Tak apa saya kerja keras mencari ikan atau menongkah kerang, asal anak-anak saya bisa sekolah...
Laporan HARY B KORI’UN, Tanah Merah
UMURNYA baru 60 tahun, tapi dia tak tahu persis kapan tanggal lahirnya. Tak ada catatan yang menjelaskan berapa umur lelaki ini sebenarnya. Tetapi, bagi Sadin, yang paling penting dalam hidupnya adalah bekerja keras. Bersama sang istri, Nurhayati (57), Sadin telah membuktikan, meskipun mereka berdua tak kenal tulis-baca —sesuatu yang jamak terjadi pada keluarga Suku Duanu— tetapi anak-anaknya bisa tumbuh dengan bekal pendidikan yang baik. Bahkan hampir semuanya menjadi “orang”.
Sadin dan istrinya menghabiskan masa kecil hingga tuanya di Desa Sungai Laut, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), dua jam perjalanan menyusuri Sungai Indragiri sebelum keluar ke laut lepas menuju Pulau Air Tawar di mana desa itu berada.
Memang perlu perjuangan sangat ekstra untuk sampai ke desa ini. Selain perjalanan panjang dari Pekanbaru menuju Tembilahan, ibu kota Inhil, juga harus berdesakan dengan penumpang lain di Pelabuhan Tembilahan menuju pelabuhan transit di Kuala Enok. Tiba di Kuala Enok, tak bisa langsung berangkat ke Sungai Laut, harus menunggu hingga sore hari sekitar jam 14.00-15.00 WIB sampai air laut pasang. Sebab, kalau dipaksakan juga, dipastikan boat kecil berkapasitas 11-12 penumpang itu akan kandas dan tetap harus menunggu lama. Jam-jam segitulah air laut mulai pasang.
Keluarga Sadin turun-temurun tinggal di rumah panggung terbuat dari kayu yang berderet rapi bersama ratusan rumah yang dihuni kepala keluarga lainnya. Hampir separo penduduk desa ini adalah keluarga Suku Duanu. Rumah-rumah di Sungai Laut dibuat seperti bangunan pasar yang hanya dipisahkan oleh dinding-dinding papan antara satu dengan lainnya. Selain ratusan keluarga Suku Duanu, Sungai Laut juga dihuni suku lainnya seperti Banjar, Bugis, Melayu, Jawa, bahkan etnis Tionghoa. Hanya ada satu keluarga Minangkabau di desa ini.
Di rumah itu, di dinding ruang tamu, tergantung foto anak-anak Sadin yang kini sudah menjadi “orang” dan tinggal di Tembilahan. Selain Sadin dan Nurhayati, hanya satu anaknya yang masih tinggal bersama mereka, yakni Rosmawati (37), anak perempuan satu-satunya dari enam bersaudara. Satu anak lagi yang masih tinggal di Sungai Laut adalah anak keduanya, Syahmin (40), namun sudah tinggal di rumah sendiri bersama istrinya, tak jauh dari rumah keluarga. Empat anak lelaki lainnya kini tinggal di Tembilahan. Rosmawati yang masih melajang selain menjaga kedua orangtuanya, juga bisnis kecil-kecilan. Dia mengambil pakaian jadi dari Tembilahan atau Kuala Enok, dan dijual di Sungai Laut.
‘’Untungnya lumayan,’’ kata Rosma sambil tersenyum.
Dua hari dua malam (Selasa dan Rabu, 14-15/5) Riau Pos tinggal di rumah keluarga ini. Awalnya mereka agak sungkan dan terkesan tertutup, tetapi lama-lama terjadi komunikasi yang cair dan terbuka. Sadin, Nurhayati, Rosma, Syahmin, Fendi (adik Nurhayati yang tinggal di rumah sebelah keluarga Sadin) dan yang lainnya dengan riang berbagi cerita dalam obrolan-obrolan yang tak kenal waktu.
Di Sungai Laut, keluarga Sadin dikenal luas masyarakat, bukan hanya oleh komunitas Suku Duanu, tetapi juga hampir semua penduduk. ‘’Rumah keluarga Pak Sadin sering kedatangan tamu-tamu ‘penting’ dari Tembilahan,’’ kata Amirudin, Kepala Desa Sungai Laut, yang sehari-hari dipanggil ‘’Pak Wali’’ oleh warganya.
Tamu-tamu ‘’penting’’ tersebut bisa jadi adalah beberapa pejabat dari Dinas Perikanan atau Dispenda Inhil yang setiap melakukan kunjungan ke Sungai Laut, selalu menginap di rumah Sadin. Maklumlah, anak-anak Sadin yang tinggal di Tembilahan semuanya bekerja di instansi pemerintah. Si sulung Ramadhani (41) saat ini PNS di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Inhil; Herman S (33) juga PNS di Dinas Perikanan Inhil; Indra Lesmana (25) adalah polisi yang bertugas di Polres Inhil; dan si bungsu Erwin juga menjadi pegawai honorer di Dinas Perikanan Inhil.
Sadin dan Nurhayati yang tak pandai tulis-baca sangat bersyukur anak-anaknya bisa sekolah dan kemudian bisa bekerja sebagai abdi negara. Padahal, tak ada yang memotivasi mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga seperti sekarang. Semuanya mengalir saja. ‘’Tak apa saya kerja keras mencari ikan atau menongkah kerang, asal anak-anak saya bisa sekolah,’’ ujar Sadin.
Sadin pun sebenarnya tak pernah membayangkan anak-anaknya bisa menamatkan sekolah, sesuatu yang jarang ditemui dari masyarakat Duanu. Saat itu, gerakan belajar/sekolah yang dipelopori oleh Sarpan Firmansyah, Kepala Suku Duanu Riau, seperti yang terjadi saat ini, belum ada. Sadin dan istrinya hanya ingin anak-anaknya bisa sekolah dan tak buta huruf seperti orangtuanya. Itu makanya setamat SD di Sungai Laut, mereka mengirim anak-anaknya sekolah SMP atau SMA ke Kuala Enok atau Tembilahan. Untuk mencukupi kebutuhan mereka di rantau, Sadin bekerja keras mencari ikan dan menongkah kerang, sementara Nurhayati membantu dengan menjual kue dan goreng-gorengan.
Ketika usia mulai merambat naik, Sadin mulai ‘’pensiun’’ dari pekerjaan nelayannya dan menjadi pedagang pengumpul. Dari sinilah ekonomi keluarganya mulai naik. Sadin menjual ikan, kerang, udang dan hasil laut lainnya yang dibeli dari masyarakat, ke Kuala Enok, Tembilahan, atau Kuala Tungkal (Jambi). Cukup lama dia menjadi pedagang antar-daerah sebelum berhenti karena tragedi menimpa keluarganya. Suatu hari, ikan-ikan yang dikumpulkannya dirampok, dan dia mengalami kerugian puluhan juta.
‘’Tapi syukur alhamdulillah, itu terjadi setelah anak-anak saya besar dan semuanya sudah menyelesaikan sekolah, malah sudah ada yang bekerja,’’ jelas Nurhayati. Terlihat wajahnya murung ketika mengingat saat-saat buruk yang menimpa keluarganya itu.
Selain sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya, keluarga Sadin juga menjadi contoh orang Suku Duanu yang terbuka terhadap suku lain. Sadin tak melarang anak-anaknya menikah dengan suku di luar Duanu. Menurut Sadin, semua suku itu baik, meskipun di internal, hal itu mendapat kritik karena dianggap bisa memusnahkan ‘’kemurnian’’ keturunan Duanu.
Dari tiga anak Sadin yang sudah menikah, dua di antaranya menikah dengan suku lain. Ramadhani menikah dengan wanita dari suku Banjar, dan Herman menikah dengan gadis Minang, seorang guru yang dulu pernah mengajar di Sungai Laut. Hanya Syahmin yang menikah dengan gadis Duanu. ‘’Dua anak saya ketemu jodohnya dengan suku lain. Tak apa, menurut saya, semua suku itu baik, hanya orang-orangnya saja yang kadang tidak baik,’’ ungkap Sadin arif.
Kini, menghabiskan masa tuanya, Sadin tetap berada di Sungai Laut dan sekali-kali ke Tembilahan, tinggal di rumah anak-anaknya, sambil menimang satu cucunya, anak Ramadhani. Di rumah panggungnya yang asri dengan angin semilir yang datang setiap saat, Sadin, Syahmin, dan Fendi bisa mengerjakan pekerjaan ‘’sampingan’’ yang kadang datang dengan jumlah besar, yakni finishing jaring nelayan.
Pekerjaan ini didapat dari Dinas Perikanan Inhil melalui Herman atau Ramadhani. Mereka sangat fasih dengan pekerjaan itu. Setelah jadi, jaring-jaring tersebut dikirim lagi ke Tembilahan. Oleh Dinas Perikanan Inhil, kemudian disebarkan ke kelompok-kelompok nelayan lainnya di Inhil. Pekerjaan ini lumayan memberi penghasilan bagi keluarga ini.
‘’Kalau pas datang banyak, bisa penuh seluruh rumah ini dengan jaring. Tapi kalau pas sedikit, ya seperti ini, hanya beberapa bal. Yang penting tetap ada yang dikerjakan,’’ ungkap Sadin sambil mengisap rokoknya, dan tangannya tetap asyik menyulamkan senar-senar yang mengikat jaring-jaring tersebut dengan nilon sebesar jempol tangan dengan pelampung yang sudah tersusun rapi.(bersambung)