SEPULUH TAHUN WARGA PERUMAHAN WITAYU YANG MEMILIKI IMB TERENDAM BANJIR

Menanti Kebijakan ‘Penebus Dosa’ dari Pemerintah

Feature | Minggu, 24 November 2013 - 07:21 WIB

Menanti Kebijakan ‘Penebus Dosa’ dari Pemerintah
Seorang anak warga Perumahan Witayu, Kelurahan Sri Meranti, Kecamatan Rumbai mandi di dalam masjid di lingkungan perumahan yang sudah tiga pekan terendam banjir. Foto: teguh prihatna/riau pos

Perumahan Witayu satu dari beberapa kawasan yang mengalami banjir di Kota Pekanbaru. Pemko Pekanbaru menganggap kawasan itu memang tak layak untuk dihuni. Padahal, Pemko lah yang telah mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Siapa yang mesti disalahkan dan bukankah lebih patut mengalokasikan dana ‘’proyek gagal’ di lokasi itu untuk merelokasi warga?

Laporan MUHAMMAD HAPIZ Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

‘’NASI sudah menjadi bubur, basah saja sekalian’’. Kalimat ini meluncur dari mulut Iyen (39), warga Perumahan Witayu, Kelurahan Sri Meranti, Kecamatan Rumbai, saat ia tengah mempersiapkan barang-barang untuk dinaikkan ke atas pangkin (semacam kasur kayu yang dibuat tinggi di dalam rumah), Jumat (22/11).

Luapan air Sungai Siak sudah mendekati ujung parit rumahnya. Rumahnya terletak lebih tinggi sedikit, Iyen lebih beruntung dari lebih 100 rumah lainnya di perumahan yang sama sebab sudah lebih tiga pekan terendam banjir dengan ketinggian 1 meter hingga 1,5 meter. Warga yang sudah terendam banjir mengungsi di tenda yang sudah disiapkan di lapangan sepakbola dipangkal perumahan. Sebagian lagi, mengungsi ke rumah sanak saudara.

Banjir yang dialami warga Perumahan Witayu bukan satu dua hari merendam. Bisa sebulan, bahkan lebih. Iyen yang merupakan istri Ketua RT04/RW11 ini berharap pemerintah mencarikan solusi kongkrit, bukan malah menyalahkan warga yang sudah terlanjur membeli rumah di perumahan tersebut. ‘’Sudah nasib kami begini, tiap tahun dilanda banjir. Tengoklah rumah kami ini, tidak ada perobatannya. Bukannya tidak dibeli, tapi tiap dibeli selalu hancur kena air. Bahkan peralatan elektronik sudah banyak yang rusak. Bukannya kami senang keadaan seperti ini. Kadang belum sempat menaikkan barang, air sudah cepat naik. Ya, dibiarkan saja lagi,’’ celutuk Iyen pasrah sambil terus mengemasi barang-barang dan melipat karpet rumahnya.

Perumahan Witayu mulai ramai ditempati sekitar tahun 2000 lalu. Dulunya berada jauh di pinggir kota dan bukanlah satu kawasan diperhitungkan sebab akses jalan ke kota mesti memutar melalui Jalan Riau setelah melalui Jembatan Siak II. Perumahan yang dibangun 600 unit tersebut, dulunya tergolong murah untuk dibeli. Tapi, murah bukan berarti dulunya dipastikan itu daerah banjir. Malah disebutkan Perumahan Witayu itu bebas banjir.

Memang benar. Sukatno (46), Ketua RT04/RW11 perumahan Witayu menyampaikan, tahun 2000 rumah dibelinya dan satu tahun kemudian ditempati, sama sekali tidak terjadi banjir. Tapi bebas banjir tidak lama dirasakan warga. Akhir tahun 2004, ketenangan warga Perumahan Witayu pun terusik, bahkan mereka mengaku terkejut. Sebab, tengah malam menjelang subuh, pertengahan Desember, mereka dikejutkan air yang naik secara tiba-tiba.

