KIPRAH INDONESIA MENGAJAR DI PULAU BENGKALIS (1)

Mengukir Prestasi Anak Ujung Negeri

Feature | Jumat, 23 Maret 2012 - 07:27 WIB

Mengukir Prestasi Anak Ujung Negeri
Khairul (kiri) bersama pengajar muda Indonesia Mengajar Moawwanah (paling kanan) dan Kasek SDN 32 Murni (tengah), Ahad (18/3/2012). (Foto: JARIR AMRUN/RIAU POS)

Laporan JARIR AMRUN, Bengkalis

Khairul (12), anak Suku Asli yang bermukim di ujung Pulau Bengkalis, dengan kemiskinan yang menderanya, mampu menyisihkan ratusan peserta Olimpiade Sains Nasional (ONS) di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Bagi Khairul, dengan meraih juara II, merupakan kesempatan mewakili Kecamatan Bantan ke ajang OSN di tingkat kabupaten pada April mendatang. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja sulit.

Prestasi ini merupakan prestasi di tengah kemiskinan keluarganya —kedua orang tuanya merantau ke Malaysia, dia menumpang di rumah makciknya yang juga miskin—.

‘’Saya tadinya tak menyangka, dia (Khairul, red) juara II, karena pesertanya banyak ada 36 SD di Kecamatan Bantan. Dengan kondisi ekonomi keluarga memperihatinkan dia berprestasi, ternyata anak itu cerdas,’’ ujar Kepsek SDN 32, Murni SPd, kepada Riau Pos, Ahad (18/3).

Murid SDN 32, hampir 100 persen anak Suku Asli. Laboratorium belum ada, kantor juga belum ada, ditambah kondisi ekonomi orangtua murid yang hidup pas-pasan. Sementara sekolah lainnya sudah lama berdiri di Kecamatan Bantan, kondisinya lengkap, selain itu orangtua murid mereka umumnya lebih mapan dan terdidik.

Sekolah adalah sesuatu yang istimewa, sebab makciknya sendiri tak bisa baca tulis. ‘’Nengok huruf satu pun tak paham, tapi kalau duit tau,’’ ujar Dorkas (45), makcik Khairul tersenyum.

Dusun Berancah, di Kampung Sungai Liong memang dikenal dengan kemunitas Suku Asli. Kampung ini tidak banyak penduduknya, sekitar 60 KK Suku Asli. Umumnya mereka bekerja sebagai nelayan, menebang pohon bakau (itu pun dilarang), mencari siput di hutan bakau dan menganyam daun rumbia untuk dijadikan atap.

Hanya satu warga Dusun Berancah yang tamat SMA, yakni Pak RT. Sejak tiga tahun belakangan ini, anak-anak di Dusun Berancah mulai sekolah —karena berdiri SDN 32 di dusun mereka—.

Sebelumnya, mereka enggan mengirim anaknya sekolah, karena jauh —SDN 15 jaraknya 6 Km dari dusun mereka—. Selain itu anak-anak Suku Asli harus membantu orangtua mencari ikan, sekolah dianggap tidak bermanfaat karena tidak bisa menghasilkan uang seketika.

Khairul salah seorang murid angkatan pertama SDN 32, tetapi sudah berhasil mengukir prestasi yang luar biasa bagi komunitas Suku Asli di dusunnya.

Bagi keluarga yang serba lengkap, mungkin ini prestasi yang biasa, tetapi bagi anak seperti Khairul yang berasal dari keluarga buta huruf dan suku yang terbelakang, tentu ini merupakan prestasi yang cukup membanggakan warga dusunnya.

‘’Namanya juga kampung Suku Asli, tentulah miskin dan kumuh. Bahkan sering jadi ejekan orang,’’ ujar Makcik Khairul, Dorkas.

Di dusun kumuh dan miskin ini, tak hanya Khairul yang berprestasi, ada juga temannya Khairul, yakni Steven Ostin (11) berhasil meraih juara II Olimpiade Sains Kuark (OSK) tingkat Kabupaten Bengkalis dan Ringgo (10) masuk babak penyisihan OSK tingkat Kabupaten Bengkalis.

Cerita tentang Ostin, dia pun ditinggal pergi orangtuanya ke Malaysia. Ostin tinggal bersama atoknya, yang bekerja menjaring ikan. Kehidupan atoknya pun sangat memperihatinkan, apa yang didapat dari menjaring ikan hari ini, itulah untuk makan bersama, esoknya bekerja lagi menjaring ikan. Begitulah keluarga miskin ini melalui hari demi hari.

Kemiskinan yang mendera Suku Asli di tengah modernitas membuat mereka semakin terjepit. Kalau dulu menebang pohon bakau boleh, sekarang ditangkap (alasan illegal logging). Kalau dulu mengambil daun rumbia (untuk dianyam menjadi atap) di sembarang tempat dibolehkan, sekarang tidak lagi, sebab semua kebun sagu (rumbia) sudah ada yang punya. Kalau dulu ikan banyak, sekarang berkurang, sebab alat tangkap nelayan semakin canggih, sementara suku asli hanya menggunakan jaring dan sampan.

Perlu Advokasi Pendidikan

Bagaimana komentar Khairul tentang prestasinya, dia lebih banyak diam. Padahal sebelum Riau Pos menjumpainya, dia terlihat riang, kejar-kejaran dengan temannya. Apa cita-citamu Khairul tanya Riau Pos. ‘’Mau jadi guru,’’ ujarnya. Jawaban Khairul ini pun disambut tawa teman-temannya. Sebab, bagi Suku Asli, itu mustahil, karena di Dusun Berancah ini tak ada Suku Asli yang jadi PNS apalagi guru.

‘’Jangan terlalu tinggi cita-citamu Khairul, nanti tak bisa mencapainya,’’ ujar Steven Ostin, rekan Khairul, yang meraih juara II OSK tingkat Kabupaten Bengkalis. Ostin sendiri saat ditanya apa cita-citanya, dia malu menyebutkannya, takut tak tercapai. ‘’Tak usah disebut Pak, nanti tak tercapai,’’ ungkapnya dengan merendah hati.

Berbeda dengan Ringgo yang berhasil masuk babak penyisihan OSK tingkat Kabupaten Bengkalis, dia ingin menjadi orang sukses. ‘’Aku ingin jadi orang sukses,’’ ujar Ringgo, maksudnya orang sukses itu pengusaha kaya.

Keberhasilan tiga anak Suku Asli ini tak lepas dari kegigihan usaha Moawwanah, gadis manis dari Malang. Moawwanah yang bentuk tubuhnya mungil ini ternyata punya ‘mental baja’, ia berhasil menggugah komunitas Suku Asli di Dusun Berancah, Kampung Sungai Liong.

Kedatangan Moawwanah ke Dusun Berancah ini tugas sebagai pengajar muda program Indonesia Mengajar. Tantangannya sangat berat. Bagi Moawwanah yang berlatar belakang kultur Jawa dan perkotaan, tentu terheran-heran melihat tingkah anak-anak Suku Asli.

‘’Saya pertama kali datang ke sekolah ini heran. Kok anak laki berantam dengan anak perempuan saling pukul. Kok anak laki-laki tak mengalah?’’ ujarnya heran. Di sinilah tantangan awal gadis manis lulusan terbaik Universitas Negeri Malang memahami anak-anak Suku Asli itu.

Program pertama yang dilakukannya, membawa buku cerita keliling rumah penduduk Suku Asli. Moawwanah menyebutnya ‘Perling’ (perpustakaan keliling). Tujuannya, supaya mengenal keluarga masing-masing anak di Dusun Berancah itu.

‘’Orangtua punya peran penting, kalau kita sudah mengenal orang tuanya, biasanya anak itu rajin sekolah. Sebab, orangtuanya akan menyuruh anaknya sekolah, dan tak lagi diajak menjaring ikan,’’ paparnya.(bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook