MENGUNJUNGI KAWASAN PERBATASAN INDONESIA-PAPUA NUGINI DI KEEROM

Mi Instan Papua Ditukar Cokelat PNG

Feature | Selasa, 19 November 2013 - 07:40 WIB

Mi Instan Papua Ditukar Cokelat PNG
Pembangunan jembatan di jalur lintas batas tradisional yang menghubungkan dua kampung di perbatasan Indonesia dan Papua Nugini di Distrik Waris, Keerom. Foto: Naufal Widi A.R/ Jawa Pos

Selain jalur perbatasan yang resmi, beberapa wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Papua Nugini terdapat jalur perlintasan yang bersifat tradisional. Wartawan Jawa Pos Naufal Widi A.R., menyusuri jalur-jalur tersebut.

-----------------------

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

PERJALANAN menuju Kabupaten Keerom dari Kota Jayapura melalui jalur yang khas di Bumi Cendrawasih: naik turun gunung dan berkelok-kelok. Dengan kendaraan yang dipacu antara 60–80 kilometer per jam, butuh waktu kurang lebih satu jam plus 15 menit untuk bisa sampai ke daerah Arso Kota yang berjarak sekitar 55 kilometer.

Namun, perjalanan masih lebih panjang lagi untuk menjangkau wilayah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini (PNG), seperti Distrik Waris. Jaraknya mungkin hanya sekitar 65 kilometer, seperti Surabaya–Pandaan, namun waktu tempuhnya bisa mencapai tiga jam. Pasalnya, meski rute yang dilalui adalah jalan Trans Papua, kondisinya cukup memprihatinkan.

Di beberapa titik, roda kendaraan harus beradu dengan lubang menganga karena jalan rusak. Selain itu, jalanan naik turun gunung, berkelok-kelok, dengan pemandangan hutan lebat. Kondisinya semakin parah jika hujan turun yang mengakibatkan jalan berlumpur dan licin.

Kendaraan non-touring yang tidak dilengkapi mode penggerak empat roda alias 4WD hampir pasti akan kesulitan melewatinya. ”Kontur tanah di sini labil, jalannya mudah rusak,” kata Ridwan, seorang pegawai di Kabupaten Keerom yang ikut bersama Jawa Pos.

Sepanjang perjalanan dari Arso Kota ke Waris, kendaraan beberapa kali harus melambat saat melintasi pos satgas pengamanan perbatasan (pamtas) TNI.

Saat tiba di Waris, tepatnya di Kampung Pund, Jawa Pos mendapati sebuah jembatan yang dalam proses pengerjaan. Panjang bentangnya 20 meter dan menghubungkan dua dataran yang dipisahkan sebuah sungai. Di kedua sisinya terlihat pepohonan yang tumbuh liar. Beberapa ranting dan daunnya menjulur ke sungai dengan aliran cukup deras itu.

Badan jembatan yang telah dibeton (proses pengecoran) masih menunggu matang atau kering selama 28 hari sehingga laik untuk dilintasi. Namun, infrastruktur penghubung itu akan berperan penting sebagai perlintasan warga dari dua negara.

Ya, jembatan di Kampung Pund itu bakal menjadi jalan bagi pelintas batas Indonesia dan Papua Nugini. Kampung itu berdekatan dengan Kampung Kwek yang terletak di wilayah negara Papua Nugini. Letaknya di balik semacam bukit yang berada di sisi luar jembatan. Selain itu, ada Kampung Banda yang letaknya tidak jauh dari Kampung Pund.

Untuk menuju ke Kampung Kwek, setelah melintasi jembatan yang sedang dibangun, seseorang harus melewati jalan menanjak dan berkelok sepanjang 360 meter. Jalan itu masih berupa tanah yang labil.

Saat Jawa Pos tiba di Distrik Waris, hujan lebat baru saja mengguyur. Akibatnya, untuk sementara jalan tidak bisa dilewati. Setelah jarak 360 meter itulah terdapat tugu yang menjadi penanda perbatasan Indonesia–Papua Nugini.

Muhadi, pimpinan proyek yang berada di lokasi menuturkan, di jalur tersebut memang sesekali melintas penduduk dari Papua Nugini. Namun, secara fisik mereka sulit dibedakan dengan penduduk lokal. ”Mereka sebenarnya masih satu suku,” katanya.

Suku di daerah tersebut adalah Walsa yang terbagi dalam 26 kelompok seperti marga. Sebanyak 20 marga berada di wilayah Papua Nugini dan enam berdiam di wilayah teritori Indonesia.

Karena masih dalam satu suku, lanjut Muhadi, mereka merasa seperti tidak memasuki wilayah negara lain saat melintas. Bahkan, mereka tidak mengenal garis batas antarnegara dan tidak sedikit yang belum memiliki tanda pengenal. Apalagi, tanah yang didiami merupakan tanah adat (ulayat). ”Dulu hanya ada jembatan dari dua batang pohon besar kalau mau ke sini (menyeberang),” kata pria asal Sulawesi yang sudah sepuluh tahun tinggal di Papua.

Jumlah pelintas tersebut memang tidak banyak. Mereka menyeberang karena ingin mengunjungi keluarga yang memang masih memiliki hubungan kekerabatan. Selain itu, mereka ingin berwisata atau beraktivitas dagang dalam skala kecil dengan sistem barter. ”Biasanya mereka membawa cokelat atau vanili untuk ditukar dengan mi instan, beras, dan kebutuhan pokok lain,” terang Muhadi.

Meski status kewarganegaraan adalah Papua Nugini, secara adat dan budaya para pelintas batas itu tidak berbeda dengan penduduk di Waris. Bukan hanya itu. Warga Papua Nugini tersebut kadang juga menerima layanan kesehatan dari petugas puskesmas di wilayah Indonesia.

Sebenarnya, setiap pelintas batas dikenai aturan untuk melengkapi diri dengan kartu pelintas batas. Pemerintah juga sudah menyiapkan sebuah bangunan yang berfungsi sebagai pos lintas batas tradisional Waris. Namun, sejauh ini pos tersebut belum beroperasi. ”Ya, sarana pendukungnya belum ada. Beda dengan di Skouw,” kata Kepala Bidang Kerja Sama Badan Pengelola Kawasan Perbatasan Kabupaten Keerom Juliann B. Wally.

Skouw merupakan tempat pos perbatasan dengan jalur perlintasan resmi antara Indonesia–Papua Nugini. Letaknya di Distrik Tami, sekitar 80 kilometer dari Kota Jayapura. Pos perbatasan itu sudah dilengkapi pos pemeriksaan lintas batas dan gapura perlintasan, baik di sisi Indonesia maupun Papua Nugini.

Juliann menerangkan, di Keerom khususnya Distrik Waris, sesuai dengan kesepakatan BLM (border liaison meeting)–joint border committee antara Indonesia dan Papua Nugini, Indonesia akan membangun jalan dari Pund ke pos lintas batas Waris sepanjang 3.800 meter. Pembangunan jembatan dan jalan 360 meter juga masuk dalam kesepakatan itu. ”Di sisi sebelah (wilayah Papua Nugini, Red) dilakukan pembangunan serupa,” kata Juliann.

Aktivitas lintas batas lewat jalur tradisional semacam di Waris itu terjadi di sepanjang perbatasan dari sisi utara ke selatan. Jalur itu digunakan sejak lama karena adanya hubungan kekerabatan. Secara umum, kawasan perbatasan darat antara Indonesia dan Papua Nugini di Provinsi Papua mencapai sepanjang 770 kilometer, yakni Jayapura di sebelah utara dan muara Sungai Bensbach, Merauke, di sisi selatan.

Perbatasan darat itu ditandai dengan pembangunan pilar batas kedua negara sebanyak 52 buah. Sebanyak 24 pilar batas menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia dan 28 buah menjadi tanggung jawab pemerintah Papua Nugini.

Juliann mengatakan, di Keerom garis batasnya mencapai 360 kilometer. ”Ada sembilan pilar batas dari Skofro, Distrik Arso Timur hingga Towe Hitam, Distrik Towe,” kata perempuan asli Jayapura itu. Di Keerom yang merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Jayapura, ada lima distrik yang berbatasan dengan Papua Nugini, yakni Towe, Web, Waris, Arso Timur, dan sedikit bagian dari Distrik Senggi. (*)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook