MELIHAT PARA PEMILIK KAPAL DI TELUK PAMBANG

Beralih Angkut Pasir dan Kerikil

Feature | Minggu, 22 Januari 2012 - 09:05 WIB

Beralih Angkut Pasir dan Kerikil
Kapal milik warga mengangkut ojol atau hasil panen getah yang akan dijual pada penadah atau tauke di pinggir Sungai Kembung Luar, Kampung Teluk Pambang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis. (Foto: GEMA SETARA/RIAU POS)

Agar bisa tetap melanjutkan perekonomian masyarakat, warga di Kecamatan Bantan khususnya Kampung Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis memilih bekerja sebagai mengangkut bahan material pasir maupun kerikil. Karena material berupa pasir dan kerikil jadi keperluan mendasar pembangunan daerah pulau dan pantai seperti di Kabupaten Bengkalis.

Laporan ERWAN SANI, Bengkalis

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

BERJALAN sambil melihat pemandangan di Jembatan Sungai Kembung Luar mata Anda akan disugguhkan hijaunya batang mangrove dan air sungai. Selain pepohonan tersebut mata juga disugguhkan deretan kapal nelayan dan kapal kargo milik warga Teluk Pambang dan Kembung Luar.

Kapal-kapal bersandar di dermaga kecil milik masyarakat di pinggir Sungai Kembung ini pada umumnya kapal-kapal kargo yang melakukan lintas batas, pengangkut pasir dan kerikil, kelapa bulat maupun ojol (karet). Bahkan proses bongkar muat sering dilakukan di dermaga kecil tersebut.

‘’Kapal-kapal yang bersandar ini pada umumnya untuk berangkat menuju Tanjung Balai Karimun dan Pulau Rupat,’’ jelas H Yusuf yang juga kapalnya membawa pasir untuk keperluan pembangunan di Kampung Teluk Pambang.

‘’Dari pada lapuk tentu lebih baik dimanfaatkan untuk mengangkat pasir dan kerikil,’’ lanjutnya.

Saat Riau Pos tiba di pinggir Sungai Kembung Luar beberapa waktu banyak kapal yang bersandar dengan muatan pasir maupun kerkilil. Ada juga kapal yang bermuatan kelapa bulat maupun kopra.

Arus perdaggangan dari Sungai Kembung Luar ini sudah terjadi sejak lama. Karena dulunya dengan bermodalkan KTP saja bisa melakukan ekspor-import barang. ''Pertukaran barang dengan Malaysia sudah terjadi sejak lama. Tapi aturan sekarang kita tak sebebas dulu,'' kata Sani yang juga mantan Nakhoda kapal yang keluar masuk Batu Pahat, Melaka, Muar dan Singapura.

Bahkan dulunya, kapal-kapal yang ada mengangkut arang bakau ke negeri jiran, Malaysia dan Singapura. ''Kalau sekarang sudah sulit keluhnya. Makanya tak sedikit kapal beralih mengangkat pasir dan kerikil,'' lanjutnya.

Karena aturan dan pengawasan sudah maksimal, makanya saat sekarang dapur arang (panglong arang) sudah banyak yang tutup. Ini dikarenakan penebangan bahan baku kayu bakau dan nyirih sudah dilarang oleh pemerintah. Sedangkan untuk memajukan perekonomian masyarakat setempat terutama warga Kampung Teluk Pambang saat sekarang membawa bahan baku berupa kelapa bulat dan kopra melalui lintas batas. Namun dari besarnya biaya dikeluarkan membuat para tauke atau pemilik kapal pompong untuk tidak mau melanjutkan karena sering tak balik modal.

Oleh sebab itu, menyikapi agar kapal dibawah 35 GT agar terus beroperasi dan tidak lapuk dimakan kapang karena bersandar di dalam aliran sungai maka pemilik kapal berinisiatif menggunakan kapal untuk mengangkut material berupa pasir dan kerikil. Untuk mengangkut material bangunan berupa pasir dan kerikil ini juga memakan waktu satu pekan lamanya. Karena rata-rata proses pemuatan pasir untuk masuk ke dalam lambung kapal memakan waktu 3-4 hari.

''Sekarang kerje payah kat kampung ini. Jadi anak buah kapal (ABK) atau mengambil buruh bongkar pasir dan kerikil dah mantap,'' kata Ismail warga Pambang kepada Riau Pos.

Menurutnya, dulu zaman jayanya Teluk Pambang, bisa berulang mandi ke Batupahat Johor Malaysia, karena saat itu semokie masih bisa. ''Kalau sekarang dah tak bisa lagi, dah dijage ketat pemerintah,'' jelas warga yang sekarang sudah mulai mencari kerjaan lain seperti menakik pohon karet ataupun menjual es potong.

Dikatakannya, sesekali dirinya ikut menjadi anak buah kapal untuk mengambil pasir di daerah Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau maupun daerah Pulau Rupat. Akan tetapi karena menyita banyak waktu dan gaji selama sepekan hanya Rp400 ribu makanya dia lebih memilih menakik pohon karet atau menjual es potong. ''Tapi kalau musim hujan mau tak mau ambil upah bongkar pasir maupun belayar (jadi anak buah kapal) ke Tanjung Balai maupun Rupat,'' jelasnya.

Untuk menebang bakau tak memungkinkan lagi, karena untuk saat sekarang pohon bakau dipelihara masyarakat. Kalaupun boleh menebangnya kalau sudah cukup usia yaitu ukuran 3-4 inci. Kayu bakau itupun hanya untuk keperluan bahan bakar terutama kayu api.

Ia juga menerangkan untuk menjadi kapten kapal ataupun ABK tak bisa sembarangan sekarang. Menurutnya, jika kapal tak memiliki surat lengkap bisa ditangkap aparat kepolisian atau KPLP. ''Padahal kita tahu tak semua masyarakat mampu untuk membuat surat izin pelayaran atau lainnya. Karena terdesak terkadang kita langsung berangkat atau adu nasib saja. Tak jarang kapal-kapal yang membawa pasir ditangkap pihak kepolisian air, karena tak memiliki izin,'' tegasnya.

Pasir dan Kerikil untuk Pembangunan

Sebagai daerah pulau terutama di Pulau Bengkalis barang-barang material untuk pembangunan jalan, darinase dan juga bangunan sekolah segala macamnya memerlukan pasir dan kerikil. Jadi biar pelaksanaan pembangunan di Pulau Bengkalis berjalan lancar salah satunya harus mendatangkan pasir, kerikil dari dua daerah, terutama dari Tanjung Balai Karimun dan Pulau Rupat yaitu di Tanjung Kapal.

Namun untuk mengambil pasir dari dua daerah ini masyarakat tak bisa mengambil begitu saja tetap saja melalui beberapa rintangan. Mulai pemeriksaan ketat dari pihak kepolisian air hingga harus melapor ke KPLP terkait berbagai izin pelayaran. ''Padahal kami mengambil pasir untuk keperluan pembangunan di Bengkalis ini, terutama pembangunan jalan dan juga bangunan sekolah. Kita di Bengkalis ini pasir dan kerikil mane ade,'' kata Kamar salah satu ABK kapal di Teluk Pambang.

Untuk itu dia berharap berkaitan dengan keperluan pembangunan, janganlah para pemilik kapal di persulit. Sebab yang didapatkan dari pasir dan kerikil diangkut menggunakan kapal itu labanya tak seberapa. ''Kalau diitung untung berapalah. Karena minyak untuk operasional pulang pergi dan upah bongkar muat sudah pas-pasan. Kalau itung gaji paling tinggi Rp400 ribu untuk kapten kapal, sedangkan anak buah kapal paling tinggi Rp250 ribu per trip,'' lanjutnya.

Pada umumnya untuk pembangunan daerah Kecamatan Bantan, terutama dari Bantan Tengah, Bantan Air, Muntai, Teluk Pambang, Kembung Luar, Teluk Lancar hingga Ketam Putih warga mendatangkan pasir dan kerikil dari Tanjung Balai Karimun dan Pulau Rupat.

Makanya jika terjadi kendala atas pasokan pasir dan kerikil di Pulau Bengkalis, dirinya yakin proses pembangunan terkendala. Ini dibuktikan terjadi pada tahun 2011 lalu. Akibat material seperti kerikil terbatas pasokannya akhirnya banyak proyek fisik berhubungan dengan dua material itu terkendala.

Untuk bahan bangunan yang lain seperti semen, batu, besi dan lainnya tak jadi persolahan. '' Hanya kami kesulitan mendapatkan pasir. Hari ini tukang terpaksa tidak bekerja, karena pasir belum  datang," ujar salah seorang kontraktor yang mengerjakan proyek jalan di desa Muntai tahun 2011 lalu.

Di Desa Muntai tahun 2011 lalu, setidaknya ada dua pekerjaan yang terhenti sementara karena rekanan kesulitan mendapatkan pasir. Kondisi tersebut turut dibenarkan oleh salah seorang tukang yang mengerjakan parit beton di Kecamatan Bengkalis.

"Dah beberapa hari ini kami tak kerja, soalnya pasir tak datang," ujar Iwan beberapa waktu lalu.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook