Tuntutan ruang terbuka publik di Kota Pekanbaru semakin mendesak, terlebih lagi saat ini ruang terbuka publik yang ada tidak lagi memadai untuk menampung ratusan ribu warga kota yang haus akan tempat rekreasi alam seperti taman kota. Tidak heran bila ruang terbuka publik seperti di Diponegoro dan Cut Nyak Dien selalu dipenuhi warga. Bahkan, Tugu selais yang berada di median jalan juga dipenuhi oleh warga setiap malamnya.
Laporan HENDRAWAN, Kota
SABTU (17/11) saat wartawan tiba di taman belakang Kantor Wali Kota Pekanbaru dekat Jalan Cut Nyak Dien, suasana keramaian yang luar biasa seperti biasanya kembali terlihat. Ini tidak hanya suasana yang bisa terlihat saat malam minggu, tapi hampir setiap malam dimana puluhan pedagang asongan dan makanan dan warga harus ‘’berebut’’ lahan untuk sekedar memenangkan hak untuk bersantai dan mencari makan.
Bisa terlihat bila mulai pukul 20.00 WIB, di taman yang ukurannya tak seberapa ini para pengunjung harus berdempet-dempet dan bersesak-sesak tempat duduk. Mana yang hobi mengabadikan aktifitasnya dengan kamera, maka siap-siap saja sebagian pengunjung menjadi background dalam gambar. Malam itu, anak-anak yang dibawa serta orangtua mereka tidak bisa berlari lepas, karena sewaktu-waktu akan tertubruk pejalan kaki lain yang berjalannya hanya di situ-situ saja.
Kekurangan ruang terbuka publik ini juga memaksa warga kota memenuhi kawasan ‘’illegal strategis’’ di beberapa titik kota seperti di Tugu Selais dan Tugu Songket yang notabene berbahaya. Lokasi ruang terbuka seperti ini lebih disukai warga bila dibandingkan pusat perbelanjaan seperti mal dan plaza yang ada di kota ini.
Salah seorang warga, Aldiyanto yang datang bersama teman-temannya berpendapat, Tugu Selais lebih nyaman ketimbang mal mewah di kota ini. ‘’Walau bagaimanapun enaknya di mal, tetap saja akan terasa sesak. Kalau di mal apa yang mau dilihat, paling mentok-mentok dinding dan langit-langit gedung, kalau di sini terbuka, pandangan lebih luas. Lebih enaklah di luar, apalagi kalau di mal itu ada batasan-batasan tertentu, pasti canggung rasanya. Tapi kalau di tempat kayak gini bebas nongkrong,’’ Aldiyanto yang duduk-duduk di Tugu Selais bersama tiga rekannya.
Terang saja, ruang terbuka publik sesuai dengan fungsinya seperti disebutkan pengamat tata kota Mardianto Manan, sebagai tempat menyalurkan hobby, tepat bersantai, refreshing, kontak sosial, olahraga atau sekedar berlari kecil memang jauh lebih dibutuhkan warga kota dibandingkan mal yang di dalam ruangan. Tercatat dalam UU No 26/2007, ruang terbuka publik ini adalah kewajiban pemerintah untuk mengusahakannya bagi warga kota.
UU No 26/2007 ini merupakan langkah mencapai kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan untuk menciptakan proses kehidupan alami dapat tetap berlangsung wajar. Eksistensi berbagai jenis ruang terbuka alami maupun buatan yang tersebar pada kawasan perkotaan inilah yang mampu terus mendukung kehidupan manusia serta mahluk hidup lain dalam wadah ekosistem yang serasi, seimbang dan berkelanjutan.
Untuk Kota Pekanbaru, kata Mardianto Manan, sangat miskin ruang terbuka publik yang seharusnya menjadi hak warga kota. Selama ini menurut Mardianto hanya ada dua yang bisa disebut ruang terbuka publik, Masjid Agung An-Nur dan Purna MTQ, belakangan Purna MTQ ditutup lalu diganti dengan Kompleks Stadion Utama Riau. Jumlah ini jauh dari cukup untuk penduduk kota yang sudah mencapai satu jutaan.
Mardianto tidak menampik bila membuat ruang terbuka hijau ini tidak bisa instan. Namun ada cara cepat sementara yang bisa jadi masukan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru untuk memenuhi hak warga kota ini. ‘’Untuk awal, bisa perbanyak dan perpanjang pedestarian, trotoar seperti yang ada di Jalan Dipenogoro,’’ ujarnya.
Namun begitu, Mardianto mendesak Pemko agar segera merencanakan ruang terbuka publik ini dalam tata Kota Pekanbaru. Apalagi saat ini sedang ada perubahan dalam RTRWP. Pemerintah harus mencarikan solusi untuk ruang terbuka publik ini.***