Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang terus mempelajari kemungkinan mengenai perpanjangan kontrak blok Siak Riau yang akan habis masa kontrak pada November 2013 mendatang. Banyak yang ingin Blok Siak kembali ke negara yang dikelola BUMN dan BUMD. Termasuk Riau. Bagaimana tanggapan pengamat perminyakan nasional Dr Kurtubi? Wartawan Riau Pos Helfizon Assyafei berkesempatan mewawancarainya saat hadir di Fisip Unri, Sabtu (22/6). Berikut petikannya.
Kontrak Blok Siak berakhir tahun ini. Bagaimana pendapat Anda?
Jangan perpanjang kontraknya lagi. Sesuai klausul kalau kontraknya sudah selesai kembalikan ke negara. Kemudian negara lewat BUMN dan BUMD mengelolanya. Kalau kita yang mengelola keuntungan 100 persen untuk kita. Produksinya akan tetap berjalan.
Ada alasan yang dimunculkan kalau diserahkan SDM kita belum siap. Komentar Anda?
Itu alasan yang dibuat-buat. Selama ini karyawan anak negeri kita juga. Kalau alasan SDM itu tidak logis. Soal kontrak itu yang berubah kan kepemilikannya saja bila selama ini asing sekarang negara. SDM nya tetap saja. Kalau Chevron silakan eksplorasi ke blok lain. 80 tahun sudah di Indonesia harusnya tidak keberatan diserahkan ke negara agar bisa dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Pengalaman Blok CPP setelah diserahkan ke BUMD dan BUMN produksinya ternyata turun?
Itu kesalahan teknis seperti yang dipaparkan Pak Dahlan Iskan (Meneg BUMN) tadi. Memang BUMN dan BUMD yang mengelola. Kedua-duanya punya komposisi 50-50 membuat ego sektoral jadi penghambat. Harusnya daerah tidak terlibat dalam operasional seperti sekarang. Serahkan saja ke Pertamina selaku BUMN untuk operasional. Sedang BUMD duduk sebagai komisaris jadi bisa mengawasi. Sekarang dua-duanya ada di operasional sehingga keputusan sering sulit diambil. Tapi ini sifatnya kasuistis. Di daerah lain ketika dikelola bersama sukses kok.
Mengapa serahkan ke Pertamina?
Karena BUMN itu sudah berpengalaman di operasional. Contohnya Pertamina mengambil alih lapangan gas di laut Jawa dari perusahaan asing yang telah berakhir kontraknya ternyata produksinya meningkat. BUMD dalam hal itu hanya sebagai komisaris. Begitu juga yang di laut Madura. Sukses kok. Join BUMD-BUMN tetap tapi yang operasional sebaiknya Pertamina.
Memangnya kalau asing yang mengelola itu salah?
Itu tadi kejadiannya. Pak Dahlan selaku Meneg BUMN sampai harus ngemis dapatkan gas ke kontraktor asing Britis Petrolium agar daerah Papua dapat hidup listriknya. Ini bukan salah pak Dahlan tetapi tata niaga Migas kita yang keliru. Masa pemilik ngemis kepada penyewa alias kontraktor. Ini benar-benar keterlaluan. Mestinya tata kelola dikembangkan harus mengacu konstitusi agar kita tetap berdaulat terhadap kekayaan Migas kita. Pengelolaan kuasa pertambangannya harus dikembalikan ke perusahaan negara. Kalau negara yang memegang untung untuk kita semua. sekarang yang mengelola lembaga pemerintah seperti SKK Migas. Makanya asing senang. Kalau kuasa pertambangannya adalah perusahaan negara seperti di Malaysia hasilnya bisa beda. Di Malaysia begitu kontraktor asing habis masa kontraknya langsung diambil alih Petronas.
Tapi pemerintah tampaknya membuka peluang untuk itu?
Itulah salahnya. Tata kelola Migas yang dilakukan pemerintah saat ini bertentangan dengan konstitusi. Contohnya sudah 17 pasal dalam UU Migas dicabut MK. Misalnya dibubarkannya BP Migas. Namun dibuat dalam bentuk lain yakni SKK Migas. Ini mau melenggangkan status quo keberpihakan kepada asing untuk mengeruk kekayaan alam kita. Intinya kita diperintah oleh rezim yang tidak melaksanakan amanat konstitusi Migas yang sebenarnya.
Maksudnya?
Regulasi tata laksana Migas kita keliru. Masak yang mengurusi habis kontrak perusahaan asing adalah BP Migas (dulu) sekarang SKK Migas. Itu kan lembaga negara bukan perusahaan yang bisa mengebor minyak. Maka tentu pikirannya bagaimana mau memperpanjang kontrak saja. Belajar dari kasus blok Mahakam Kaltim mau direkayasa oleh mereka untuk diperpanjang. Coba kalau diserahkan ke Pertamina tentu mereka siap mengelola untuk kepentingan negeri sendiri. Mereka punya kapabilitas untuk itu. Itu karena pemerintah dikendalikan kepentingan asing.
Riau sebagai daerah penghasil terkesan diabaikan pusat?
Daerah penghasil kerap dirugikan. Kalau itu yang keliru adalah UU dana bagi hasil berupa perimbangan keuangan pusat dan daerah. Itu harus dicabut dulu. Dalam UU itu bagian daerah dari hasil Migas hanya 15 persen. Sedangkan 85 persen diambil pusat. Padahal yang 15 persen itu berasal dari penerimaan daerah bukan pajak (PNBP). Sedangkan pajaknya 100 persen tetap saja diambil pusat. Sebagai provinsi penghasil Migas UU ini merugikan dan amat tidak adil. Para legislator Riau di DPRI harus berjuang merevisi UU ini karena tidak adil bagi daerah penghasil. Kalau DBH itu adil maka Riau bisa lebih makmur dari Malaysia.***