Menjadi buruh angkut gerobak tentu bukanlah pilihan hidup. Namun dengan pekerjaan itu pulalah mereka bisa meneruskan hidup dan cita-cita anak untuk melanjutkan pendidikan.
Laporan ERWAN SANI, Bagansiapi-api
erwansani@riaupos.co
AIR bercampur tanah kekuning-kuningan sedalam mata kaki orang dewasa terus mengalir di antara tumpukkan batang kayu api-api. Pemandangan ini terlihat di alur anak sungai berdekatan dengan pelabuhan internasional Kota Bagansiapi-api.
Batang kayu api-api berukuran panjang 4 meter dan berdiameter 5-8 inchi yang jumlahnya ratusan tual tersebut semuanya diselimuti lumpur. Sehingga batang kayu yang dimanfaatkan untuk pembuatan cerocok tersebut tak terlihat lagi kulit aslinya tapi hitam dan berlumpur. Bukan diselimuti lumpur saja, akan tetapi puluhan batang kayu api-api terbenam pada dasar anak sungai tersebut. Dengan susah payah dua orang buruh untuk menarik dan mengeluarkannya dari lumpur yang dalamnya selutut orang dewasa.
Untuk menarik satu batang kayu api-api cukup panjang tersebut bisa menghabiskan waktu 2-5 menit baru bisa tiba di atas gerobak yang terletak di ujung jalan aspal pada pelabuhan yang sejak pagi terlihat sepi. Hanya satu dua polisi perairan keluar masuk posnya dan para buruh galangan kapal milik Gih Huan yang terlihat ramai lalu lalang di jalan.
‘’Inilah kerjo kami ko, kalau kayu loban (leban,red) tak didopek lagi,’’ kata Rahman salah satu buruh angkut kayu kepada Riau Pos saat itu, sambil membersihkan tangan dan bajunya yang terkena lumpur dari batang kayu api-api.
Batang demi batang kayu api-api dinaikkan ke atas gerobak bersama temannya Iwa (36). Menurut mereka gerobak yang dipakainya sebagai alat transportasi angkut itu bisa mengangkut kayu seberat satu ton. Memakan waktu lebih satu jam, akhirnya tibalah pada kayu terakhir pada hitungan ke 24 batang.
Usai menaikkan kayu tersebut, dengan susah payah Rahman dan Iwa berupaya mengangkat tangkai gerobak terbuat dari kayu untuk diletakkan pada jok sepeda motor miliknya. Beberapa kali ia mencoba mengangkat berdua, tapi sayang tak terangkat juga. Akhirnya Riau Pos berupaya membantu kemudian baru bisa meletakkan pegangan gerobak ke atas jok sepeda motor, dan dengan cekatan Rahman mengikatnya dengan beladar (karet dari ban bekas dalam sepeda motor).
Menurut Rahman (45) pekerjaan sebagai buruh tentu sangat berat saat sekarang. Pasalnya kayu atau barang yang mau diangkut sangat terbatas. ‘’Dulu hampir setiap hari buruh mengangkut kayu loban untuk gading-gading kapal. Tapi sekarang kayu leban payah didapat akhirnya berpindah mengangkut kayu cerocok berasal dari batang kayu api-api,’’ jelas Rahman dan diiyakan Iwa yang saat itu berupaya membersihkan lumpur dari baju dan tangannya.
‘’Kalau dah ngangkat kayu cerocok siaplah baju kotor dan berlumpur,’’ lanjut Iwa saat itu.
Bekerja sebagai buruh angkut menggunakan gerobak tentunya tak setiap hari ada. Jadi ada musimnya juga, jika ada orang mau membangun ruko atau membangun rumah permanen nasib elok disuruh mengangkut kayu cerocok mereka.
‘’Jadi kita bersaing juga. Kalau tukang tebang kayu cercocok atau api-api orang kita kenal bisalah kite ngambik upahnya. Kalau tidak sulitlah mungkin dapat orang lain,’’ ucap Rahman yang memiliki enam anak dan tiga masih bersekolah.
Menjadi buruh bukan pilihan, tapi pekerjaan lain tak ada, kata Rahman, tentu mau tak mau harus bekerja dan untuk hidup. ‘’Paling tidak sekali angkut dapatlah untuk membeli beras dan sisanya untuk biaya anak sekolah,’’ ucapnya.
Sebagai buruh angkut kayu untuk bangunan berupa cerocok baik berasal dari batang api-api, bakau maupun mahang per batang biasanya diberi upah sebesar Rp3.000. Sedangkan untuk penebang per batang dibayar sebesar Rp15.000. ‘’Kalau nebang api-api dari pulau seberang sampai ke sini per batangnya berkisar Rp15.000 bahkan bisa lebih,’’ lanjutnya.
Jadi kalau satu tarik bisalah tergaji sebesar Rp30-35 ribu per orang. ‘’Kayu kita angkat kan sebanyak 25 batang di kali Rp3.000. Jadi lumayanlah,’’ tegasnya. Bekerja sebagai tukang angkut kayu menggunakan gerobak bergaji per harinya Rp60-70 ribu. Jadi cukup lumayanlah untuk tambahan belanja di rumah dan untuk membayar SPP anak dan keperluan sekolah lainnya.
Untuk bekerja sebagai penarik gerobak tentu tak bisa dipaksanakan. Dalam satu hari paling tinggi tiga trip kuatnya. Pertimbangannya jauh dekat lokasi tempat mengantar kayunya. Kalau lokasinya hanya dua tiga kilometer bisalah sampai lima trip. Tapi kalau belasan kilo, paling kuat satu hari dua kali. ‘’Itupun tergantung ketahanan berobak dan tenaga kite,’’ ucapnya.
Namun untuk buruh menurut dia tak akan pernah berhenti. Pasalnya saat sekarang pembangunan Kota Bagansiapi-api terus berjalan. Jikalau tak bisa mengangkut kayu cerocok bisa juga mengangkut batu bata, kerikil dan pasir. ‘’Jadi untuk buruh saat sekarang bisalah cari makan,’’ jelasnya.
Ditanya mengapa tak mau bekerja membuat kapal atau nelayan. Dengan tegas Rahman dan Iwa mengatakan mereka sebelumnya merupakan mantan nelayan. Akan tetapi semakin minimnya pendapatan akhirnya beralih kerja di darat. ‘’Kerja di laut hanya habis untuk modal dan makan saja tak bisa lebih,’’ lanjutnya.
Berkaitan mereka tak bekerja di galangan kapal, karena para tauke lebih memilih pekerja dari luar bagan. Menurut mereka masalah gaji tak jadi persoalan bagi buruh luar tersebut dan mengatakan kalau orang tempatan tak mau kerja malas. Padahal, kata Rahman itu salah, warga tempatan sebenarnya mau bekerja tapi karena mereka tak mau diperbudak dengan gaji tak wajar akhirnya tak mau bekerja di galangan kapal.
‘’Kalau gaji Rp80-100 ribu per hari lebih baik kito kerja di galangan kapal. Tapi terkadang tak segitu tentu warga tak mau,’’ tegasnya.
Selain bekerja sebagai buruh angkut gerobak, Rahman juga menegaskan kalau dirinya bersama istri dan anak-anak mereka menanam padi di daerah Sinaboi. Untuk penghasilan padi tersebut bisalah untuk makan. Sedangkan penghasilan buruh bisa untuk keperluan lainnya dan anak sekolah.
Keberadaan buruh menurut Yusuf, salah seorang warga yang tinggal tak jauh di daerah pelabuhan sangat diperlukan. Kalau tak ada mereka tentu untuk mengangkut kayu, barang-barang berupa ikan kering dan lainnya dari Pulau Halang, Panipahan tentu sulit untuk diangkut. ‘’Truk memang ada, tapi warga lebih memilih gerobak, jadi bisa masuk ke gang-gang rumah. Tahu sendirilah di Bagansiapi-api ini banyak gang-gang,’’ tegasnya.
Papan dan Gading-gading, Sumber Pendapatan
Sulitnya mendapatkan kayu leban yang dipergunakan untuk gading-gading kapal atau kerangka kapal sangat berpengaruh terhadap pendapatan para buruh angkut gerobak di Bagansiapi-api. Dulu pada umumnya kayu gading-gading didatangkan dari beberapa daerah seperti tanah merah, bantaian dan lainnya. Tetapi sekarang sangat sulit didapatkan. Akhirnya para buruh gerobak mencari pekerjaan lain terutama menjadi buruh angkut, kayu cerocok, pasir dan kerikil. ‘’Tapi itu sangat terbatas,’’ kata Rahman.
Pernyataan sulitnya mendapatkan kayu leban dibenarkan tauke pemilik galangan kapal Gih Huan. Menurut arsitek kapal nelayan asal Bagansiapi-api ini untuk memenuhi keperluan satu kapal saja mencari kayu leban kemana-mana, terutama di perkampungan sepanjang Sungai Rokan. ‘’Terkadang itu juga payah dan tak bisa dipenuhi dalam waktu satu dua bulan. Makanya jangan heran kalau bahan untuk pembuatan kapal kita sering kekurangan,’’ lanjut Gih Huan.
Bukan gading-gading saja untuk mendapatkan papan untuk membuat badan kapal juga sangat sulit. ‘’Jadi apa dikatakan para pekerja pengangkut kayu menggunakan gerobak itu benar. Karena mereka tak bisa mengangkut kayu leban dan papan lagi. Susah kita nak dapatkan. Kalaupun ada dari sisa hutan orang membuka kebun sawit,’’ jelasnya. Untuk papan-papan, gading-gading dan lunas kapal biasanya mengangkutnya menggunakan gerobak sampai di galangan kapal. Dan biasanya diberikan upah hitungannya per ton, atau per batang. ‘’Tapi biasanya pakai ton. Jadi mudah menghitung biayanya,’’ kata Gih Huan.***