniup air laut. Lauk seekor belanak dan sepotong tipis ikan sembilang, ternyata tetap membuat nikmat makan di tengah laut seperti ini.
Menurut Chandra, mereka pernah sekali tebar jaring dan mendapatkan ikan sepikul (sekwintal/100 kg). Saat itu juga mereka langsung pulang. Dengan harga Rp10.000/kg di tingkat pengumpul, mereka berdua bisa mengantongi uang Rp1 juta. Dikurangi modal sekitar Rp64.000 untuk beli solar (di Sungai Laut, solar satu liter seharga Rp8.000), pendapatan saat itu lumayan besar. Di Pasar Pagi Arengka atau pasar-pasar lainnya di Pekanbaru, harga ikan belanak dari Sungai Laut ini berkisar antara Rp22.000-25.000/Kg.
‘’Tapi itu kalau pas musim ikan banyak. Biasanya bulan Juli kami banjir ikan,’’ ujar Chandra yang diamini Syahmin.
Chandra, adik bungsu istri Syahmin, lebih memilih menjadi nelayan sejak tamat SD ketimbang meneruskan sekolah ke SMP. Di Sungai Laut, banyak anak-anak yang memilih menjadi nelayan seperti Chandra. Alasannya, uang mudah didapat, dan penghasilan rata-rata setiap harinya memang lumayan besar.
Bayangkan, sesepi-sepinya ikan, biasanya sekali melaut bisa mendapatkan rata-rata 30 Kg, yang berarti mendapat Rp150 ribu per orang, potong uang solar. Begitu juga saat menongkah kerang, pendapatannya tak jauh dari mencari ikan. Kalau sedang musim ikan atau kerang, per hari rata-rata bisa mendapat 70-100 Kg ikan atau kerang. Harga kerang rata-rata Rp8.000/Kg. Dengan pendapatan sebesar itu, para orangtua Duanu banyak yang membiarkan anak-anak mereka mencari ikan atau kerang, karena mudah menjadikannya uang.
Hampir sore, ketika matahari mulai condong ke barat, kami sudah menghela jaring terakhir ke atas perahu. Kali ini lumayan. Kata Rahmin, mungkin sekali hela yang terakhir itu bisa mendapatkan 10 Kg belanak. Lumayanlah dibanding jaring sebelum-sebelumnya, ikan yang terjaring yang terakhir ini lebih banyak. Tak terasa, sudah enam jam kami berjemur tegak lurus dengan langit di tengah lautan.
Senyum Syahmin kembali misterius. Katanya, ‘’Naikkan lengan bajumu sedikit ke atas... Lihatlah lenganmu sudah mulai gosong...’’
Kemudi pompong kemudian diarahkan kembali ke Sungai Laut beriringan dengan beberapa pompong nelayan lainnya. Angin laut yang semilir, Gunung Daik yang terlihat membiru di kejauhan sebelah timur, burung-burung pemakan ikan yang dengan santai berjalan di daratan akibat air surut, dan anak-anak yang sedang menongkah kerang dengan papan seluncurnya di laut dangkal, menjadi pemandangan yang mengasyikkan. Di sini, pohon bakau juga terlihat asri berjejer di pinggir pantai, karena terawat dengan baik dan tak ada yang mengganggunya.***