‘’Saya masih ingat waktu itu tidur di kursi tamu. Warga teriak-teriak di luar. Setelah cukup lama teriak dan saya memang terlelap tidur, saya sadarnya setelah air menyentuh badan saya. Terkejut, air sudah memenuhi rumah. Saya gelagapanlah. Malam itu saya tidur sendiri dirumah, istri sama anak-anak dirumah mertua. Semua barang dirumah mengapung. Lemari, mesin cuci, kasur basah semua. Lemari dan meja belajar yang terbuat dari serbuk kayu di pres, lunak semua. Saya bingung dan kesal, kok bisa begini. Saking kesalnya, saya angkut lemari dan meja belajar yang lunak itu keluar, siram dengan minyak tanah, lalu saya bakar,’’ ucap Sukatno mengisahkan.

Setelah banjir Desember 2004 itulah, Perumahan Witayu terus menerus setiap tahun terendam banjir. Satu persatu warga yang dulu membeli dan menetap mulai pindah. Banyak rumah kemudian dikontrakkan. Wargapun mulai bersuara dan menuntut keadaan itu kepada developer dan bank yang memberikan fasilitas kredit serta Pemko Pekanbaru. Lelah berteriak dan nyaris tanpa dicarikan solusi kongkrit, satu persatu wargapun diam.

‘’Ya, mau diapakan lagi. Tapi sekarang yang paling kami harapkan adalah pemerintah. Kami disini bukan membangun sembarangan. Tapi membeli dari perusahaan yang resmi yaitu developer dengan memiliki izin dan setiap rumah yang ada disini memiliki surat atau sertifikat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Apakah kalau kami membeli dan sudah ber IMB, kami juga yang disalahkan? Bukankah sebelum IMB dikeluarkan ada rekomendasi bebas banjir dari pemerintah? Bagaimana menurut kamu, patutkah kami disalahkan?,’’ celutuk Sukatno balik bertanya kepada Riau Pos.

Hujaman pernyataan Sukatno itu bukan tanpa alasan. Sebab, sesuai ketentuan yang berlaku, salah satu syarat dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) oleh Dinas Tata Ruang dan Bangunan Pemko Pekanbaru adalah terdapat rekomendasi bebas banjir yang dikeluarkan Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Begitu juga kepatutan wilayah yang akan dibangun pemukiman rumah juga menjadi pertimbangan izin dikeluarkan. Seperti diketahui Perumahan Witayu terletak di dataran rendah dan cukup dekat dengan Sungai Siak.

Bukan itu saja lanjut Sukatno yang bekerja di perusahaan air minum kemasan ini. Selain banjir, puluhan rumah yang dibangun developer juga miring. Riau Pos menyaksikan, puluhan rumah yang miring tersebut mencapai 25-30 derajat sehingga sangat tidak mungkin ditempati. Dan memang benar, tidak satupun rumah yang miring itu ditempati alias kosong dan dibagian sisi-sisinya sudah retak. ‘’Disuruh tinggal gratispun orang disana tidakkan mungkin mau,’’ ucap Izan (41) warga lain Witayu sembari menyebutkan bahwa rumah yang miring itu dibiartinggalkan oleh pemiliknya dan kredit ke bank tidak dilanjutkan lagi oleh pemiliknya.

Tahun demi tahun banjir kian tinggi di Witayu. Kalau dulu, banjir terlebih dahulu merendam kawasan Jalan Nelayan dan Rumbai Pesisir, mulai tahun 2012 dan 2013 ini justru terbalik. Malah Witayu sudah terendam banjir satu meter, beberapa titik di Jalan Nelayan dan Rumbai Pesisir baru mengalami kenaikan air semata kaki, bahkan kurang. Apa penyebabnya?

‘’Karena kawasan Jalan Nelayan dan Rumbai Pesisir itu sudah dibuatkan dam, jalan ditinggikan, paritnya besar dan lebar. Ditambah lagi ada pompa pengendali banjir. Kalau disini, mana semuanya proyek gagal. Lihat saja dibelakang sana. Katanya mau dibangun bendungan dan pompa pengendali banjir. Tapi tidak selesai. Malah membahayakan bagi anak-anak kami di perumahan ini. Sebab proyek terbengkalai, besi-besi tajam didasar bendungan air, anak-anak sering mandi-mandi disana. Kalau anak-anak terjunnya ke air tak masalah. Tapi kalau kena besi angker yang tajam itu, wah pasti tewas itu,’’ ungkap Sukatno lagi.

Benar saja. Riau Pos melihat kondisi bangunan terbengkalai yang tidak jelas akan dibangun apa. Bagian besi-besi tajam belum selesai dicor dan pilar-pilar beton sebagian sudah dicor menyerupai bendungan air tampak tidak beraturan. Membandingkan dengan pompa pengendali banjir yang ada di Jalan Nelayan, Rumbai Pesisir dan Tanjung Rhu, tidak sedikitpun tampak bangunan itu dirancang menyerupai.

‘’Sudah hampir dua tahun terhenti bangunannya. Tidak jelas mengapa. Itu rencananya pompa pengendali banjir dan dibangun tiga tahap anggaran, baru berjalan dua tahap. Tapi saya perhatikan, tiap tahap tidak selesai proyeknya. Miliaran rupiah sudah habis, dulu ada plang proyeknya. Dari pada bangun proyek mumbazir seperti ini, lebih baik berikan kepada kami,’’ kata Sukatno.

Selain proyek pompa pengendali banjir itu, jalan dikawasan pemukiman Witayu sebagiannya juga sudah beraspal, termasuk didepan rumah Iyen atau Sukatno. Dan saat banjir menggenang saat ini, jalan akses utama perumahan Witayu sedang pengerjaan pengaspalan ulang. Hal ini tentu saja berbanding terbalik dengan pernyataan Wali Kota Pekanbaru Ir H Firdaus MT yang menyatakan di media massa bahwa kawasan Perumahan Witayu tidak layak huni.      ‘’Memang kawasan Perumahan Witayu tidak layak huni karena selalu menjadi langganan banjir. Juga kawasan itu dekat dari Sungai Siak. Kalau kawasan itu ditinggikan, memerlukan dana besar. Kedepannya izin perumahan harus lebih diperketat lagi agar tidak terjadi hal yang sama seperti di Witayu,’’ ujar Firdaus yang sebelum menjabat Wali Kota Pekanbaru menjabat Kepala Dinas Kimpraswil Provinsi Riau ini.

Pernyataan Wako Firdaus ini sempat membuat panas telinga warga Perumahann Witayu. Dinilai bukan memberikan solusi yang kongkrit, malah menyalahkan warga yang sudah terlanjur ‘’tertipu’’ tinggal di pemukiman tersebut. ‘’Malah kami dengar mau dipindahkan ke Rumah Susun di eks Teleju itu. Sembarangan saja. Kami ini membeli secara sah dan legal, dilengkapi surat menyurat. Ada IMB nya. Mana mau kami dipindahkan ke rumah susun. Rumah susun itu untuk kota besar seperti Jakarta. Pekanbaru ini masih luas. Kalau mau carikan solusi yang masuk akal dong,’’ celutuk Sukatno sembari memperlihatkan dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas rumahnya.

Bagaimana kalau Pemko mencarikan rumah pengganti di tempat lain dan kawasan Witayu di jadikan kawasan resapan air atau diputihkan? Kalau memang ada tawaran seperti itu, lanjut Sukatno lumayan masuk akal. Sebab, kalau pemerintah mengganti rumah warga ditempat lain adalah wajar. ‘’Sebab pemerintah termasuk ikut berdosa dengan mengeluarkan izin dan menerbitkan IMB di kawasan banjir.

Bagaimana menebus dosa ini yang mestinya dipikirkan oleh pemerintah. Dipikir-pikir, daripada pemerintah menghabiskan anggaran miliaran rupiah untuk membuat tanggul atau apalah, lebih baik dibangunkan rumah siap untuk kami dengan kondisi dan tempat yang layak. Ada yang menyarankan kami untuk menempuh jalur hukum, mem PTUN kan pemerintah. Tapi untuk apa. Apa bisa menang. Apa bisa diganti rumah kami ditempat lain,’’ ucapnya.

Dengan kondisi tiap tahun banjir dan selalu menjadi sorotan, Sukatno mengaku cukup malu. Bukannya tidak menghargai pemberian dan pertolongan orang lain, tapi Witayu kerap menjadi sorotan dan akhir-akhir ini mulai menyalahkan keberadaan mereka. ‘’Kadang saya malu juga Witayu disorot bukan karena prestasi, tapi karena selalu banjir. Akhir-akhir ini saya memang sedikit mengelak bila ingin diwawancara wartawan. Apalagi, kadang, bantuan diberikan, wargapun berebut. Bukankah tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Yang kami butuhkan solusi yang lebih nyata,’’ paparnya.

Atas keadaan yang dialami Witayu ini, Pengamat Perkotaan Ir Mardianto Manan MT berpendapat, pemerintah perlu bersikap arif dan adil dalam mencarikan solusi. Bersikap arif, sebutnya, tidak serta merta menyalahkan warga yang sudah membeli rumah disana. Apalagi, Pemko Pekanbaru turut berdosa terhadap masyarakat dengan memberikan izin secara sembarangan kepada developer tanpa ditinjau lokasi pembangunan.

‘’Ini indikasinya izin yang diberikan tanpa ditinjau ke lapangan terlebih dahulu sebelum IMB diberikan kepada developer dan setiap rumah yang akan dibangun oleh developer. Bersikap adil, penanganan banjir disepanjang Sungai Siak harus konfrehhensif, tidak sepenggal-penggal. Kalau banjir di sekitar Nelayan, Rumbai Pesisir sudah mulai bisa diminimalisir, kawasan lain juga mendapat perlakuan sama. Jangan mengatasi masalah dititik satu, malah memunculkan masalah lain ditempat lain. Ini yang namanya penanganan banjir yang konfrehensif, terencana,’’ ujar Ketua Jurusan Perencanaan Wilayah Perkotaan UIR ini.

 

Salah satu solusi untuk Perumahan Witayu menurutnya adalah menawarkan pemutihan. Pemutihan itu, papar dia, karena satu kawasan yang semestinya tidak menjadi kawasan pemukiman tapi sudah terlanjur, lalu dikembalikan lagi oleh Pemko. Artinya, bila kawasan Witayu itu bukan kawasan pemukiman atau kawasan resapan sungai, maka Pemko berwenang untuk mengeluarkan kebijakannya.

‘’Tapi karena sudah terlanjur dibangun pemukiman dan lagi salah satunya karena kesalahan Pemko yang memberikan izin yang sah tapi salah, bisa saja seluruh rumah diganti rugi atau dibangunkan pemukiman yang baru. Lalu kawasan Witayu itu menjadi kawasan resapan, dikosongkan. Daripada membuat banyak proyek, semisal bendungan, pompa pengendali banjir atau bantuan-bantuan lain yang juga menghabiskan dana puluhan miliar rupiah, lebih pas rasanya bila pemutihan dilakukan. Atau baiarkan saja warga disana dengan kearifan lokalnya, liburan di musim banjir dimana annak-anak dengan senangnya bermain air. Akan tetapi, tiap tahun akan terus menjadi sorotan, sampai kapanpun,’’ tutupnya.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook