MENGUNJUNGI SEKOLAH-SEKOLAH TERLUAR INDONESIA DI MALUKU BARAT DAYA (1)

Guru Jarang Datang, Siswa Lulus UN 100 Persen

Feature | Kamis, 25 April 2013 - 08:17 WIB

Guru Jarang Datang, Siswa Lulus UN 100 Persen
Siswa menggantungkan tas di pohon depan kelas saat pelaksanaan UN 2013 di SMAN 1 Tepa, Kecamatan Pulau-Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Foto: F RUKIN FIRDA/JPNN

Kondisi sekolah-sekolah terluar Indonesia sungguh memprihatinkan. Sebagaimana dicatat wartawan JPNN, Rukin Firda yang pekan lalu melihat sekolah-sekolah terpencil di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, kondisinya jauh dari kelayakan sebuah sekolah.

SMP Negeri 2 Mdona Hyera, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku, memiliki tiga kelas dengan total 55 siswa. Sekolah yang berada di Desa Elo, Pulau Sermata, itu hanya memiliki seorang guru yang merangkap kepala sekolah.  

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Namun, karena sering ada tugas kedinasan ke ibu kota kabupaten di Tiakur, atau bahkan ke Ambon, sang kepala sekolah sering meninggalkan sekolah. Sulitnya sarana transportasi di wilayah kabupaten yang terdiri atas banyak pulau kecil tersebut membuat sang kepala sekolah baru bisa balik beberapa pekan kemudian, atau bahkan beberapa bulan kemudian.

Lantas, bagaimana aktivitas belajar-mengajar di sekolah tersebut selama sang guru tunggal itu tidak berada di tempat? ‘’Sekolah terpaksa tutup,’’ kata seorang guru program SM-3T (sarjana mendidik di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal) yang ditugaskan di sekolah itu pada, Sabtu (20/4).

Menurut guru muda asal Surabaya tersebut, ketika pertama dirinya tiba di sekolah itu November 2012, kondisi sekolah tidak terawat dan sangat kotor. Hal itu terjadi karena sekolah ditutup berbulan-bulan lantaran tidak ada guru yang mengajar. ‘’Tugas pertama saya bersih-bersih sekolah,’’ ujar guru yang minta namanya disembunyikan itu.

Yang perlu dipertanyakan adalah ‘’prestasi’’ siswa di tengah berbagai keterbatasan dan kekurangan itu. Tidak hanya kekurangan fasilitas penunjang, sekolah tersebut kekurangan guru dan frekuensi belajar. Dengan kondisi itu, tentu saja siswa tidak pernah tuntas menyerap materi pelajaran yang digariskan dalam kurikulum.

Anehnya, pada UN tahun lalu, siswa sekolah itu lulus 100 persen. Jika UN menjadi alat ukur keberhasilan siswa menyerap materi pelajaran, itu berarti anak-anak Pulau Sermata yang hidup di tengah luasnya Laut Banda tersebut merupakan siswa jenius.

Situasi yang hampir sama juga terjadi di SMP Negeri Satap (Satu Atap) Nakarhamto di Kecamatan Babar Timur. SMP yang berlokasi di pesisir utara Pulau Babar itu memiliki tiga kelas dan 71 siswa. Sekolah tersebut hanya memiliki tiga orang guru, termasuk kepala sekolah.

Di antara tiga guru itu, dua orang yang sering terlihat di sekolah. Seorang lainnya hadir sepekan, kemudian menghilang berbulan-bulan. Kabar yang terdengar, guru tersebut sedang berlayar (untuk menyebut bepergian ke luar pulau).

‘’Guru itu memang kaki baminyak,’’ kata Kepala Desa Nakarhamto Agustinus Pipiana kepada JPNN. Kaki baminyak adalah ungkapan untuk menggambarkan seseorang yang tidak bisa bertahan lama di satu tempat dan lebih sering bepergian.

Bisa dibayangkan betapa lemahnya kegiatan belajar-mengajar di sekolah itu. Apalagi, dua guru yang ada harus mengajar di tiga kelas sekaligus. Meski begitu, kelulusan sekolah itu tahun lalu 100 persen.

Gambaran yang tidak jauh berbeda juga terjadi di SMP Negeri 6 Ahanari di Kecamatan Babar Timur. Sekolah yang berlokasi di pesisir Timur Pulau Babar tersebut memiliki empat kelas dengan empat guru, termasuk kepala sekolah. ‘’Di antara empat guru itu, termasuk saya, tidak ada yang mengajarkan mata pelajaran yang diujikan dalam UN,’’ papar Kepala SMP Negeri 6 Ahanari Ny RE Totomutu.

Dengan kondisi seperti itu, mata pelajaran (Mapel) yang diujikan dalam UN nyaris tidak pernah diajarkan kepada siswa. Totomutu pernah mencari solusi dengan meminta bantuan guru dari sekolah lain. Namun, cara tersebut hanya bisa dilakukan sekali. ‘’Kami sudah sampaikan keluhan tersebut ke dinas dan meminta ditugaskan guru Mapel yang di UN kan di sini. Tapi, tidak pernah ada jawaban,’’ keluh Totomutu. Hebatnya, siswa sekolah tersebut lulus semua tahun lalu.

Situasi sekolah yang berlokasi di ibu kota kecamatan juga tidak jauh berbeda. Misalnya, SMA Negeri 1 Letwurung yang tahun ini memiliki dua kelas XII dengan 19 siswa yang berhak mengikuti UN. Parahnya, hanya beberapa guru yang mengajarkan mata pelajaran yang di-UN-kan. Kompetensi mereka, sebagaimana diakui kepala sekolah Victor Hematang SPd, sangat rendah. ‘’Guru mengajar tidak sesuai dengan bidangnya,’’ jelas Hematang.

Kepala UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kecamatan Babar Timur S Lakburlawal AmPD mengakui bahwa SDM guru di wilayahnya sangat sedikit. ‘’Pemenuhan dari Pemkab terbatas,’’ jelasnya.

Parahnya lagi, guru-guru Matpel yang di UN kan nyaris tidak ada. ‘’Dengan kondisi itu, kami selalu kewalahan saat menghadapi ujian nasional,’’ tambahnya.

Data yang ada, di Babar Timur terdapat 29 SD yang ‘’hanya’’ memiliki 165 guru. Lalu, delapan SMP mempunyai 42 guru dan dua SMA dengan 15 guru. ‘’Di antara 15 guru SMA itu, hanya seorang guru Mapel yang di-UN-kan, yaitu guru matematika,’’ kata Lakburlawal.

Dengan kondisi seperti itu, kehadiran guru-guru program SM-3T dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) bisa menjadi solusi sementara. Karena itu, para pejabat pendidikan di Kecamatan Babar Timur berusaha mengoptimalkan keberadaan mereka. Terutama yang mengajarkan Mapel yang di-UN-kan.

Menjelang UN, para guru SM-3T diminta untuk mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain di wilayah kecamatan tersebut. ‘’Kami menjadikan mereka guru mobile untuk mengajar ke sekolah-sekolah lain di luar sekolah yang menjadi tempat tugasnya,’’ tambah Lakburlawal.

Salah seorang peserta SM-3T yang ditugasi untuk menjadi guru mobile itu Daniel Rudi Kristanto. ‘’Beberapa bulan saya berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lain di sini,’’ cerita sarjana pendidikan matematika Unesa yang akrab dipanggil Dani itu.

Manfaat yang didapat Dani menjadi guru mobile, selain bisa berbagi ilmu, dia sukses menjalankan program pengurusan badan. ‘’Berat badan saya turun 13 kilogram selama menjalankan program ini,’’ kata pemuda asal Balongpanggang, Gresik, yang memang terlihat langsing jika dibandingkan dengan sebelum berangkat itu.

Para pejabat bidang pendidikan di Kabupaten MBD bukannya tidak tahu kondisi tersebut. Kondisi geografis wilayah MBD yang berupa pulau-pulau kecil yang terpisahkan laut luas membuat penyebaran guru tidak bisa merata. (*/c4/ari/bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook