Sudah hampir satu tahun liga sepakbola di tanah air vakum. Kompetisi tidak berjalan. Yang ada hanya turnamen antar klub. Tidak ada verifikasi. Klub apa saja boleh ikut. Asal punya modal, bisa membayar honor pemain, dan direstui panitia bisa langsung ikut. Itulah yang terjadi pada sepakbola Indonesia saat ini. Klub yang baru lahir bisa langsung bersaing dengan klub yang sudah eksis puluhan tahun. Tidak perlu sibuk mengurus persyaratan mendirikan klub. Tidak usah pakai kontrak pemain dan syarat administrasi lainnya, seperti yang harus dipenuhi peserta liga. Maka tidak perlu heran, ada pemain yang turun dengan klub berbeda dalam satu bulan.
Sejak Indonesian Super League (ISL) berhenti di awal kompetisi 2015, sepakbola kian kacau balau. Tata kelola sepakbola lebih baik yang dijanjikan Kementerian Pemuda dan Olahraga jauh dari harapan. Banyak klub bubar. Tak sedikit pemain beralih profesi untuk sekadar menyambung hidup. Jadi pedagang, ada juga yang memilih profesi tukang ojek.
Vakumnya kompetisi memang petaka. Bukan saja bagi pelaku sepakbola, seperti pemain dan pelatih. Banyak pihak kehilangan mata pencaharian. Pedagang kecil yang biasa nongkrong di sekitar stadion tidak lagi mendapatkan pemasukan seperti biasa. Sebagai pedagang jersy klub, hari pertandingan merupakan momen yang sangat ditunggu. Saat itulah mereka bisa mendapatkan keuntungan lebih besar. Kini mereka tidak lagi mendapatkan kesempatan itu.
Turnamen yang konon memperebutkan hadiah miliaran rupiah tidak mampu mengangkat gairah sepakbola tanah air. Sistem homen tournament hanya dinikmati segelintir orang. Terutama yang ditunjuk menjadi tuan rumah. Di luar itu, harus puas jadi penonton.
Pascapembekuan PSSI, tercatat sudah enam turnamen yang bergulir. Termasuk yang sedang jalan, Piala Bhayangkara. Sebelumnya ada Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, Piala Jenderal Sudirman, Bali Island, dan Piala Gubernur Kalimantan Timur. Lima turnamen tersebut melahirkan juara berbeda. Piala Kemerdekaan milik PSMS, Piala Presiden direbut Persib, Piala Jenderal Sudirman digondol Mitra Kukar, Bali Island Cup oleh Arema Cronus, dan Piala Gubernur Kaltim jatah Pusamania Bornio.
Piala Bhayangkara? Bisa jadi dijuarai klub lain lagi. Itu memungkinkan. Sebab di turnamen, kekuatan tim sulit ditebak. Siapa yang bergerak cepat, dialah yang mendapatkan pemain bagus. Perpindahan pemain sangat dinamis. Dalam bulan yang sama, seorang pemain bisa memperkuat dua atau bahkan tiga klub berbeda. Seperti yang dilakoni Fabiano Beltrame. Saat Piala Gubernur Kaltim yang baru berakhir 13 Maret, center bek berkebangsaan Brazil ini memperkuat Madura United. Tapi di Piala Bhayangkara, ia turun bersama PS Polri. Begitu juga dengan pemain lainnya. Daripada tidak bermain, karena yang klubnya tidak diundang, lebih baik menerima tawaran dari klub lain.
Itu beberapa bukti tak tertatanya sepakbola di negeri. Pemain tidak mendapatkan jaminan pekerjaan. Apalagi kontrak. Hanya dibayar untuk satu turnamen, setelah itu putus. Boleh cari klub lagi. Situasi yang sangat tidak menguntungkan. Apalagi bagi pemain muda yang belum ‘’dikenal’’. Jangan harap mendapatkan kesempatan. Sebab rata-rata klub menginginkan pemain jadi, yang sudah membuktikan keahliannya.
Pemain muda? Tunggu dulu. Kalau memang tidak punya skil istimewa harus rela jadi penonton. Maksimalnya berpindah dari satu kampung ke kampung lain. Tunggu ajakan ikut pertandingan antar kampung, atau sering disebut Tarkam.
Wajar, jika pemain merindukan liga. Lebih kompetitif dan bergairah. Kesempatan bermain juga lebih besar. Sebab semua klub dilibatkan, tentu dengan kasta masing-masing. Mulai Liga Nusantara, Divisi Utama sampai kasta tertinggi Indonesian Super League (ISL). Ratusan klub dilibatkan. Berbeda dengan turnamen yang saat ini menjadi trend. Klub hanya itu-itu saja, Persib, Arema, Mitra Kukar, Semen Padang, Bali United, dan beberapa klub tenar lainnya. Pemain yang menikmati juga itu-itu saja, Cristian Gonzales, Diego Michel, Atep, Firman Utina, dan lainnya.
Sudah hampir setahun kita dipaksa menonton turnamen. Saatnya menikmati tontonan sepakbola dalam negeri yang lebih bermutu. Penolakan kasasi yang diajukan Kementerian Pemuda dan Olahraga oleh Mahkamah Agung bisa menjadi momen kembalinya liga sepakbola tanah air. Dalam putusan Nomor 36 K/TUN/2016 itu, MA menolak permohonan kasasi Kemenpora atas putusan banding di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memenangkan PSSI. Ini ‘’kekalahan’’ ketiga yang dialami Kemenpora atas perkara surat keputusan Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor 01307 tahun 2015, tentang pengenaan sanksi administratif berupa kegiatan keolahragaan PSSI tidak diakui. Sebelum penolakan kasasi di MA, banding Kemenpora juga sudah ditolak Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Penolakan itu tertuang dalam putusan bernomor 266/B/2015/PTUN tertanggal 28 Oktober 2015. Putusan ini sekaligus menguatkan putusan PTUN Nomor 91/G/2015/PTUN JKT tanggal 14 Juli 2015 yang memenangkan gugatan PSSI atas SK pembekuan yang dikeluarkan Kemenpora.
Kemenpora memang masih punya satu langkah hukum lagi. Yakni mengajukan peninjauan kembali. Pertanyaannya, apakah Menpora juga akan nekat menempuh langkah itu? Sebab tiga tingkatan hukum yang memenangkan PSSI rasanya sudah cukup untuk menjelaskan, bahwa langkah Kemenpora membekukan PSSI memang tidak tepat.
Sebagai pejabat negara, alangkah eloknya, jika Menpora mematuhi putusan hukum yang sudah diputus. Tidak perlu sampai mengajukan PK. Mencabut SK sanksi PSSI akan lebih terhormat daripada harus menderita kekalahan 0-4. Suatu kekalahan sangat telak dalam pertadingan sepakbola.
Pencabutan sanksi tidak hanya menunjukkan sikap kesatria seorang menteri yang mengurusi olahraga, tapi juga menyelamatkan banyak orang. Terutama pelaku sepakbola yang merindukan liga, bukan turnamen.***
ABDUL GAPUR (Redaktur Pelaksana)