Minyak goreng bisa dihasilkan secara sederhana dan dibuat di rumah-rumah. Teknologinya ada, tapi kenapa tidak bisa. Padahal Riau punya kebun sawit terbesar di Indonesia. Jika sebabnya bisa diatasi, Riau bisa miliki seribu UKM memproduksi industri hilir turunan CPO, karet atau kelapa sawit.
Laporan MUHAMMAD HAPIZ, Pekanbaru
LEBIH dari lima kali uji coba, Boby Hartanto, Toton Suptiyanto mahasiswa Akademi Komunitas Pelalawan jurusan Agro Teknologi selalu gagal. Biji pohon karet yang dihaluskan lalu direbus, tidak kunjung mengeluarkan minyak. Tapi, mereka yang dipandu dosennya Yulia Fitri tidak menyerah. Sebab mereka yakin, biji pohon karet bisa diolah menjadi minyak goreng. Terus mencoba dan mencoba, upaya merekapun membuahkan hasil. Dengan teknik tertentu, rebusan biji pohon karet yang dihaluskan berhasil mengeluarkan minyak, berwana kuning keemasan, persis seperti minyak goreng yang dijual dipasaran.
‘’Teknik perebusannya rahasia. Sebab jika salah cara perebusannya, minyak tidak keluar. Itulah yang kami alami berkali-kali uji coba. Dan setelah diteliti laboratorium, minyak goreng dari biji pohon karet ini cukup baik,’’ ucap Boby Hartanto kepada Riau Pos menunjukkan minyak goreng olahan biji karet yang sudah dikemas dan mereka beri nama Ojul di Riau Expo, Rabu (18/9). Ojul merupakan bahasa daerah Riau menyebut Biji Pohon Karet.
Aroma Minyak Goreng Ojul tidak tengik atau menyengat. Malah lebih harum dari minyak goreng dipasaran, yang kemasan sekalipun. Boby jelaskan, hasil penelitian dilaboratorium, didapati kandungan karbohidrat 15,9 persen, protein 27 persen, lemak 32,3 persen, abu 3,96 persen, minyak nabati 45,63 persen, kandungan HLB1-3 dan rendah kadar lemak jenuh. Artinya bisa disamakan dengan kualitas minyak goreng kemasan. ‘’Sudah uji coba menggoreng, hasilnya bagus. Malah bisa menggoreng kerupuk sampai tiga kali, hasilnya masih bagus,’’ jelas Boby bangga.
Apakah Ojul sudah diproduksi untuk dipasarkan? Jelas belum, sebab kata Boby masih terus dilakukan penelitian lebih mendalam. Apakah sudah dikaji nilai ekonomisnya? Boby juga ucapkan belum. Untuk menghasilkan satu liter minyak goreng Ojul, diperlukan 15-20 kilogram atau sekitar satu karung biji pohon karet yang kualitas baik. ‘’Harus biji pohon karet yang bagus, tidak busuk. Kami kumpulkan yang baru jatuh. Tapi biji karet kan selama ini dibuang begitu saja, jadi kalau dibuat minyak goreng, bisa saja nilai ekonomisnya baik. Kami terus mengkajinya,’’ papar Boby. Biji pohon karet disebutkan Boby bisa juga dimanfaatkan untuk dibuat Tempe atau briket sehingga potensi limbah biji karet bisa dimanfaatkan sedemikian rupa.
Biji pohon karet selama hanya dimanfaatkan untuk pembibitan, baik cara tanam langsung atau untuk batang bawah okulasi. Sehingga jumlah yang terpakai hanya sedikit dan yang lebih banyak terbuang. Sementara potensi perkebunan karet di Riau masih cukup tinggi. Dinas Perkebunan Provinsi Riau mencatat luas kebun karet di Riau pada tahun 2011 mencapai 498.907 hektare dengan hasil karet alam 344.538 ton/tahun. Jumlah ini terus bertambah seiring dengan ekspansi perkebunan perusahaan dan rakyat.
Jika produk minyak goreng hasil olahan biji pohon karet masih diteliti dan uji coba, beda lagi minyak goreng Ikan Terubuk yang terbuat dari biji kelapa sawit. Produk ini sebenarnya sudah siap dilepas ke pasaran. Tapi masih belum dilakukan sebab masih dibawah naungan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Ikan Terubuk akan dilepas ke pasaran atas nama masyarakat, baik perorangan maupun kelompok masyarakat. ‘’Kalau ada investor silahkan. Tapi kalau untuk memberi teknologi pengolahannya ke masyarakat, belum siap. Dana kita memproduksi alatnya masih minim,’’ ucap Sofyan Hadi, Sekretaris sekaligus peneliti Balitbang Bengkalis.
Minyak goreng Ikan Terubuk yang sudah siap dipasarkan tersebut merupakan hasil olahan ulang dari bahan dasar minyak goreng curah atau kiloan yang dijual lebih murah dipasaran. Setelah diolah menggunakan teknologi pemanasan dan pembekuan, dihasilkan minyak goreng yang berkualitas tinggi tanpa lemak jenuh. Begitupun nilai ekonomisnya, bisa bersaing dengan minyak goreng kemasan dipasaran.
Apakah tidak ada teknologi sederhana menghasilkan minyak goreng langsung dari biji kelapa sawit? Sofyan Hadi memastikan ada. Tapi masih disempurnakan. Kata Sofyan Hadi, mereka tengah fokus mengerjakan teknologi sederhana penghalus biji kelapa sawit kemudian menjadi Crude Palm Oil (CPO), lalu diturunkan salah satunya menjadi minyak goreng. ‘’Kami lagi jalan. Memang berat. Ada alat pengupas sawit, terus disempurnakan. Kajian terus karena merekayasa. Dan belum ada industri rumahan. Sekarang masih prototipe,’’ papar Sofyan Hadi yang juga menemukan bahan bakar alternatif dari Nira Nipah ini.
Alat sederhana mengolah biji kelapa sawit menjadi minyak goreng sebenarnya sudah ada dan dipatenkan di Indonesia. Tepatnya di Musirawas, Sumatera Selatan, seorang tamatan sekolah tinggi teknologi Yogyakarta, Eriyanto, telah menciptakan alat sederhana mengolah biji kelapa sawit menjadi minyak goreng dalam waktu 3 jam sekitar tahun 2010 lalu. Alat tersebut dirancang portable dan bisa dijadikan industri rumahan. Namun entah kenapa, alat tersebut tidak beredar dipasaran.
‘’Sebenarnya mengolah sawit menjadi minyak goreng tidaklah sulit. Hanya saja membuat peralatan teknologi sederhananya perlu kita sempurnakan dan sudah 50 persen. Tapi kalau teknologi menjadikan minyak goreng dari CPO atau minyak goreng curah, alat kita sudah siap. Ini kan salah satu upaya untuk menjawab tantangan menciptakan produk hilir dari Sawit,’’ ucap Sofyan Hadi singkat dan meyakinkan.
Jika peralatan sederhana level industri rumahan mengolah kelapa sawit dan biji karet berhasil diciptakan yang notabene murah, maka akan mungkin Riau memiliki banyak usaha kecil menengan (UKM) yang memproduksi minyak goreng. Dan tentunya akan menjadi potensi ekonomi besar dan diproyeksi ikut mengangkat derajat ekonomi masyarakat. Apalagi disaat harga sawit turun untuk dijual ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang mengolah menjadi CPO, alternatif bisa diambil masyarakat dengan mengolah menjadi produk turunan seperti minyak goreng dengan skala rumahan.
Almasdi Syahza, pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Riau dalam ulasannya di Pusat Pengkajian Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Unri menyebutkan konsumsi minyak goreng Riau 43.627 ton pertahun atau 3.635 ton perbulan dan sebanyak 2.908,5 ton dikonsumsi oleh masyarakat menengah kebawah. Angka tersebut dihitungnya berdasarkan jumlah penduduk tahun 2005 lalu yang berjumlah 4.614.532 jiwa. Sementara jumlah penduduk Riau tercatat tahun 2012 sudah mencapai 5.538.367 jiwa. Artinya, akan sejalan dengan meningkatnya konsumsi minyak goreng lokal. Diproyeksikan, ulas Almasdi, guna memenuhi kebutuhan konsumsi minyak goreng masyarakat Riau itu, diperlukan setidaknya 7 unit pabrik dengan kapasitas 1,5 ton/jam.
Hingga 2013 ini sudah berapa banyak pabrik kelapa sawit di Riau? apakah sudah ada skala industri kecil? jawabannya dari data kementerian perindustrian hanya ada satu perusahaan multinasional memproduksi minyak goreng di Kota Dumai yaitu PT Wilmar dan belum ada sama sekali industri rumahan.
Padahal, potensi perkebunan sawit Riau sangat besar dan terbesar di Indonesia. Malah, Riau sudah mengalahkan Malaysia dalam hal jumlah lahan perkebunan sawit. Luas kebun kelapa sawit Riau sudah mencapai 2.256.538 hektare atau 25 persen dari total luas perkebunan Indonesia. Penambahan signifikan perkebunan sawit di Riau itu, seiring dengan terjadinya ‘’demam sawit’’ di Riau dimulai tahun 2000 lalu.
Dengan angka itu, produksi CPO yang dihasilkan mencapai 7.045.632 ton/tahun dan pabrik kerjasama operasional tercatat 1.761.408 ton/tahun. Sayangnya, 80 persen atau lebih CPO yang dihasilkan diekspor ke luar negeri sehingga tak salah akibatnya nasib petani Riau ditentukan negara lain sebab harga beli ditentukan oleh pasar Internasional yang berpusat di Belanda.
Kepala Dinas Perkebunan Riau H Zulher menyebutkan bahwa upaya untuk menghasilkan produk turunan dari CPO dengan basis industri lokal, terus digalakkan. Potensi produksi CPO yang sangat besar itu, kata dia, harus cepat diambil manfaat oleh Riau. Tentang belum adanya rill industri hilir, Zulher berucap bahwa perlu tahapan untuk mencapainya.
‘’Ini kan seiring dengan program Kementerian Perindustrian yang mendorong percepatan industri berbasis hilir dan sudah dicanangkan dalam MP3EI. Kita terus mendorongnya dan berupaya,’’ ujar Zulher.
Walaupun Riau punya potensi perkebunan sawit terbesar dan hasil CPO yang besar pula tapi tanpa adanya regulasi yang jelas tidak akan bisa memberi manfaat bagi masyarakat Riau sendiri. Pandangan ini dikemukakan Direktur Eksekutif Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Riau, Muhammad Erwan. Menurutnya, luas perkebunan sawit di Riau masih didominasi perusahaan nasional dan asing, begitu pula dengan produk CPO yang dihasilkan juga diekspor ke luar negeri.
‘’Tapi bila kita punya regulasi, katakanlah semacam Perda, CPO yang dihasilkan bisa diwajibkan disisihkan untuk kebutuhan lokal. Sebutlah misalnya 20 persen. Alokasi ini bisa mensupport dan menjamin ketersediaan pasokan untuk menciptakan produk hilirnya. Tapi apakah kita sudah bisa menciptakan produk hilirnya? Apakah industri hilir yang digadang-gadang itu punya konsep atau grand design? sampai saat ini tidak ada kan,’’ kata Erwan.
Jika grand design ekonomi Riau yang bersinergi antara Provinsi dan Kabupaten/kota tidak ada, lanjut Erwan bagaimana mau berangan-angan akan adanya industri hilir atau bahkan akan munculnya seribu industri rumahan yang memproduksi produk turunan dari Sawit, Karet atau Kelapa. Termasuk sebutnya, adanya teknologi sederhana yang dapat dipakai masyarakat secara luas memproduksi produk turunan atau hilir, akan bisa diwujudkan jika didorong oleh pemerintah.
‘’Jika peralatan sederhana muncul, tapi pasokan bahan baku sebutlah CPO sudah diekspor semua, sama saja tidak kan. Nah, di dalam grand design yang bisa berwujud produk hukum itulah nanti yang terkonsep mau dibawa kemana ekonomi Riau ini. Dan UKM yang memproduksi produk turunan, akan ribuan jumlahnya. Atau di tiap desa, minimal untuk konsumsi sendiri, bisa membuat minyak makan terhadap pokok kelapa sawit di depan rumah, tidak perlu membeli lagi,’’ tuturnya.
Produk dari CPO bisa dijadikan 100 lebih turunan dan Malaysia sudah mencapainya. Sedangkan Indonesia baru mencapai 47 produk turunan. Selain minyak goreng, CPO bisa dijadikan industri sabun, pelumas, industri tekstil, kosmetik, bahan bakar biodiesel dan produk kimia. Jika pemerintah, dalam hal ini daerah jeli, maka rencana regulasi untuk produk hilir, bisa diarahkan apa produk perusahaan skala kecil dan skala besar.
‘’Bisa diarahkan dalam grand design, jika produksi minyak goreng atau lainnya bisa skala kecil, maka perusahaan besar rangsang untuk mendirikan produk turunan yang lebih sulit misalnya kimia. Tinggal diarahkan, libatkan stakeholder dan mau melakukannya secara serius. Tidak sekedar seremonial dan tanda tangan mengisi daftar hadir rapat saja,’’ kritik Erwan.
Bagaimana dengan kemungkinan produk turunan dari potensi karet dan kelapa di Riau. Sama halnya dengan sawit, karet alam akan memiliki nilai ekonomis tinggi jika mampu diolah dalam skala lokal. Karet alam bisa dikembangkan menjadi industri manufaktur dan seluruh bahan baku yang dibutuhkan pasar otomotif. BEgitu juga dengan kelapa, industri turunannya bisa dibuat menjadi kosmetik, obat-obatan dan kebutuhan industri lainnya bahkan sabutnya bisa dijadikan produk industri.
‘’Harus dari sekarang bergerak dan kongkrit. Kalau tidak, hasil alam kita hanya memenuhi kebutuhan luar negeri dan kita beli barang jadinya. Kita akan rugi terus. Hasil minyak bumi kita semakin menipis dan jika tidak berhasil menciptakan sumber ekonomi baru, maka kemiskinan akan bertambah dikemudian hari,’’ tutup Erwan.**