KETIKA RISIKO KEHIDUPAN MAKIN TAK TERDUGA

Anak TK hingga Mahasiswa Ikut Asuransi

Feature | Minggu, 23 Juni 2013 - 08:35 WIB

Anak TK hingga Mahasiswa Ikut Asuransi
Beberapa siswi membeli jajanan di pinggir Jalan Wonorejo, Pekanbaru selepas pulang sekolah. Selain berisiko kecelakaan lalu lintas dan risiko kesehatan akibat jajanan tidak sehat. Foto: muhammad amin/riau pos

Risiko kehidupan di era modern ini makin tak terduga. Banyak faktor yang menjadi penyebab makin tingginya risiko kehidupan, mulai dari laju pergerakan manusia yang makin dinamis hingga pola hidup yang berubah.

Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Bagi Melli (31), risiko kehidupan sudah mulai dirasakannya sebagai sesuatu yang menyakitkan. Melli benar-benar tak menyangka, di saat umurnya yang masih muda, risiko kehidupan telah menyapa. Kepada Riau Pos, sambil berbicara tertahan dan terbatuk, dia menceritakan perihal nasibnya, yang tiba-tiba saja terkena kanker lidah.

“Baru dua pekan lalu dapat diagnosa dari dokter,” ujar Melli, Jumat (14/6) lalu di Pekanbaru.

Penyakit kanker yang diderita Melli tergolong langka. Pengobatannya pun tentu memerlukan biaya yang sangat besar. Melli mengaku tak tahu apa penyebab penyakit ini menghampirinya. Dia pun kini berusaha fokus untuk menangani penyakitnya yang baru stadium awal dan diharapkan bisa segera sembuh.

Sebenarnya masih ada sedikit keberuntungan yang dimiliki Melli. Suaminya telah menjadi nasabah asuransi, sehingga dia juga mendapatkan perlindungan pembebasan premi atas polis suami, karena memang ada klausul tentang pertanggungan suami dan istri. Jika suami ikut asuransi dan istri yang terkena sakit kritis, seperti dalam kasus Melli ini, maka otomatis premi asuransi yang dibayarkan dihentikan. Selanjutnya justru tiap bulan pihak asuransi yang membayarkan uang sesuai jumlah premi itu hingga umur 65 tahun. Akan tetapi karena pasangan yang bersangkutan, dalam hal ini Melli tak ikut sebagai nasabah, maka ia tak bisa mengklaim pertanggungan penyakit kritis yang dideritanya, yang bisa mencapai Rp1 miliar.

“Menyesal juga kenapa saya dulu tak ikut. Sekarang sudah terlambat, tentu tak bisa mendaftar lagi,” ujar Melli terdengar pasrah.

Faisal (30) punya cerita berbeda. Sejak beberapa tahun lalu, Faisal sudah menyadari pentingnya berasuransi. Dia menyadari, risiko kehidupan saat ini sangat tinggi. Jika sudah berkeluarga, risiko yang dihadapi akan lebih besar karena kalau terjadi sesuatu pada diri dan pasangan, maka anak-anak akan ditinggalkan dalam kondisi tak berdaya. Bagi Faisal, masuk ke asuransi ini penting untuk mengurangi risiko kehidupan tersebut.

“Banyak penyakit kritis yang bisa datang kapan saja. Dengan masuk asuransi, kita bisa berjaga-jaga,” ujar Faisal.

Baginya, masuk asuransi sama saja dengan menabung atau berinvestasi untuk masa depan jiwa dan kesehatan. Investasi ini akan dapat dipetik ketika musibah tak terduga datang, misalnya saat tertimpa musibah besar, kecelakaan, mengalami penyakit kritis hingga meninggal. Jika sudah mengalami peristiwa itu, berarti terjadi guncangan dalam diri dan masalah besar bagi finansial.

“Dengan masalah yang besar, tentu perlu solusi yang besar. Bagi para pekerja biasa, tentu tak mungkin punya tabungan ratusan juta untuk mengatasi penyakit kritis. Solusinya ya asuransi!” ujar Faisal.

Penyakit kritis ini, ujarnya, bisa menimpa siapa saja dengan umur yang kadang tak terduga. Kadang orang tua, kadang anak muda. Orangtua Faisal sendiri wafat di umur 73 tahun karena terkena salah satu penyakit kronis, yakni stroke. Risiko lain pun bisa terkena pada anak-anaknya, termasuk dirinya. Apalagi, kata Faisal, sekarang ini kebiasaan dan pola hidup masyarakat cenderung kurang sehat. Termasuk juga yang dialami dan dilakukannya.

“Risiko kesehatan akibat pola hidup ini tentu mengkhawatirkan dan mengandung risiko kesehatan di kemudian hari,” ujarnya.

Soal kurang sehatnya pola hidup masyarakat dewasa ini diakui penggiat  kesehatan dan obat herbal, dr Ekmal Rusdy. Menurut Ekmal, hampir semua kelompok masyarakat di segala lapisan umur rentan terhadap penyakit kronis akibat pola makan dan gaya hidup yang tak sehat. Dia mencontohkan pola makan anak-anak sekolah dengan jajanan di pinggir jalan, yang kemungkinan banyak mengandung zat pengawet, pewarna tekstil, rodhamin B, hingga berbagai kuman penyakit. Di kelompok umur lainnya, remaja dan dewasa, jenis makanan sampah (junk food) juga telah menjadi tren. Padahal di sisi lain, mereka tak menyadari bahwa tren makanan itu bisa membahayakan kesehatan.

“Orang kita itu kreatif. Ada sampah lalu diolah lagi, diberi penyedap, kelihatan bagus dan rasanya enak. Itu yang kita makan dan akhirnya menjadi sumber penyakit. Makanya banyak sekarang yang masih belasan tahun tapi sudah terkena kanker,” ujar Ekmal yang pernah menjadi Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Pekanbaru ini.  

Mantan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau ini menyebutkan, sejak usia dini anak-anak sudah terbiasa dengan pola makan yang sebenarnya hanya “sampah”. Setelah itu, di masa remajanya, “sampah” kembali menjejali perut dengan fast food dan cenderung junk food. Belum lagi pola makan yang berlebihan, mengandung lemak tinggi dan kurang serat. Ekmal menyebut, pada dasarnya kebanyakan penyakit kronis terjadi karena pola makan yang keliru, karena sumber penyakit banyak datang dari perut dan apa yang dikonsumsi manusia.

“Sudah saatnya kita menghitung kalori yang masuk bersama makanan sebelum makanan itu yang memakan kita. Itu semua agar kita terhindar dari penyakit kronis seperti jantung koroner, stroke, asam urat, dan hypertensi yang fatal,” ujar Ekmal.

Anak TK hingga Mahasiswa

Dengan risiko yang makin tak terduga, baik untuk jiwa maupun kesehatan, atau musibah lainnya, nasabah asuransi di kalangan masyarakat pun terus bertumbuh. Nasabah asuransi tak hanya pada segmen orang dewasa, namun juga merambah ke remaja, anak-anak, hingga balita dan batita. Beberapa di antara mereka ikut berasuransi secara pribadi, tapi ada juga yang secara berkelompok atau komunal. Ada yang ikut menjadi nasabah asuransi untuk mengatasi risiko penyakit ringan, sakit kronis hingga ada juga yang perlu beasiswa bagi anak-anaknya kelak.

Abdullah (29), misalnya, menyadari bahwa risiko kehidupan ini tak terduga. Makanya dia ikut asuransi Axa Mandiri dengan pertanggungan jiwa dan beasiswa bagi anaknya, Ica (3). Sejak setahun lalu, dia sudah mendaftarkan dirinya dan Ica sebagai nasabah di Axa Mandiri. Pertanggungan yang siap diberikan ketika ada musibah kematian orang tuanya adalah dengan memberikan bea siswa kepada anak hingga tamat kuliah S1.

“Sejak umur dua tahun sudah didaftarkan. Ya, sekitar setahun lalu,” ujar Abdullah.

Asuransi berbentuk komunal kini diterapkan di TK (Taman Kanak-kanak) Matahari Pekanbaru. Kepala TK Matahari 1, Leoni Yolanda mengatakan, semua murid TK Matahari, dari yang play grup hingga TK A dan B diikutkan dalam Asuransi Bumi Putera Muda 1967. Penerapan yang sama dilakukan pada TK Matahari 2 di Gobah. Anak-anak play grup dan TK ini diasuransikan karena ada risiko ketika anak-anak bermain, menyeberang jalan, hingga ketika melakukan kunjungan atau outbond ke luar. Apalagi TK Matahari 1 terletak di pinggir jalan, tepatnya di Jalan Selais, Pekanbaru. Risiko penyakit anak pun selalu relatif besar di tengah cuaca ekstrem yang sering melanda kota ini. Selain asuransi terhadap jiwa, anak-anak yang masuk rumah sakit karena kecelakaan atau penyakit tertentu juga akan mendapat santunan sesuai dengan premi yang dibayarkan dan ketentuan yang disepakati.

“Kami ikutkan anak-anak dalam asuransi ini sebagai pertanggungjawaban guru dan sekolah terhadap keselamatan mereka,” ujar Leoni.

Lain lagi dengan Yiyin, seorang mahasiswi salah satu STIE di Jalan Ahmad Yani Pekanbaru. Dia mengambil paket asuransi penyakit kritis di Allianz. Alasannya, kata Yiyin, penyakit kritis ini kerap tak terduga datangnya. Yiyin menyebut pengalaman kawannya sebagai contoh. Kawan yang tak masuk asuransi itu tiba-tiba jantungnya terkena serangan virus ganas. Ini kemudian menyita waktu, tenaga dan uang yang tak sedikit.

“Tanpa asuransi, tentu sangat berat. Semua harta bisa habis untuk berobat,” ujar Yiyin.

Kondisi ini menyadarkannya untuk dapat memproteksi diri. Untuk itulah, Yiyin kemudian bergabung menjadi nasabah Allianz sebagai bentuk antisipasi jika sewaktu-waktu penyakit kronis datang. Yiyin menyebut, saat ini dia dalam kondisi sehat. Di masa lalu, ujarnya, dia sempat didiagnosa mengidap kista. Tapi belakangan, kista itu sudah hilang. Akan tetapi dia masih khawatir jika di masa mendatang, kista ini muncul kembali. Apalagi dia sempat mendengar kabar bahwa kista bisa menjadi penyebab dan pemicu terjadinya kanker rahim.

“Mudah-mudahan tak terjadi. Tapi yang jelas, saya sudah bersiap-siap jika ada musibah. Saya pastikan itu dengan menjadi nasabah Allianz,” ujar Yiyin.

Kisah lain datang dari Asni (35). Kepada Riau Pos, Asni menuturkan pengalaman pedihnya terkait penyakit kritis yang dialami suaminya. Kanker paru-paru telah diderita suami Asni sejak bertahun-tahun lalu. Tak terhitung biaya yang keluar untuk menyembuhkan penyakit ini, mulai dari kemo, terapi tradisional, hingga berbagai pengobatan alternatif lainnya. Saat yang paling memedihkan adalah tatkala suaminya mengalami koma selama tiga pekan. Puluhan hingga ratusan juta telah melayang.

“Dan akhirnya beliau meninggal,” ujar Asni mengenang.

Selama perawatan, Asni membiayai pengobatan suaminya dengan dananya sendiri. Sebenarnya, dia dan suami telah bergabung dengan asuransi. Akan tetapi asuransi hanya menanggung kematian saja, sebagaimana halnya klaim asuransi jiwa. Asni menyebut, sebelumnya dia punya asumsi, dengan telah bergabung asuransi jiwa, semuanya telah cukup. Tapi dengan pengalaman buruk yang terjadi pada suaminya, dia pun sadar bahwa asuransi jiwa saja ternyata tidaklah cukup.

“Makanya sejak setahun lalu saya bergabung dengan Allianz karena juga menanggung risiko penyakit kritis. Semuanya untuk berjaga-jaga agar pengalaman yang lalu tak terulang lagi,” ujarnya.

Tanggung Risiko Penyakit Kritis   

Bussiness Director Allianz Pekanbaru, Asia, menyebutkan, pada dasarnya Allianz menerima nasabah asuransi dari kalangan masyarakat segala lapisan dan umur. Akan tetapi dalam beberapa tahun belakangan, Allianz fokus pada pertanggungan risiko penyakit kritis (critical illnes) yang kerap tak terduga dan menjadi kebutuhan masyarakat. Menurut Asia, dengan risiko penyakit kritis yang kian tak terduga, nasabah akan bisa terlindungi ketika musibah itu benar-benar tiba.

“Manfaatnya jelas bagi nasabah. Ketika penyakit kritis datang, dimulai sejak kanker terdiagnosa, maka klaim sudah bisa diajukan!” ujar Asia.

Ada sebanyak 49 jenis penyakit kritis dan 100 kondisi penyakit kritis yang ditanggung Allianz, mulai dari kanker, ginjal, jantung, radang otak hingga stroke. Semuanya tertera secara jelas, berikut rinciannya. Sejauh ini, dari beberapa nasabah yang sudah dibayar klaim asuransinya, terbanyak adalah penyakit kanker, disusul jantung dan penyakit lainnya. Bisa jadi, kanker tengah menjadi semacam “tren” baru dalam masyarakat.

“Banyak faktornya. Mungkin juga karena kebiasaan tak sehat, makanan, dan gaya hidup,” ujar Asia.

Allianz sendiri fokus pada pertanggungan penyakit kritis karena sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Sayangnya, tidak terlalu banyak yang begitu peduli pada risiko penyakit kritis. Kebanyakan masyarakat awam  melihat asuransi sebagai asuransi jiwa an sich, atau paling tidak asuransi kesehatan yang sifatnya sekadar penyakit ringan, hingga rawat inap. Padahal, ujarnya, penyakit ringan bahkan hingga rawat inap pun sebenarnya masih bisa ditanggulangi dengan uang tabungan.

“Tapi kalau sudah kena penyakit kritis, sekali kemo terapi saja bisa mencapai ratusan juta. Sangat menguras dana. Tak cukup tabungan lagi,” ujar Asia.

Menurut Asia, kesadaran berasuransi masyarakat Indonesia masih belum begitu tinggi dibanding negara maju. Sebagian masyarakat merasa tak perlu, karena ada yang memandang, sulitnya mengajukan klaim ketika musibah benar-benar datang. Padahal sebenarnya tidak susah mengklaim asuransi, karena perusahaan asuransi juga terikat dengan berbagai aturan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah.

Soal adanya tanggungan penyakit kritis di Allianz juga banyak yang tak percaya. Sebagian masyarakat menilai, asuransi hanya meng-cover penyakit biasa atau risiko meninggal saja. Padahal di Allianz, pihaknya benar-benar membayarkan klaim asuransi nasabah jika benar-benar telah terkena penyakit kritis. Angkanya mencapai Rp500 juta bahkan Rp1 miliar. Usai klaim asuransi dibayarkan, justru gantian Allianz yang membayar nasabah tiap bulan, sesuai jumlah premi yang selama ini dibayarkan. Dalam asuransi, ujarnya, ada ungkapan tentang uang kecil yang membeli uang besar.

“Asalkan sudah memenuhi syarat dan kriteria, sudah bisa diklaim. Tentunya harus ada hasil pendukung kesehatan dari rumah sakit,” ujar Asia.

Terus Berkembang

Secara umum, perkembangan asuransi di Provinsi Riau dan Pekanbaru khususnya saat ini berjalan relatif baik. Menurut Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Cabang Pekanbaru, Budi Hendro Tjahjono didampingi Wakil Ketua I Indra Ghazali dan Wakil Ketua II, Muhammad Firzan, terjadi kecenderungan peningkatan jumlah nasabah asuransi dari tahun ke tahun.

“Memang tingkat kesadaran berasuransi makin lama makin baik di masyarakat kita,” sebut Budi kepada Riau Pos, Jumat (21/6).

Kendati tak menyebut secara rinci dan angka pasti tentang peningkatan itu, namun Budi memastikan, dari laporan 53 perusahaan asuransi di bawah AAUI Cabang Pekanbaru, terdapat kenaikan jumlah nasabah dari tahun ke tahun. Budi menyebut, pihaknya masih melakukan pendataan dan inventarisasi tentang jumlah nasabah dan kenaikannya karena data persis masih di tangan perusahaan asuransi masing-masing tingkat pusat. Selain itu, kepengurusan AAUI Cabang Pekanbaru juga relatif baru. Akan tetapi, dari informasi secara nasional, dapat diketahui bahwa kenaikan premi nasabah secara bruto tahun lalu mencapai 14,3 persen. Sedangkan kenaikan klaim secara bruto mencapai 37,4 persen.

“Di daerah, dalam hal ini Pekanbaru dan sekitarnya tak jauh beda. Angkanya berkisar itu juga,” ujar Budi.

Kendati berbeda dengan asuransi jiwa atau kesehatan secara umum, pihaknya meyakini asuransi jiwa tak jauh beda dengan asuransi di bawah AAUI. Asuransi jiwa, termasuk pertanggungan penyakit kritis, maupun asuransi sosial, memang tak berada di bawah AAUI, melainkan di bawah Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).

Kendati penetrasi dan perkembangan asuransi di Riau secara umum sudah berjalan cukup pesat, menurut Budi, pihaknya selaku asosiasi terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya berasuransi. Pada Insurance Day 18 Oktober 2012 lalu, AAUI Cabang Pekanbaru telah melakukan berbagai kegiatan, mulai dari jalan sehat hingga berbagai lomba.

“Tahun ini kita sudah mulai merancang acara untuk Insurance Day agar kesadaran berasuransi lebih baik lagi ke depan,” ujar Budi.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook