MASA DEPAN SUKU DUANU DI RIAU

Sebuah Tamsil Melawan Kepunahan

Feature | Minggu, 21 Juli 2013 - 08:27 WIB

Sebuah Tamsil Melawan Kepunahan
Dua nelayan suku Duanu di Desa Sungai Laut Kecamatan Tanah Merah, Inhil, terlihat sedang bersiap untuk melaut. Foto diambil Rabu (16/5/2013) lalu. Foto: hary b kori’un/riau pos

Jika bahasa Duanu punah, maka akan punah juga suku tersebut. Perlu upaya untuk melawan kepunahan salah satu suku Melayu Tua ini.

----------------------------

Laporan HARY B KORI’UN, Kuala Enok

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

DESA Sungai Laut sudah di depan mata ketika boat kecil yang kami tumpangi kandas karena air laut surut. Leman, sang pengemudi boat, berusaha tenang, dan dengan pelan-pelan tetap menghidupkan mesin boat. Beberapa saat kemudian suara mesin seperti terbatu-batuk, lalu dia mematikan mesin dan berjalan ke belakang. Dia turun ke air. “Ada sampah plastik yang masuk ke baling-baling,” ujarnya setelah naik lagi ke boat, Rabu (15/5/2013) lalu. Katanya lagi, ketika air surut seperti ini, baling-baling boat yang kandas dengan lumpur, sering harus “berurusan” dengan sampah plastik dan membuat lajunya melambat atau malah mati.

Perjalanan memang harus dihentikan. Boat benar-benar tak bisa menembus air dangkal yang dalamnya tak sampai satu meter itu. Harus menunggu hampir setengah jam sampai pasang naik, dan boat kami –juga beberapa boat lainnya yang menuju Sungai Laut—  harus terombang-ambing dalam keadaan mesin mati. Padahal dalam jarak pandang sekitar tiga kilometer, sudah terlihat rumah-rumah panggung yang atap sengnya memantulkan sinar matahari. Juga terlihat jelas sebuah menara milik salah satu operator seluler yang menjulang tinggi dan menjadi pemandangan yang sangat dominan.

Perjalanan yang melelahkan dan menguras energi untuk bisa sampai ke Sungai Laut, sebuah desa di Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) ini. Sebuah desa terpencil yang letaknya berada di sebuah ceruk anak sungai tak jauh dari Laut Indragiri, yang seolah-olah menjadi desa tunggal di sana karena memang tak terlihat desa lain di dekat desa itu. Desa terdekat adalah Tanjung Pasir dengan jarak tempuh sekitar setengah jam memakai boat. Namun desa itu juga tak terlihat dari Sungai Laut, karena berada di sebalik Pulau Air Tawar tempat Sungai Laut berada.

Untuk sampai ke Sungai Laut, harus berangkat malam dari Pekanbaru menggunakan travel sekitar 7-8 jam, dan Subuh sampai di pelabuhan Tembilahan (sekitar 319 km). Istirahat sebentar sambil sarapan di sebuah kedai di pinggir Sungai Indragiri, perjalanan dilanjutkan menuju Kuala Enok menggunakan boat yang agak besar, bermuatan 30-40 penumpang dengan waktu tempuh 1-2 jam. Jalur air menjadi satu-satunya akses menuju Kuala Enok dan daerah-daerah lainnya di kawasan Tanah Merah.

Ketika boat merapat di Pelabuhan Kuala Enok –ibu kota Kecamatan Tanah Merah—  waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Tak ada boat yang langsung bisa berangkat ke Sungai Laut, karena pada jam-jam tersebut, air sudah mulai surut. Tak ada pilihan lain, harus menunggu hingga sekitar pukul 13.00 WIB atau lebih, baru ada boat yang bisa berangkat. Mujur kalau ada tempat duduk  yang kosong karena tak banyak boat yang berangkat dari Kuala Enok ke Sungai Laut. Banyak warga Sungai Laut yang pergi ke Kuala Enok untuk berbelanja harian atau keperluan lain, sehingga harus berebut tempat duduk di boat. Karena tak dapat tempat duduk, Riau Pos dan dua peneliti dari Balai Bahasa Provinsi Riau, Dessy Wahyuni SS MPd dan Sarmiati SS, plus Rosmawati, warga Duanu di  Sungai Laut, harus menyewa satu boat milik Leman. Ternyata, meski sudah lebih  pukul 14.00 WIB kami sampai di lautan depan Sungai Laut, air belum pasang juga. Jadilah boat kami terombang-ambing hampir 30 menit di atas air laut dangkal.

Tak jauh dari boat kami yang terdampar, terlihat hamparan luas tanah lumpur yang jauh dari pohon-pohon bakau. Kata Leman, hamparan luas itu muncul ketika air surut, dan sekitar jam 4 sore saat air pasang, hamparan tanah itu lumpur itu akan tertutup air laut lagi hingga mencapai pohon-pohon bakau. Di hamparan tanah lumpur itulah terlihat beberapa orang sedang menongkah kerang, sebuah pekerjaan rutin masyarakat di Desa Sungai Laut, terutama Suku Duanu. Dengan sepotong papan panjang sekitar 2-2,5 meter mirip papan selancar, mereka mencari kerang dengan cara yang khas. Papan tersebut dijadikan penopang tubuh mereka agar tak terjebak lumpur, sekaligus alat transportasi untuk mengambil kerang-kerang yang banyak terlihat di lumpur.

Menongkah kerang ini sudah menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Duanu. Jika sedang musim kerang, mereka akan dapat hasil yang melimpah dan tentu saja pendapatan yang tinggi. Sekali menongkah, jika sedang musim kerang, satu orang bisa mengumpulkan lebih 100 kg. Jika harga kerang bertahan Rp8.000 di tingkat pengumpul, maka uang Rp800.000 sudah masuk kantong. Itu makanya, banyak keluarga Duanu yang lebih memilih membiarkan anak-anaknya menongkah kerang ketimbang pergi ke sekolah.

Setelah air laut mulai naik  —meskipun belum terlalu besar— dan boat bisa berjalan meski pelan-pelan, perjalanan dilanjutkan. Jarak yang sebenarnya hanya sekitar 3 km itu ditempuh lebih 15 menit karena beberapa kali lumpur masih sering mengandaskan baling-baling boat. Sesampai di Sungai Laut, kami tinggal di rumah keluarga Sadin-Nurhayati (bapak dan ibu Rosmawati), salah satu keluarga Duanu yang lumayan disegani di Sungai Laut karena beberapa anaknya berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan polisi.

***

LELAKI tua itu memperkenalkan namanya: Batang. Dia lupa nama panjangnya. Ketika ditanya berapa usianya, dia menyebutkan angka 90 tahun. Kondisi tubuhnya memang sangat renta.  Nafas sudah megap-megap,  hampir semua giginya sudah habis, memakai kacamata tebal, suaranya yang sudah tidak jelas saat bicara membuat dia jadi benar-benar susah bernafas karena harus mengatur sirkulasi udara di hidungnya dan suara yang keluar dari mulutnya. Memakai celana pendek dan baju warna coklat lusuh, Batang memang benar-benar telihat sangat tua. Dia sudah tak bisa berjalan tegak. Untuk sampai ke rumah  tetangga, atau saat ke rumah kepala desa, Batang harus digendong atau jalan ngesot. Namun dia terlihat tetap bersemangat ketika ditanya tentang sukunya, meski memang terlihat kepayahan.

Batang adalah orang Duanu paling tua di desanya, meski tak lahir di desa tersebut. Batang lahir di Desa Concong, salah satu desa yang juga dihuni mayoritas orang Duanu. Menurut Batang, dia mulai masuk ke Sungai Laut setelah Indonesia merdeka, dibawa oleh ayahnya. Bersama empat saudara sang ayah, mereka tinggal di Sungai Laut yang mulanya hanya dijadikan tempat untuk mencari air tawar untuk bekal di laut, dan untuk berlindung dari badai yang sering datang. “Biasuken musem utaru gelumbang kuet (biasanya musim utara gelombang kuat, red),” ujarnya terbata, Kamis (16/5/2013). “Dulu kampung ini jauh di belakang. Setelah sungai mengalami pendangkalan, tahun 1980-an kami pindah ke sini, agar tetap berada di pinggir laut.”

Batang masih bisa berbahasa Duanu dengan baik. Dia masih bisa melafalkan kata-kata seperti menjit (menjahit), dola’ (laut), kum (kami), betala’ (berkelahi) dan kalimat tentang musim utara tersebut. Tetapi, karena artikulasinya sudah tak jelas, dia dibantu melafalkan oleh Baim, yang umurnya 20 tahun lebih muda darinya. Keduanya saling bergantian bicara. Kalau suara Batang tak jelas, Baim yang menjelaskan.

Warga lain seperti Dawiyah (80), Yusuf (60), Gunawan (60), dan beberapa nama lainnya yang seumuran mereka, adalah saksi bagaimana mereka membangun kampung mereka, Sungai Laut, yang dulu memang hanya dihuni orang-orang Duanu, sampai kemudian datang suku lain dan hidup berdampingan dengan mereka. Di tahun 1960-an sampai 80-an, bahasa yang digunakan di kampung sesama mereka adalah bahasa Duanu. Tetapi, lama-lama, ketika banyak suku yang datang dan tinggal menetap, dan banyaknya orang Duanu yang pergi ke tempat lain, bahasa ibu tersebut pelan-pelan ditinggalkan. Mereka mengaku tak ada paksaan dari pemerintah untuk tinggal di darat, karena mereka sendiri yang membangun kampung di darat.

“Kami tak bisa memaksakan anak-anak kami untuk tetap bicara dengan bahasa kami, karena zaman sudah berkembang,” ujar Yusuf yang diamini oleh yang lainnya. Menurut Yusuf, itu adalah perjalanan zaman. “Zaman telah berubah,” jelasnya lagi.

Dari beberapa warga Duanu yang ditemui Riau Pos, kebanyakan mereka menggunakan bahasa Melayu dan Indonesia dalam percakapan sehari-hari, baik saat berbicara sesama orang Duanu maupun dengan suku lain. Anak-anak muda usia belasan sampai dua puluhan malah banyak yang tak bisa berbahasa Duanu sama sekali.

Keluarga Sadin-Nurhayati juga demikian. Di rumah, mereka tak lagi menggunakan bahasa Duanu, sudah memakai bahasa Indonesia. Rosmawati (37  tahun), anak ketiga mereka yang  sering keluar kampung ke Kuala Enok, Tembilahan atau daerah lainnya karena berdagang pakaian dan bisnis lainnya, tak banyak tahu tentang bahasa ibunya. Begitu juga dengan saudara-saudaranya seperti Rahmin (40) yang masih tinggal di Sungai Laut, atau yang tinggal di Tembilahan seperti Ramadan (41) PNS di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Inhil,  Herman Sadin (33) juga PNS di Dinas Perikanan Inhil,  Indra Lesmana (25) anggota polisi yang bertugas di Polres Inhil, dan si bungsu Erwin menjadi pegawai honorer di Dinas Perikanan Inhil.

“Mereka sejak SMP sudah sekolah ke Kuala Enok atau Tembilahan,” kata Sadin.

Sadin memang membebaskan anak-anaknya untuk bergaul dengan siapapun. Dia mengaku, meski anak-anaknya banyak yang tak bisa berbahasa Duanu, tetapi mereka tetap bangga menjadi orang Duanu. Tak pernah merasa malu sebagai orang Duanu. Meski dua anaknya menikah dengan suku di luar Duanu  —Ramadan menikah dengan suku Bugis dan Herman menikah dengan wanita suku Minangkabau—  Sadin tetap yakin kalau Duanu akan tetap ada sampai kapanpun.

“Anak-anak saya bebaskan bergaul dengan siapapun dan menikah dengan suku manapun. Tetapi semua orang tahu, kami tetap orang Duanu,” jelas lelaki yang di masa mudanya bekerja sebagai nelayan mencari ikan dan menongkah kerang ini, yang kemudian menjadi pedagang pengumpul.

Orang Duanu di Sungai Laut juga sudah lama meninggalkan mantera-mantera yang dulu dimiliki nenek moyangnya, baik mantera untuk pergi melaut, mengobati orang sakit, dan sebagainya. Untuk turun ke laut, sebelum orang Duanu memeluk Islam, memang mantera-mantera masih dipakai. Tetapi setelah mereka mengenal Islam, semua pekerjaan apapun didahului dengan membaca Basmalah.

Hingga kini, tak banyak yang masih menguasai mantera-mantera tersebut. Salah satu dari mereka adalah Samsoi (70). Darah Samsoi sebenarnya tak murni Duanu, karena ayahnya orang Cina. Ibunya yang orang Duanu. Dia tak bisa menjelaskan latar belakang pernikahan dua suku ayah dan ibunya itu. Tetapi Samsoi hingga kini dipercaya oleh masyarakat Duanu sebagai orang tua yang memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit, terutama sakit perut bagi anak-anak.

“Tak banyak tahu, hanya coco’ (sedikit),” kata Samsoi.

Begitu juga dengan lagu-lagu tradisi yang biasa dinyanyikan untuk menidurkan anak  (badenden) dan yang lainnya, kini juga jarang digunakan lagi, kalah dengan lagu-lagu pop atau lagu dangdut. “Zaman sudah semakin maju,” ungkap Samsoi lirih.

***

Di Sungai Laut, menurut data yang diberikan Amirudin, sang kepala desa yang ditemui Riau Pos,  bermukim sekitar 1.280 orang Duanu, atau sekitar 35 persen total penduduk Sungai Laut yang populasinya kini sekitar 3.990 orang itu. Jumlah itu nomor dua di bawah suku Bugis yang jumlahnya mencapai 1.822 orang. Meski berada di ceruk sungai dan jauh dari desa-desa lain, Sungai Laut termasuk desa yang unik. Selain berdiam suku Bugis dan Duanu yang jumlahnya dominan, juga ada suku lainnya seperti Cina (108 orang), Melayu (54), Banjar (192), Minangkabau (14 orang), dan Jawa (519). Mereka hidup berdampingan di rumah-rumah panggung yang dibangun mirip los sebuah pasar sehingga antara satu rumah dengan rumah lainnya hanya dibatasi dengan papan.

Sebagai kepala desa, Amirudin sangat senang di desanya ada suku asli seperti Duanu ini. Dia berharap, agar budaya Duanu tak punah di masa datang, ada upaya dari lembaga-lembaga yang terkait atau pemerintah untuk melakukan pemetaan atau pencatatan, baik kekayaan bahasa, sastra lisan, maupun ornamen budaya yang lain, termasuk tak “menganggu” laut yang menjadi ladang mereka. “Meski saya bukan orang Duanu, saya tak ingin suku Duanu punah. Saya akan membantu dan mendukung lembaga apapun yang mau melestarikan Duanu,” kata Amirudin di rumahnya, Rabu (15/5/2013) lalu.

Menurut prakiraan Sarpan Firmansyah, mantan Ketua Suku Duanu yang kini menjadi Ketua Dewan Pembina Kerukunan Keluarga Besar Masyarakat Dunau Riau (KKBMDR), populasi orang Duanu di seluruh Riau kini sekitar 12.000 orang yang tersebar di beberapa kabupaten, dan mayoritas tinggal di Inhil. Menurut Andrew Dalby dalam buku Language in Danger (2003), separuh dari 5.000 bahasa di dunia ini akan lenyap dalam satu abad ke depan. Dan jika sebuah bahasa penuturnya tidak mencapai 1 juta orang, menurut UNESCO, maka bahasa tersebut –dan juga suku yang memakai bahasa itu—  masuk dalam kategori bahaya, kategori yang mendekati kepunahan. “Banyak bahasa asli yang kini terancam punah. Bahasa dan suku Duanu salah satunya,” kata Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau, Drs Agus Sri Danardana M Hum, Rabu (17/7/2013).

Danardana menjelaskan, banyak variabel yang menyebabkan bahasa-bahasa tersebut bisa punah. Di Afrika misalnya, banyaknya perang antar-suku dan seringnya terjadi pembersihan etnis (genosida) seperti di Rwanda, Angola, Nigeria, Somalia dan banyak negara lainnya di sana, membuat banyak penutur bahasa suku-suku tersebut terbunuh. Akibatnya, dalam waktu yang relatif cepat, banyak bahasa yang punah dan sulit ditemukan penutur yang tersisa.

Namun, kenyataan ekstrem tersebut tak terjadi di Indonesia. Menurutnya, perang antar-suku atau pembersihan etnis  jarang terjadi di Indonesia. Di Papua memang sering terjadi perang suku namun skalanya sangat kecil dan belum sampai pada tahap mendekati punah. Tetapi, bagi suku-suku kecil seperti Duanu, Akit, Sakai, Bonai (di Riau), Orang Rimba (Kubu, di Jambi) dan ratusan suku lainnya, ancaman kepunahan banyak datang dari dalam diri mereka sendiri. Misalnya, adanya asimilasi atau alkuturasi dengan suku lainnya, salah satunya perkawinan dengan suku lain. Adanya generasi terkini suku-suku tersebut yang sudah tak bisa lagi bertutur dengan bahasa asli mereka. Hal itu terjadi karena beberapa hal, misalnya mereka malu menggunakan bahasa sukunya, atau memang karena hidup sudah tak satu kelompok lagi, mereka cenderung menggunakan bahasa umum yang digunakan.

“Kalau Duanu, mungkin karena dalam pergaulan umum memakai bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, mereka juga memakai bahasa tersebut yang membuat bahasa asli mereka jadi terlupakan,” ujar Danardana yang pada Mei 2013 lalu melakukan pemetaan bahasa Duanu di beberapa desa di Inhil, antar lain di Patahparang dan Belaras.

Bersama lembaga yang dipimpinnya, Danardana sedang melakukan pemetaan bahasa dan sastra, sekaligus membuat buku monografi tentang Duanu ini. Dia dan timnya sudah turun di beberapa desa sentra orang Duanu di Inhil untuk mendapatkan data yang valid dan akurat. “Apa yang kami lakukan ini mungkin tidak serta-merta bisa menyelamatkan budaya Duanu dari kepunahan, tetapi paling tidak bisa membantu dan mengajak lembaga lain untuk sama-sama berpikir bagaimana agar suku-suku kecil, termasuk Duanu, tidak hilang ditelan waktu,” jelas lelaki kelahiran Sragen, Jawa Tengah, ini.

***

SARPAN Firmansyah barangkali adalah orang yang paling resah dan kalut dengan ancaman kepunahan suku Duanu. Sarjana Perikanan lulusan Unri tahun 1998, ini, telah berupaya sekuat tenaga agar sukunya tetap eksis. Dia tak pernah malu memperkenalkan dirinya sebagai orang Duanu, yang menurut pandangan banyak orang dianggap sebagai suku terasing, tertinggal, bodoh dan terbelakang.

Lelaki kelahiran Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Merah, Inhil,  19 September 1971 ini tak pernah lelah berjuang agar eksistensi orang Duanu tetap terjaga, termasuk upaya agar anak-anak duanu tetap sekolah hingga mencapai jenjang pendidikan tinggi. “Saya kira, kami harus berupaya sendiri agar Duanu tetap eksis, berkembang, dan tak lagi dicap sebagai suku yang terbelakang dan bodoh,” kata Sarpan ketika ditemui di sela-sela acara Sosialisasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang diselenggarakan Bappeda Riau di Hotel Ibis, Senin (17/6/2013).

Sejak masih mahasiswa hingga kini, Sarpan sudah mencurahkan hidupnya untuk memperhatikan Duanu. Dia pernah diangkat sebagai Ketua Adat Suku Duanu, dan kini dalam posisinya sebagai Ketua Dewan KKBMDR, Sarpan tetap terus meyakinkan banyak pihak untuk membantu agar eksistensi Duanu tetap terjaga. Salah satunya, pada Senin pagi (17/6) itu dia tampil dalam acara dialog interaktif di RRI Pekanbaru. Dalam acara itu, banyak pendengar RRI yang baru tahu kalau di Riau ada suku laut bernama Duanu. “Itu kenyataan yang membuat saya sedih. Kami ada dan eksis, tetapi masyarakat lain tak tahu, atau kalaupun tahu, tapi mungkin sudah dianggap punah,” jelasnya.

Banyak upaya yang sudah dilakukannya. Di bidang bahasa, misalnya, meski dia kuliah di Fakultas Perikanan dan belajar linguistik serta kebudayaan secara otodidak, Sarpan sudah membuat buku Kamus Mini Duanu-Indonesia, yang diterbitkan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Inhil tahun 2009. Buku sederhana setebal 52 halaman itu memuat lebih dari 1.000 kosa kata Duanu.

Sarpan juga yang menjadi penggerak sebuah iven budaya bernuansa Duanu, yakni Festival Menongkah. Festival ini hampir setiap tahun diselenggarakan, yang dimulai pada  9 Juli 2008, yang merupakan penyelenggaraan terbesar hingga masuk rekor Musim Rekor Indonesia (MURI). Sarpan juga diundang ke berbagai seminar baik nasional maupun internasional untuk berbicara tentang eksistensi sukunya. Perjuangannya untuk membebaskan anak-anak Duanu agar bebas dari buta huruf mendapatkan penghargaan Liputan 6 Award 2013 dari SCTV, sebagai tokoh yang berdedikasi tinggi memberdayakan masyarakat tanpa pamrih. “Bukan penghargaan tujuan saya. Saya hanya ingin Duanu tetap eksis dan tetap hidup sampai kapanpun.”

Sekretaris Desa Tanjung Pasir ini punya mimpi besar untuk Duanu. Dia ingin memiliki sebuah museum tentang Duanu, yakni Museum Menongkah, yang selama ini menjadi ciri khas Duanu. Dia juga ingin memiliki apa yang disebutnya sebagai Rumah Pintar, yang di dalamnya ada perpustakaan, balai latihan pemberdayaan, tempat latihan seni budaya Duanu, dan sebagainya. Dia juga memiliki cita-cita bisa mendirikan Tugu Menongkah, sebagai pertanda kekhasan Duanu. Untuk semua cita-citanya itu, dia sudah  mendirikan Duanu Center dan membeli sebidang tanah di Tanjung Pasir, dan dia sedang bekerja keras agar cita-citanya itu berhasil.

Dalam Sosialisasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Pekanbaru 17 Juni lalu, Sarpan juga sudah mengusulkan tentang hak ulayat laut bagi orang Duanu, terutama di Riau. Hak ulayat laut ini adalah hamparan tanah lumpur di pantai-pantai di Riau yang selama ini menjadi habitat kerang, yang merupakan mata pencaharian utama orang Duanu. Hak ulayat laut ini juga sekaligus melindungi hutan bakau yang tumbuh di pantai, yang sekaligus menjelaskan bahwa orang Duanu bisa menjaga ekosistem laut, termasuk keberadaan hutan bakau yang di banyak tempat digerus orang.

“Banyak orang yang mengatakan mimpi saya sebagai kegilaan. Banyak juga yang mengatakan saya menjadikan suku Duanu untuk kepentingan pribadi. Biarlah orang bicara apa. Bagi saya yang penting, Duanu sebagai suku Melayu Tua (proto Malay) tetap eksis dan menjadi kekayaan budaya Melayu Riau,” jelas Sarpan. “Mungkin ini salah satu tamsil melawan kepunahan yang memang sangat menakutkan kami.”***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook