Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid V, pada Ahad (29/3) mendatang genap 100 hari menjalankan roda kepemimpinanya. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi lembaga antirasuah yang dikomandoi Firli Bahuri Cs.
Laporan: Jawapos.com, Jakarta
Selama 100 hari menjabat sebagai Pimpinan KPK, ICW setidaknya mencatat tujuh kontroversi publik yang timbul. Firli Cs gagal menangkap buronan kasus korupsi.
“Dua buronan KPK yang saat ini tak kunjung bisa ditangkap, yakni Harun Masiku dan Nurhadi. Padahal rekam jejak lembaga antirasuah selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (24/3).
“Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia,” sambungnya.
ICW, kata Kurni, juga mengkritisi Firli Cs yang tidak memberikan informasi transparan terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron.
“Sampai saat ini tidak ada satupun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut. Bahkan saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK,” sesal Kurnia.
Menurutnya Komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Kurnia menyebut, bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika menyingkirkan penyidik KPK, Kompol Rossa yang diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas.
Padahal yang bersangkutan sedang menangani perkara dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku. Tak hanya itu, masa tugas Kompol Rossa pun baru berakhir pada September mendatang.
“Padahal Rossa juga tidak pernah dijatuhi sanksi apapun di KPK,” beber Kurnia.
ICW pun menyesalkan, langkah komisioner KPK yang berniat memotong proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku.
Memang secara yuridis hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor. Akan tetapi jika dilihat lebih detail pada bagian penjelasan, maka niat dari Komisioner KPK itu keliru.
“Metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap,” ujar Kurnia.
Selain itu, hal yang perlu dikritisi saat ini yakni, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Data KPK menyebutkan sejak 2016-2019 lembaga antirasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang.
Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Namun dua perkara itu bukan murni hasil Firlis Cs.
“Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs,” ungkap Kurnia.
Bahkan, Firli Cs terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga diantaranya kunjungan ke DPR RI.
“Ini jelas menggambarkan bahwa para Komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan. Dalih sosialisasi pencegahan tidak dapat diterima dengan akal sehat karena strategi pencegahan sudah jelas alur, pendekatan dan kebijakan-kebijakan teknisnya,” sesal Kurnia.
Tak hanya itu, Komisioner KPK mengumumkan kepada publik terkait penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK. Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan.
“Selain itu dalam UU KPK, UU Tipikor, bahkan KUHAP sekali pun memang tidak pernah mengenal istilah publikasi penghentian di tingkat penyelidikan,” urai Kurnia.
Kurnia memandang, faktor UU KPK baru pun secara langsung mempengaruhi ritme kerja KPK. Mulai dari proses penindakan yang terlalu birokratis karena adanya Dewan Pengawas, kelembagaan yang tidak lagi independen, sampai pada kekhawatiran perkara besar akan dihentikan melalui instrumen surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan.
“Pada akhirnya akar persoalan pemberantasan korupsi saat ini ada pada komitmen Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR RI. Sebab bagaimanapun persoalan stagnasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi adalah produk politik eksekutif dan legislatif,” tegasnya.
Editor: E Sulaiman