OLEH-OLEH DARI KABUPATEN KAMPAR

Lopek Bugi, Warisan jadi Rebutan

Feature | Minggu, 19 Januari 2014 - 07:37 WIB

Lopek Bugi, Warisan jadi Rebutan
Puluhan kios Lopek Bugi dengan lampu-lampu yang menyala, berjejer di kanan dan kiri Jalanraya Pekanbaru-Bangkinang, KM 30, Danau, Kabupaten Kampar. FOTO: KUNNI MASROHANTI/RIAU POS

Puluhan lampu yang bergelantungan di kios-kios di sepanjang Jalanraya Pekanbaru Bangkinang, KM 30 atau di Desa Danau, Kabupaten Kampar, selalu menyala. Siang ataupun malam. Sekitar 28 kios yang berjejer di sini adalah kios Lopek Bugi, yakni kue basah khas Kampar.

Laporan Kunni Masrohanti, Kampar

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

JIKA diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, Lopek berarti Lepat, Bugi berarti Ketan. Lopek Bugi berarti Lepat Ketan atau lepat yang terbuat dari ketan (bukan Lepat Bugis seperti yang disangkakan banyak orang). Lopek Bugi banyak dijual dimana-mana. Di Pekanbaru pun ada. Tapi, Lopek Bugi di sini lebih terkenal dan lebih khas. Lopek-lopek ini dikemas dalam kotak kue plastik sehingga mudah dibawa untuk oleh-oleh.

Kawasan yang terletak persis setelah Jembatan Danau ini merupakan pusat oleh-oleh bagi wisatawan yang melintasi jalan tersebut. Para pedagangnya sangat kreatif. Mereka menghias kios-kios tersebut dengan cat yang semuanya hampir berwarna hijau. Hijau, mereka yakini identik dengan Lopek Bugi yang dibungkus daun pisang warna hijau. Tak  heran, pusat oleh-oleh dengan panjang kawasan sekitar 500 meter di sepanjang kanan dan kiri jalan ini, menarik perhatian setiap pengendara yang melintas.

‘’Apo, Bu. Lopek ado, kue talam ado juo. Bolilah. Ko baru masak sodonyo (Apa, Bu. Lepat ada, kue talam ada juga. Belilah. Ini baru dimasak).’’ Eri, salah seorang pedagang dengan Bahasa Ocunya yang kental, menyambut Riau Pos yang berkunjung ke kiosnya dan beberapa tamu lainnya dengan ramah, Kamis (16/1).

Kios Eri -pemilik nama panjang Asri- ini terletak di sebelah kiri jalan dari jembatan. Di atas kios tertulis ‘Lopek Bugi Bu Emi’. Di sebelah kios ini ada rumah makan. Di sebelahnya lagi juga ada kios Bu Emi. Emi adalah istri Eri. Eri mulai menekuni usaha ini sejak menikah dengan Emi tahun 2003. Sedangkan Emi telah berjualan sejak bersama orang tuanya yang telah membuka usaha rumah makan di sebelah kiosnya tersebut. Waktu itu, Lopek Bugi tersebut hanya disajikan di piring, bukan dalam kemasan seperti sekarang. Selain menjalankan usaha rumah makan, Eri dan Emi kini telah memiliki tiga kios Lopek Bugi di kawasan tersebut.

Kios pertama dibangun sejak tahun 2003. Di sinilah Eri dan Emi berjualan. Sedangkan dua kios lainnya dijaga oleh karyawannya, tak jauh dari kios pertama. Hanya berjarak sekitar 50 meter saja. Bentuk kios pertama ini cukup sederhana. Seperti emperan. Tanpa dinding alias terbuka. Di bagian belakang sebelah kanan digunakan untuk dapur. Di depannya untuk kios tempat berjualan. Di sampingnya lagi tempat meletakkan meja dan kursi untuk para tamu yang ingin mencicipi Lopek Bugi langsung di tempat. Di sebelah kanan bagian depan juga untuk kios berjualan dan kasir. Di belakang emperan inilah baru ada bangunan tertutup atau rumah sederhana. Kios Eri ini hampir sama bentuknya dengan kios-kios milik pedagang lain. Satu kotak berisi 10 bungkus Lopek Bugi dengan harga jual Rp10 ribu. Jika membeli banyak, Eri selalu memberikan tambahan. Gratis.

Jika awalnya hanya Eri dan Emi yang membuat dan menjualnya, kini Eri sudah dibantu oleh 12 karyawan. Semuanya perempuan. Ada yang memotong daun pisang, memeras santan dan daun pandan, ada yang membuat adonan, ada yang mengukus, ada yang memasukkan lopek yang sudah masak ke dalam kotak kue, ada yang menyajikan lopek untuk tamu yang makan di tempat dan lain sebagainya. Ramai. Masing-masing mereka sibuk, tapi terlihat santai. Eri, kerap kali mengajak mereka bersendagurau dan tertawa bersama. Selain diberi makan gratis tiga kali sehari, mereka digaji Rp200 ribu per minggu.

‘’Kue Talamnya ada juga, Bu. Tidak mau mencoba. Ada rasa beras, labu dan ubi. Kue-kue lain juga ada,’’ tawar Eri kepada Ade, salah seorang pembeli dari Pekanbaru.

Selain Lopek Bugi, Eri juga menjual berbagai kue lainnya. Eri menyebutnya sebagai unggulan dan daya tarik bagi pembeli yang datang ke kiosnya. Semua kue tradisional ini dulunya hanya dibuat dan disajikan pada acara-acara kenduri dan perayaan Hari Besar Islam. Dengan tekad ingin mengangkat makanan tradisional menjadi makanan khas dan oleh-oleh daerah, Eri mengajak pedagang-pedagang lainnya untuk terus meramaikan kawasan tersebut. Tak heran, pembeli pun menyebar di kios mana saja yang mereka gemari.

Tidak kurang dari 60 kilogram tepung ketan yang diadon dan 200 pelepah daun pisang yang dibutuhkan Eri setiap harinya. Itu kalau hari biasa atau Senin hingga Kamis. Khusus Hari Jumat hingga Minggu, Eri mengolah lebih dari 100 kilogram tepung ketan untuk membuat Lopek Bugi ini. Semuanya terjual habis. Pembeli yang datang tidak hanya dari Sumbar, Medan atau Pekanbaru, tapi juga dari Jakarta bahkan Malaysia dan Thailand. Eri pun berusaha untuk terus menjaga kualitas Lopek Bugi yang dijualnya. Mulai dari rasa hingga cara memasak sehingga kue itu bisa bertahan lebih lama.

‘’Di Sumbar ada banyak kios Sanjai. Berjejer rapi. Sayapun menginginkan kawasan ini seperti itu. Ya, jadi pusat makanan dan oleh-oleh. Makanya, saya ajak kawan-kawan untuk ramai-ramai membuka kios. Ini semua kita buat bersama-sama. Inisiatif dan kreatifitas kami saja. Perhatian khusus dari pemerintah tidak ada. Kalaupun ada, kita hanya diajak untuk mengisi kios dalam iven yang mereka laksanakan. Pembinaan secara khusus baik itu dana, ataupun membuat kios dengan bentuk yang sama atau lainnya, tidak ada,’’ jelas Eri.

Senja mulai menghilang. Bulan bulat mulai terlihat di sebalik pelepah daun kelapa, persis di samping jembatan. Terlihat jelas dari depan kios Eri. Meski sudah malam, pembeli masih saja berdatangan. Lampu-lampu yang bergelantunganpun semakin terang cahayanya. Kawasan pusat oleh-oleh ini tetap hidup hingga ke pagi. Pedagang membuka kios mereka selama 24 jam.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook