MELIHAT INDONESIA MENGAJAR DI PULAU BENGKALIS (2-HABIS)

Menjangkau yang Tak Terjangkau

Feature | Sabtu, 24 Maret 2012 - 08:51 WIB

Laporan JARIR AMRUN, Bengkalis jarir@riaupos.co

Mungkin tulisan tangan mereka tak seindah goresan tinta kaligrafi. Mungkin bahasa tulisan mereka tak sehalus bahasa pujangga. 

Namun, setiap tulisan mereka berbicara jujur apa adanya. Begitu sederhana. 


‘’Saya merasa makin jatuh cinta ketika membaca jurnal harian anak-anak,’’ ujar Fitri Utami, pengajar muda Indonesia Mengajar yang bertugas di ujung Negeri Junjungan Bengkalis.

Fitri Utama merupakan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Gadis manis berjilbab ini membuat trobosan dalam mengenal lebih dalam semua murid di SDN 6 Bantan Tengah, yakni membuat jurnal harian.

‘’Sejak awal masuk ke sekolah ini, pertama kali yang saya lakukah adalah membagikan setiap murid satu buku. Gunanya untuk dijadikan jurnal harian anak,’’ papar pemenang Clean and Clear Writing Contest- Girl of Change ini.

Fitri berpendapat, penulisan jurnal harian salah satu strategi pendekatan dengan anak didik. Sebab, seorang guru tidak bisa memberikan perhatian pada seluruh anak di sekolah. Padahal seluruh anak itu perlu perhatian.

‘’Saya ingin mereka berbicara banyak tentang diri mereka, namun sayangnya waktu berinteraksi di sekolah sangat terbatas. Melalui jurnal harian, saya meminta mereka untuk menuliskan apa pun yang ingin mereka ceritakan kepada saya. Mereka bisa saja menceritakan kejadian sehari-hari yang mereka alami, pengalaman berharga yang mereka lalui, cita-cita mereka, kesukaan mereka. Apa pun yang ada dalam pikiran mereka dapat mereka tuangkan dalam jurnal harian,’’ ujar gadis cerdas asal Cilacap yang berhasil membimbing Muhammad Safari juara 1 OSN Kecamatan Bantan.

Misalnya, ada anak yang tidak bisa menulis dengan rapi. Menurut Fitri, biarkan anak itu menulis apa adanya. Yang jelas jurnal itu akan bermanfaat. Muncul sejumlah pertanyaan saat buku jurnal harian itu saya bagikan. Misalnya ada yang bertanya, ‘’Bu, bagaimana kalau saya tak bisa menulis (dengan kalimat yang bagus, red)? Bu, bagaimana kalau saya tak terbiasa menulis cerita?

Semua keluhan itu wajar, dan tidak masalah. Tuliskan saja apa yang bisa dituliskan. Walau hanya satu kata. Walau hanya satu huruf. Kalau tak bisa menulis, menggambar juga boleh. Kalau tak bisa menggambar, cari gambar yang disukai untuk ditempel juga boleh. ‘’Pokoknya tuangkan apa pun yang ada di pikiran anak-anak. Karena jurnal ini milik anak,’’ jawab Fitri.

Terdapat beberapa manfaat dalam dalam penulisan jurnal harian. Pertama, jurnal harian melatih mereka untuk menuangkan ide yang ada dalam kepala mereka. Kedua, jurnal harian membuat mereka berlatih untuk menulis. Ketiga, jurnal harian membuat mereka lebih mengenal tentang diri mereka sendiri. Tentunya, jurnal harian menjadi penyalur emosi dan pikiran anak, baik itu emosi positif maupun negatif, karena segala rasa bisa tertuang di sana.

Tentunya ada hal penting yang harus dijaga dalam pendekatan jurnal harian. Yakni Kepercayaan. Guru harus bisa menjaga kepercayaan siswa bahwa jurnal tersebut hanya guru yang membaca. Mereka harus mempercayai guru bahwa cerita dalam jurnal tersebut hanya guru yang mengetahuinya. Ketika di awal penulisan pun, guru harus menyatakan bahwa guru hanya boleh membaca ketika mereka sudah mengizinkan jurnal tersebut dibaca oleh guru. Ini menunjukkan seberapa jauh keterbukaan dan kesukarelaan anak didik untuk berbagi dengan gurunya.

‘’Membaca mimpi-mimpi mereka. Membaca rahasia-rahasia kecil mereka. Membaca curahan hati mereka. Membaca semangat mereka. Semua ide yang tertulis di jurnal harian, terkadang ada di luar batas pemikiran kita sebagai orang dewasa. Membaca pengalaman keseharian mereka, seolah saya ada turut bersama mereka. Dengan membaca jurnal harian mereka, seolah saya dibawa terbang ke angkasa dengan berjuta harapan dan mimpi mereka,’’ ujar Fitri mengisahkan.

Pendekatan Proyek
Ada lagi pengalaman pengajar muda Indonesia Mengajar di Pulau Bengkalis yang menarik, seperti Veny Ari Jayanti yang bertugas di SDN 057 Ketamputih, bahwa muridnya ada enam yang berhasil masuk babak semifinal OSK. Artinya barhasil menyisihkan 86 ribu anak SD di negeri ini yang mengikuti OSK. Yakni Siti Nurbaya, M Fazli, M Fadeli, Renaldi, Maryatul Kippiyah dan Syahrizal. Semuanya murid SDN 57. Pada 28 April mereka akan seleksi masuk final.

‘’Luar biasa, ada enam murid kami yang masuk babak semifinal OSK. Ini semua berkat kerja keras guru-guru SDN 57 dan ketekunan anak-anak kami,’’ ujarnya.

Selain itu, Veny melihat anak SDN 57 banyak yang memiliki potensi, seperti di bidang seni, Salwa (10) juara II Lagu Melayu di tingkat provinsi.

Namun karena keterbatasan fasilitas sekolah, terpaksa Kepala Guru SDN 57 Sudarmi memanfaatkan fasilitas apa adanya. Sebab sekolah tidak memiliki kantor, dan setiap lokasl disekat menjadi dua ruangan. Untuk menumbuhkan bakat seni anak-anak, sekolah membangun sanggar di halaman depan sekolah. Sanggar itu terbuat dari kayu sederhana sekali. Gunanya selain untuk berlatih seni, bernyanyi, menari, bermain musik seperti rebana, gitar, dan gendang. Sanggar seni itu pun bisa dimanfaatkan untuk belajar pelajaran lainnya.

‘’Semua serba terbatas, namun kreativitas mereka membuat keterbatasan itu bukan menjadi hambatan,’’ ujar alumni FISIP Universitas Indonesia 2011 ini.

Melihat keterbatasan SDN 57 Ketamputih, Kadisdik Bengkalis, H Herman Sani SH berjanji akan membangunkan sekolah ini lebih permanen. ‘’Karena areal sekolah sempit, kita akan bangun tingkat tahun 2012 ini. SD ini dengan keterbatasannya sudah berprestasi di tingkat provinsi, maka wajar kita perhatikan bakat mereka,’’ ujar Herman alumni SPG Bengkalis ini.


Yang menjadi masalah di Kabupaten Bengkalis ini adalah soal kinerja guru. Pemerintah berharap guru lebih kreatif menggali potensi anak. Bukankah setiap anak dilahirkan memiliki potensi? Nah, potensi itulah dikembangkan oleh orangtua, guru dan lingkungannya.

‘’Saya bersyukur Bengkalis termasuk salah satu lokasi Indonesia Mengajar. Bahkan pengajar muda Indonesia Mengajar kami fasilitasi untuk menyampaikan sejumlah idenya dalam diskusi yang dihadiri guru-guru,’’ paparnya.

Bagaimana respon pendiri Indonesia Mengajar, Anies Baswedan PhD terhadap kiprah pengajar muda Indonesia Mengajar yang ditugaskan di Pulau Bengkalis itu? Anies tersenyum. 

‘’Tak usah saya yang banyak komentar, biarkan pengajar muda itu yang berbicara,’’ ujarnya.

Diakui Anies bahwa respon publik terhadap Indonesia Mengajar sangat baik. Masalah pendidikan bukan hanya soal bangunan fisik dan fasilitas lainnya, tetapi lebih dari itu.

Apalah artinya gedung sekolah megah, tetapi gurunya tidak memiliki wawasan luas. Kecenderungan pemerintah saat ini pendidikan yang berorientasi proyek, kalau tak ada proyek, tak mau kerja.

Selain itu masalah lainnya pendidikan di negeri soal keterjangkauan. Selama ini sekolah di perbatasan negara, di pulau-pulau terpencil, kondisi mereka sangat memperihatinkan.

Pusat (Jakarta) terlalu banyak yang diurusi, makanya diperlukan inisiatif generasi muda untuk menjangkau mereka-mereka yang tak terjangkau fasilitas pendidikannya. 

Selain itu, Indonesia Mengajar ini juga memberikan contoh bahwa ribuan anak-anak muda negeri ini tidak sedikit yang mau berkorban untuk membangun negeri. Mereka punya semangat untuk merajut tenum kebangsaan yang mulai koyak.(ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook