Bagi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, angka tujuh tentu bernilai istimewa. Tepat 7 Agustus 1957, Presiden Soekarno meresmikan pabrik semen bergengsi ini dengan kapasitas terpasang seperempat juta ton per tahun.
Laporan NUKE FATMASARI, Pekanbaru
Dalam pidato Soekarno masa itu menegaskan, laju pembangunan di Pulau Jawa bukan saja sangat pesat, tetapi bahkan meningkat dahsyat di masa depan. Sementara pasokan semen pada saat itu, hanya bertumpu pada produksi PT Semen Padang (Persero) yang sudah eksis mulai 1910.
Selain itu, dengan lebih tegas Soekarno juga mengatakan bahwa ia sangat menaruh harapan besar pada perkembangan kemajuan PT Semen Gresik yang mampu bersaing dan bakal menunjukkan pada dunia bahwa bangsa Indonesia mampu berkarya mengolah sendiri sumber daya alam (SDA) negerinya.
Siapa sangka kemudian, 56 tahun setelah itu, dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang berlangsung di Surabaya, 7 Januari 2013, diputuskan bahwa atribut PT Semen Gresik (Persero) Tbk diganti menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. di mana tiga pekan sebelumnya, yakni 18 Desember 2012, BUMN persemenan ini tampil sebagai perusahaan multinasional setelah mengakuisisi pabrik semen Than Long Cement Vietnam, sekaligus memiliki 70 persen sahamnya.
Kepada wartawan, Dirut PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, Dwi Soetjipto menjelaskan, perubahan nama PT Semen Gresik menjadi PT Semen Indonesia hanya satu langkah kecil saja dari strategi terintegrasi perseroan mencapai strategic-holding menuju industri semen terkemuka di tingkat regional, bahkan global.
“Kami siap untuk menjadi pemenang (kampiun), bukan hanya di dalam negeri melainkan juga di dunia internasional,” ujar Dwi Soetjipto yang pernah belasan tahun malang melintang di PT Semen Padang Indarung, baru-baru ini melalui telepon selulernya. Dwi juga mengakui, kompetisi bisnis persemenan semakin ketat dan terus meningkat tajam. “Untuk itulah, dengan lebih mengaksentuasikan, BUMN persemenan harus memacu kinerja dengan optimal serta memacu kualitas pelayanan bisnis. Itu karena semen sangat berperan penting sebagai tonggak vital pembangunan,” ucapnya yang juga menjabat Dirut PT Semen Indonesia.
Dwi juga mengungkapkan, dewasa ini pelayanan distribution channel telah memiliki 361 distributor plus 11 pelabuhan khusus bongkar muat milik perseroan. Secara statistik tercatat, pangsa pasar dalam negeri dikuasai PT Semen Indonesia (Persero) Tbk sebesar 43 persen, di mana 57 persen sisanya masih didominasi oleh 9 pabrik semen lain seperti Holcim, Bosowa, Baturaja, Tiga Roda, Andalas, Garuda atau pabrik semen yang dibangun konglomerat sawit, Wilmar Group. “Mudah-mudahan porsi komposisi pangsa pasar domestik ini dapat kami tingkatkan dalam beberapa tahun mendatang,” imbuh Dwi optimis.
Namun menurutnya, prediksi tersebut sangat lah kompleksitas dan multifaktor. Sebab, untuk mempertinggi angka produksi 45 juta ton per tahun (indikator 2012) menjadi 60-65 juta ton per tahun, jelas tidak mudah untuk dilakukan kendati bahan baku semen berupa batu kapur, tanah liat, pasir besi dan pasir silika faktanya masih berlimpah-ruah di Bumi Ibu Pertiwi.
Tapi sebobot pabrik semen yang hendak dibangun atau mungkin dalam hal target menambah produksi dengan memperluas lahan yang ada, problemnya musti cermat dikaji. Seperti faktor lingkungan, ketersediaan air dan listrik serta yang lebih spesifik adalah kondisi lahan, dan juga upaya pembebasan dan berikutnya izin pemerintah.
Sesuai sejarahnya, PT Semen Gresik (Persero) pada 15 September 1995 telah berkonsolidasi untuk membangun produksi sinergis bersama PT Semen Padang (Persero), juga PT Semen Tonasa (Persero) yang awalnya banyak mendapatkan tantangan berbagai elemen masyarakat maupun LSM (lembaga swadaya masyarakat). Wajar kalau situasi tersebut dijuluki sebagai operating holding.
Langkah berikutnya yaitu functional holding baru dimulai pada 2010 yang meliputi sinergisitas produksi, permodalan, pemasaran, teknologi maupun SDM (sumber daya manusia) dari tiga kekuatan, yakni PT Semen Gresik, PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa. Sesudah sinergisitas dimaksud mantap dan solid, baru kemudian diluncurkan strategic holding sekaligus melahirkan atribut PT Semen Indonesia demi mengapresiasi karya anak bangsa.
Industri persemenan pantas kalau berbangga. Karena produksi semen terbilang sangat teguh dan konsekuen, konsisten mengemban misi yang terdapat dalam amanat Pasal 33 UUD 1945, yaitu pemanfaatan sebesar-besarnya kandungan bumi untuk kesejateraan rakyat dan bangsa Indonesia. Semen tidak diekspor dalam bentuk aslinya melainkan diolah lebih dulu menjadi produksi siap pakai, sekaligus memberikan nilai tambah devisa bagi negara.
Artinya, jauh berbeda dengan komoditi bahan mineral serta bahan mentah lain yang diekspor dalam bentuk aslinya. Contohnya, ekspor pasir dari Kepulauan Riau serta ekspor timah dari Bangka Belitung. Lalu bahan mentah timah tersebut diolah negara Singapura kemudian diekspor kembali sehingga Singapura terkenal sebagai negara eksportir timah tapi justeru tak punya tambang timah. Aneh, bukan?
Apalagi media mungkin tak punya hitung-hitungan berapa pastinya negara dirugikan akibat ekspor bahan mentah pasir, timah, biji besi serta aneka mineral lainnya itu? Bukankah tak ada yang berani menjamin bahwa dalam kandungan pasir, timah dan biji besi tadi tidak terdapat unsur mineral mahal seperti emas, tembaga, perak bahkan uranium.
Ada pun semen sebagai komoditi olahan siap pakai takkan mengandung mineral berharga lainnya seperti itu karena proses produksinya telah melalui sistem teknologi yang sensitif dan canggih. Seandainya juga semen diekspor dalam wujud semen curah, nilai devisanya diyakini seimbang dengan kualitasnya. Tercatat ekspor semen naik tajam, dari 45 ribu ton (2012) menjadi 269 ribu ton (2013) dan ditargetkan bisa menembus mistar setengah juta ton pada tahun 2015 mendatang.
Dalam konteks memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat dan pembangunan sesuai Pasal 33 UUD 1945, industri semen jelas telah menguasai pasar dan konsumen dalam negeri semutlaknya. Artinya, kalau pun ada kebutuhan impor maka keran impor semen relatif sangat kecil sekali dan bahkan nyaris tak berarti. Semua kebutuhan semen masyarakat maupun semen pembangunan telah dapat dipasok PT Semen Indonesia (Persero) Tbk plus 9 industri semen lainnya yang beroperasi di Bumi Pertiwi.
Sementara berbagai kebutuhan masyarakat rata-rata harus membuka keran impor yang jelas akan menguras devisa. Bukan saja negara harus mengimpor tekstil dan mobil, tapi bahkan mengimpor sapi, bawang, kedele, buah-buahan, gula, garam, dan beras. Sungguh ironi sekali !
Apakah produksi Semen Indonesia akan mampu bertahan memonopoli kebutuhan semen dalam negeri dalam rentang waktu satu dasawarsa ke depan? Inilah pertanyaan sekaligus kekhawatiran signifikan. Sebab, penggunaan semen tidak lagi sebatas konstruksi konvensional, melainkan telah berkembang merambah dimensi lain. Seperti misalnya pekerjaan infrastruktur jalan dan jembatan. Pola jembatan besi selama ini telah terproses berganti menjadi jembatan semen beton, kemudian pengerjaan jalan aspal juga telah diambil alih dominasinnya oleh jalan beton.
Sebagai mana diungkapkan Kadis Pekerjaan Umum Provinsi Riau SF Haryanto pada wartawan melalui telepon selulernya, bahwa sistem rigid atau beton bertulang bukan saja lebih efisien dan efektif tetapi mampu bertahan sampai 20-30 tahun. Jika pekerjaan jalan masih memakai bahan aspal, kondisinya gampang berlubang lalu kalau sudah mulai berlubang pasti terus membesar walau di tambal sekali pun tetap akan mengurangi daya tahan. Kecuali pemakaian semen yang kian meningkat untuk pembuatan jalan beton, sehingga para kepala daerah khususnya bupati/wali kota pun mulai berinisiatif dan berinovasi dengan konsep semenisasi. Ruas jalan pada gang-gang kecil pemukiman misalnya, yang mustahil diaspal pastilah dilakukan semenisasi yang sudah barang tentu bakal memakai semen yang tak sedikit.
Selanjutnya, semen, juga menjadi bahan baku prioritas dalam hal pembangunan gedung bertingkat, basement, subway, tunnel maupun bendungan. Konstruksi fondasi pembangunan gedung gedung bertingkat, subway, basement, tunnel maupun bendungan pasti bakal memakai tiang pancang beton dari semen. Terkait hal itu, PT Wika Beton yang merupakan anak usaha BUMN PT Wijaya Karya Tbk, misalnya, kini menggebu-gebu dengan produksi pancang beton guna memenuhi banyaknya order permintaan. Mengutip pernyataan Direktur Keuangan PT Wijaya Karya Tbk, Aji Firmantoro, guna mencapai kapasitas produksi 2,2 juta ton per tahun, PT Wika Beton dalam waktu dekat akan membangun pabrik di Lampung dan Bogor, serta mengakuisisi salah satu perusahaan yang terkendala modal di Batam.
Sementara merujuk pada UU Nomor 4/2009 tentang Larangan Ekspor Barang Mineral Mentah serta Batubara yang sekaligus kewajiban mengekspor bahan olahan, dan mengharuskan pengusaha eksportir barang tambang membangun smelter (pabrik peleburan dan pengolahan mineral), di mana mulai terhitung 14 Januari 2014 lalu, menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 1/2014 terkait hal tersebut, dan sudah barang tentu industri persemenan jelas lolos dari UU filter demikian. Sebab industri semen justru telah mengolah lebih dulu komoditi bahanbaku batu kapur, tanah liat, pasir besi dan pasir silika kemudian mewujudkannya sebagai semen siap pakai. Sehingga, industri semen terbilang sebagai manufaktur yang sama sekali terhindar dari potensi kerugian negara akibat mengekspor bahan mentah.
Masa depan Indonesia adalah periode pembangunan gedung bertingkat, jalan dan jembatan beton, subway, basement, tunnel serta bendungan yang membutuhkan berjuta-juta ton bahan baku semen. Konon lagi, jika pemerintah nanti merealisasikan pembangunan Jembatan Selat Sunda sepanjang 29 kilometer yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera, di mana dijadwalkan operasional pada 2024, tentu saja kebutuhan semen terhadap proyek spektakuler itu tak main-main.
Pertanyaannya, apakah PT Semen Indonesia plus 9 pabrik semen lainnya di Indonesia harus menggenjot produksi? Lalu bagaimana solusi dan caranya? Memperluas lahan atau membangun pabrik baru? Mungkinkah konglomerat swasta ditawarkan berkiprah dalam industri semen sebagaimana telah dilakukan Kalla Group dan Wilmar Group? Bukankah masih banyak daftar konglomerat di negri ini, soalnya kemudian bagaimana merangsang ketertarikan dan keikutsertaan mereka? Atau sudah saatnya mengundang pemodal luar negeri untuk menginvestasikan uang mereka ke dalam pola Penanaman Modal Asing (PMA) sebagaimana halnya pabrik Holcim? Apakah bisa prospektif kalau membangun pabrik semen di Papua, oleh karena itulah satu-satunya pulau potensial yang belum terjamah industri persemenan?
Semua pertanyaan tersebut wajar sekali jadi pemikiran dan pembahasan yang intensif sejak sekarang. Di satu pihak, laju pembangunan mustahil dihambat. Sedangkan di sisi lainnya, kapasitas produksi semen jelas terbatas. Kajian-kajian yang substansial perlu dilakukan secara cerdas dan komprehensif sejak dini. Semen boleh hilang secara temporal dari pasaran gara-gara ulah permainan kalangan distributor atau mungkin di tingkat pengecer. Tapi semen tak boleh kurang stoknya untuk menunjang laju pembangunan yang terus berkembang. Semoga.***