LANGIT GARUDA DALAM CENGKERAMAN SINGA (2 HABIS)

”Ini Masalah Kedaulatan dan Harga Diri Bangsa’’

Feature | Rabu, 21 Maret 2012 - 07:06 WIB

BATAM (RP) - Jenderal LB Moerdani pernah ‘’terapung-apung’’ di udara Natuna. Pesawat TNI Angkatan Udara yang mengangkut Menteri Pertahanan dan Keamanan Orde Baru itu belum bisa mendarat di Pangkalan Udara TNI AU di Ranai, Natuna.

Di kokpit, sang pilot sedang beradu argumentasi dengan pemandu lalu-lintas udara Singapura, yang memegang kendali penerbangan di wilayah udara Natuna. Mengapa?

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

“Siapa yang berada di dalam pesawat itu? tanya pemandu udara Singapura. ‘’Kami membawa tamu VVIP (very very important person),’’ jawab pliot TNI AU kala itu.

‘’Izin pendaratan belum bisa diberikan,’’ ujar pemandu Singapura.

‘’Kami harus mendarat sekarang,’’ pilot TNI AU bersikeras. Setelah berdebat selama 15 menit, Jenderal Moerdani akhirnya bisa menginjakkan kakinya di bumi Natuna.

Kisah tahun 1991 itu diceritakan seorang penerbang TNI AU kepada RPG awal Maret 2012 lalu. ‘’Begitu mendarat, ia langsung perintahkan Indonesia harus mengambil alih kembali kontrol atas ruang udara kita yang selama ini dipegang Singapura. Beliau bilang,’’masak kita terbang di wilayah sendiri diatur oleh negara lain,’’ katanya.

Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal (Purn) Chappy Hakim membenarkan LB Moerdani adalah salah satu tokoh yang ikut mendorong agar Indonesia mengambil kembali ruang udara yang dikuasai Singapura.

‘’Tahun 1992 Pak Beni Moerdani sudah suruh kita ambil alih,’’ tutur Chappy.   

Upaya merebut kembali kedaulatan udara Indonesia dari tangan Singapura sudah berlangsung sejak tahun 1993 melalui pertemuan Navigasi Udara Regional (Regional Air Navigation/RAN Meeting) yang diselenggarakan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) di Bangkok.  

Ahli hukum internasional Dr HK Martono mencatat, dalam pertemuan sepenting itu, pemerintah Indonesia hanya mengirim pejabat operasional.

‘’Sedangkan Singapura mengirim Jaksa Agung, Sekjen Kementerian Perhubungan, serta para penasihat hukum laut internasional,’’ kata Martono dalam makalahnya tentang UU Penerbangan tahun 2009.

Alhasil, Indonesia tidak memperoleh kemajuan apa-apa dalam pertemuan itu. Forum menyepakati agar Indonesia dan Singapura menyelesaikan masalah FIR ini secara bilateral. Apabila telah dicapai kesepakatan, akan disampaikan kepada RAN Meeting berikutnya. RAN Meeting ini berlangsung tiap sepuluh tahun sekali. Chappy Hakim menduga, keputusan RAN Meeting di Bangkok yang mengembalikan semuanya pada pembicaraan kedua negara, telah dikondisikan Singapura sebelum perundingan dimulai.

‘’Soal lobi-lobi mereka kan memang lebih licin dari kita,’’ katanya.

Kenapa Singapura begitu ngotot mempertahankan flight information region (FIR)? ‘’Duit,’’ kata Chappy. ‘’Ruang udara yang begitu luas adalah sumber ekonomi yang luar biasa. Di bawahnya ada Selat Melaka yang menjadi jalur lalu-lintas laut tersibuk di dunia. Ini semua ada korelasinya,’’ paparnya.

Alasan lain, menurut Chappy, Singapura ingin memanfaatkan kawasan yang lebih luas lagi untuk area latihan angkatan udaranya. Sehingga tanpa disadari Indonesia, pesawat militer Singapura bisa leluasa masuk jauh ke dalam kawasan udara Indonesia tanpa dapat diawasi Indonesia. Jika situasi ini terus dibiarkan, kata dia, rawan memicu perang antara Indonesia dan Singapura. ‘’Karena ini sudah menyangkut batas wilayah. Ini masalah kedaulatan dan harga diri bangsa,’’ ujarnya.

Chappy mengaku sudah menyuarakan pengambilalihan ruang udara ini sejak sepuluh tahun silam.  Kementerian Perhubungan (Ministry of Transport/MOT) Singapura menolak memberi jawaban saat dikonfirmasi RPG, Rabu (14/3) di Singapura.

Begitu pula Konsulat Jenderal Singapura di Batam. Mereka meminta RPG mengirim pertanyaan melalui mesin faksimili. Sejak dikirim Selasa (13/3) lalu, belum ada jawaban hingga Sabtu (17/3) petang lalu.

Setelah hasil yang mengecewakan di Bangkok pada Mei 1993, Indonesia terus berupaya melakukan perundingan dengan Singapura. Catatan yang dimiliki Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan menunjukkan setidaknya terjadi empat kali pertemuan membahas FIR.

Di antaranya pertemuan bilateral di Jakarta tahun 1994 dan tahun 1995 di Singapura.

Ada juga pertemuan tahun 2009 di Bali yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.  ‘’Terakhir pemerintah Singapura dan Indonesia melalui kementerian terkait dari masing-masing negara telah menggelar pembahasan di Bali pada Januari 2012 lalu,’’ kata Hendri Ginting, Asisten Atase Perhubungan Kedutaan Indonesia di Singapura, saat ditemui di Singapura, Rabu (14/3) lalu.  

Menurut Dr Martono, yang pernah menjabat Kepala Bagian Hukum Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, dalam perundingan, Singapura selalu mempermasalahkan batas titik pangkal wilayah terluar Indonesia.

Soal titik pangkal wilayah ini seperti jadi kartu as bagi Singapura untuk mempertahankan FIR.

 ‘’Sepanjang Indonesia belum menetapkan batas titik pangkal perairan kepulauannya, selama itu pula Indonesia kesulitan mengambilalih ruang udara,’’ kata Martono.

Namun menurut Hendri Ginting, dalam pertemuan Januari 2012 di Bali, telah dicapai kesepakatan bahwa FIR wilayah Batam dan Kepri yang saat ini dikuasai Singapura akan dikembalikan ke Indonesia.

Acuannya Undang Undang Nomor 1/2009 tentang Penerbangan. Namun sesuai undang undang tersebut, pengembalian otoritas pengelolaan udara itu paling lambat 15 tahun sejak UU Nomor 1/2009 diberlakukan.

Kepala Keselamatan Penerbangan Bandara Hang Nadim, Irwansyah mengatakan, secara prinsip Indonesia siap mengatur sendiri ruang udara yang selama ini dipegang Singapura.

‘’Prosedur dan tata kerjanya mengacu pada standar internasional yang sama. Jadi tidak ada masalah kalau itu dikembalikan. Kita sudah siap,’’ ujarnya.  

Secara fisik, kata dia, Hang Nadim punya status kelas 1 internasional utama yang memiliki landasan pacu sepanjang 4.025 meter dengan lebar 45 meter. ‘’Artinya landasan pacu bandara Hang Nadim terpanjang se-Asia Tenggara,’’ ungkapnya.

Bandara Changi Singapura hanya punya landasan pacu sepanjang 3.600 meter, tapi punya dua paralel landasan pacu. Terakhir, kata dia, Singapura akan memperpanjang landasan pacu hingga 4.000 meter dengan lebar 60 meter.  

Dari sisi SDM, menurut Irwansyah, sebanyak 10-11 personel Bandara Hang Nadim sudah mempunyai kualifikasi lisensi berstatus radar control approach.

‘’Artinya jika pemerintah menyiapkan fasilitas radar, kita mampu mendeteksi arus lalu-lintas penerbangan di Kepri sampai jarak 200 nautical mile mengarah ke Natuna,’’ paparnya. Hanya saja, Hang Nadim belum dilengkapi fasilitas radar. Hang Nadim hanya punya radar untuk pendeteksi cuaca.

Chappy Hakim lebih lanjut mendedahkan, fee lalu-lintas udara cukup besar yang diterima dari Singapura selama ini bisa ditanamkan kembali untuk pembelian peralatan pengatur lalu-lintas dan kendali ruang udara, serta penyiapan kompetensi petugasnya.

Yang terpenting, kata dia, pengambilalihan ruang udara dari tangan Singapura ke Indonesia adalah keharusan.

‘’Hongkong saja yang 100 tahun dikuasai Inggris dikembalikan kepada pemiliknya sahnya, Cina. Kenapa kita nggak bisa?’’ ungkap Chappy.(ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook