Ruangan yang didominasi warna biru itu tak lagi sunyi. Sejumlah anak-anak mengikuti pengajian dengan memanfaatkan tempat salat di Mako Satpol Air Polres Rokan Hilir (Rohil), yang terletak di Jalan Pelabuhan Baru, Bagansiapiapi, Jumat (23/6/2023) sore.
Laporan: Zulfadhli (Bagansiapiapi)
Mereka tampak bersemangat, mengikuti bacaan dari Ustad Parta. Kegiatan itu merupakan rutinitas, bagi anak-anak dari keluarga nelayan yang tinggal di sekitaran Mako untuk belajar mengaji.
Memang masih dalam tahapan awal, namun keberadaan tempat mengaji itu telah mendapatkan sambutan baik dari warga. Adalah AKP Tito Laragatra, Kasat Polairud, yang berinisiatif menyediakan tempat belajar ngaji bagi anak-anak nelayan. Keinginan mulia itu tidak terlepas menyikapi kondisi sebagian nelayan pesisir, khususnya di Bagansiapiapi (Kecamatan Bangko) yang kebanyakan merupakan kalangan tak mampu.
Indikasinya terlihat dari kondisi rumah yang sederhana, keterbatasan sanitasi bersih, pendapatan kepala keluarga tak menentu karena tergantung dari hasil tangkapan dan sebagainya. Kondisi perekonomian yang buruk mengakibatkan rendahnya kepedulian untuk memberikan pendidikan agama, sebagai pendidikan tambahan di luar sekolah negeri, bagi anak-anak.
"Saya ingin menyediakan pengajian gratis bagi anak-anak terutama dari keluarga tak mampu, dari yang orang tuanya nelayan, buruh dan sebagainya. Sedangkan dan untuk honor pengajarnya biar kami yang tanggulangi," kata Tito pada satu kesempatan.
Meredupnya Kejayaan Perikanan Tangkap di Pesisir
Akses pengajian gratis ini tentunya menjadi harapan, di tengah deraan menurunnya sumber pendapatan yang dialami nelayan Bagansiapi-api. Kisah kejayaan nelayan pesisir Rohil yang dulu terkenal di buku-buku pelajaran kini tinggal kenangan. Masa jaya-nya perairan Rohil pada era 70-an, hingga akhir 80-an dengan produksi perikanan tangkap terbesar di dunia setelah Norwegia, sudah menguap.
Nelayan perikanan tangkap kehilangan sumber pendapatan secara signifikan. Faktor yang menjadi pemicu kemerosotan tak terlepas dari faktor alam berupa pendangkalan wilayah perairan yang terus terjadi sampai saat ini.
Di sebagian areal tangkap di laut telah terjadi pendangkalan. Berimbas pada alur sungai, dan kuala Bagansiapiapi semakin mengecil, begitu juga aluran di hilir sungai Rokan. Sehingga jarak pandang dari eks pelabuhan Bagansiapiapi ke Pulau Berkey semakin dekat, kondisi yang sama terjadi antara tepian Batu Enam ke Pulau Tuan Syekh dan Pulau Pedamaran, Kecamatan Pekaitan.
Seorang warga Bagansiapiapi, Syofyan mengatakan pada era 70-an, sebagian daratan di Kota Bagansiapiapi (kini), dulunya masih berupa sungai besar dengan keberadaan pelabuhan rakyat. Ketika air laut pasang, ikan dan udang turut masuk ke sungai, menjalar di tepian sehingga bisa ditangkap dengan mengunakan tangan kosong.
"Saat air pasang, itu di sungai dan parit, nampak ikan dan udang turut masuk. Kami tinggal ambil pakai tangan," katanya.
Perkiraan tahun 1979, terang Syofyan yang waktu itu duduk di Kelas II SD, memang hasil laut sangat menjanjikan. Aktivitas masyarakat pun banyak berkutat di perairan, sebagai jalur akses atau lalu lintas antar wilayah.
Ini juga mengerakkan roda perekonomian bagi nelayan di samping melakukan penangkapan ikan. Di sisi lain terangnya, aktivitas ekspor produksi perikanan pada waktu itu sangat tinggi. Setiap pekannya, ada saja kapal berukuran besar yang mengangkut hasil ikan/udang dari Bagansiapiapi dengan tujuan ke luar daerah termasuk Singapura dan Malaysia.
Dulu tambahnya, berbagai kapal yang membawa hasil pertanian, perkebunan dan komoditas lainnya datang ke Bagansiapiapi dengan bersandar di Pelabuhan Sei Garam (kini menjadi daratan dengan bangunan bea cukai, pasar pelita serta perumahan dan toko).
Pada masa itu juga tambahnya, sudah ada pintu air, posisinya sekarang berada di dekat Jalan Nelayan sebelum areal Bakar Tongkang. "Dulunya itu ada Suak Long Hin," katanya.
Warga lainnya, Hendri membenarkan pada era 80-an bisa disebut sebagai era kejayaan laut Bagansiapiapi. "Waktu itu berserak pelabuhan rakyat. Kalau kapal penangkap ikan tak terhitung, kapal untuk transportasi juga banyak karena dulu akses itu melalui laut dan jalur sungai, ke Dumai mengunakan fery, ke Bantaian (Kini berada di Kecamatan Batu Hampar), ke N15 Teluk Bano (kini di Kecamatan Pekaitan) mengunakan kapal atau perahu karena jalan darat belum ada atau masih terbatas," katanya.
Banyaknya pelabuhan atau bangliau memberikan keuntungan tersendiri bagi nelayan karena mereka bisa memilih untuk menjual ikan hasil tangkapan ke toke mana yang royal menurut penilaian masing-masing. Tak jarang antar bangliau perang harga demi mendapatkan pasokan ikan lebih banyak.
"Dulu juga ada PT yang khusus membeli udang, untuk di kupas dan kemudian di ekspor ke Singapura," katanya.
Pada masa itu terangnya lagi, kehidupan nelayan relatif sejahtera. Kebutuhan pokok terpenuhi, nelayan bisa meminjam uang kepada toke maupun mendapatkan barang-barang rumah tangga, elektronik hingga sembako terlebih dahulu, yang akan dibayar setelah melaut. Selain itu, dengan kondisi peredaran barang yang masih serba bebas, sistem smoukil juga membuat nelayan kecipratan rezeki.
"Kalau kebutuhan sehari-hari terjamin, bahan komoditas dari Malaysia seperti roti, susu, gula, bawang dan sebagainya datang dan harganya relatif lebih murah," terangnya.
Keadaan itu kini berbalik, aktifitas lalu lintas barang yang melibatkan akses perairan telah berkurang drastis. Sementara hasil tangkap juga menurun. Harga ikan pula dilepas dengan sistem pasaran.
Pelabuhan di ujung Jalan Utama/Jalan Nelayan kini sudah tak berfungsi. Menyisakan bekas bangunan ruang dan jembatan turun naik penumpang, hal yang sama untuk pelabuhan di ujung jalan Pelabuhan Baru, Bagansiapiapi.
"Ya kalau sekarang nelayan semakin sulit, hasil tangkap berkurang jauh," cetusnya.
Seorang nelayan, Amat mengaku tidak memiliki pendapatan tetap ketika melaut. "Seharian melaut tak tontu (pasti) pendapatan, paling tidak dapat 50 ribu sudah bersyukur," katanya.
Menurutnya pendapatan tersebut sudah cukup bagus, setelah dipotong biaya membeli solar, perawatan mesin serta alat tangkap yang dipergunakan.
Galakkan Kegiatan Keagamaan, Setapak Perubahan Polri
Keberadaan rumah pengajian yang digalakkan polisi, telah memberikan ruang bagi anak-anak kalangan nelayan maupun yang berasal dari keluarga tak mampu untuk dapat mengenyam pendidikan agama dengan baik.
Hal yang sama diwujudkan dengan keberadaan Rumah Tahfidz An Nur Bhayangkara yang terletak di Bagansiapiapi, persisnya di lingkungan Mako Polsek Bangko.
Saban malam, 100-an anak-anak yang dibagi pada kelompok iqro, tahsin hingga tahfidz belajar. Bripka Afrizal, si bhabinkamtibmas yang juga merupakan ketua yayasan rumah tahfidz mengawali keberadaan tempat pengajian itu. Tak disangka, kegiatan yang diawalinya pada 2021 mendapatkan dukungan dari Kapolres Rohil waktu itu, AKBP Nurhadi.
"Alhamdulillah, sejak dibentuk pada 2021, kegiatan ini terus berjalan dengan tekad agar anak-anak di sekitaran Polsek Bangko dapat belajar mengaji dan menghafal Alquran. Ternyata minat masyarakat antusias sekali dengan mengantarkan anak-anak mereka untuk belajar dan kami tidak menerima uang terkait pengajian, semua gratis," kata Afrizal.
Sebagian dari santri cilik tersebut sudah ada yang hafal 7 hingga 8 juz, dengan guru yang umumnya merupakan tamatan dari pondok pesantren. Untuk gaji bagi para guru, ditopang dari zakat profesi polisi serta infak untuk rumah tahfidz.
Berjalan baik, terjadi lonjakan peserta didik. Di mana pada awalnya hanya terdapat 15 santri, pada saat ini sudah mencapai 104 peserta. Untuk jam belajar terangnya mulai dari bada Maghrib hingga pukul 21.39 WIB, selain itu setiap bulannya diadakan semacam belajar tambahan terkait akidah, pelaksanaan salat dan lain-lain.
Umumnya terang Afrizal, peserta didik di rumah tahfidz tersebut berasal dari keluarga tak mampu, lima orang merupakan anak yatim, sementara lainnya dari anak nelayan dan berbagai latar belakang baik dari Bagansiapiapi, Parit Aman dan sekitaran Kecamatan Bangko.
Salah seorang santri bernama Bintang, telah menjadi peserta tetap di rumah tahfidz tersebut. Setiap malamnya dia mengaji dan rutin pula mengikuti kegiatan bulanan.
Tak hanya karena gratis, sistem pengajaran yang ada terbukti mumpuni seperti dialami Bintang yang pernah menjadi juara tahfidz pada lomba yang digelar pondok mengaji Daarul Muqomah di Bagansiapiapi baru-baru, di samping dia juga menjadi pembaca doa di sekolahnya, di SDN 001 Bagan Kota.
Sebagai generasi muda, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali. Didorong kemudahan berupa bebas biaya, membuat tempat pendidikan non formal ini jadi tumpuan masyarakat. Terlihat dengan antusiasnya para orang tua, mengantar-jemput anak guna mengikuti pendidikan/pengajian tersebut.
Keberadaan rumah mengaji, atau pondok tahfidz yang digiatkan kepolisian walau sederhana, telah menjadi elemen penting untuk ketersediaan akses pendidikan, pendalaman agama secara dasar bagi anak-anak. Selain itu efektif membuat anak-anak memiliki waktu yang lebih sedikit mengunakan gadget. Efek jangka panjang ini mengingatkan pada ucapan terkenal Astronot Amerika, Neil Amstrong, sesuatu yang merupakan langkah kecil bagi seseorang, namun satu lompatan besar bagi kemanusiaan.
Semoga semakin banyak lagi keberadaan tempat mengaji atau rumah tahfidz yang didirikan polisi dan menjangkau lebih banyak lagi anak-anak khususnya dari kalangan tak mampu. Selamat HUT Bhayangkara ke-77, semoga Polri terus memberikan harapan baik bagi masyarakat dan generasi penerus bangsa.***
Editor: Rinaldi