Kampanye nol sampah atau zero waste untuk menyelamatkan bumi terus digalakkan. Misalnya, yang dilakukan Taman Safari Indonesia, Cisarua, Kabupaten Bogor. Mereka memanfaatkan kotoran gajah menjadi kertas yang layak pakai.
Laporan M. HILMI SETIAWAN, Bogor
NYANYIAN aneka burung terdengar saling bersahutan di salah satu sudut Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Kabupaten Bogor, Jumat (9/11). Suasana itu ikut menandai prosesi peresmian Poo Paper and Composting, instalasi pengolahan kertas berbahan dasar kotoran gajah.
Acara peresmian diawali dengan pengalungan untaian bunga kepada Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya. Menariknya, yang mengalungkan adalah Ruri, salah seekor gajah koleksi TSI. Tepuk tangan diberikan kepada gajah pandai tersebut.
Setelah itu, Balthasar beserta rombongan diajak meninjau pabrik pengolahan kertas dari kotoran gajah tersebut. Pabrik itu menempati bangunan sederhana berukuran 12 x 16 meter. Ruangannya multifungsi. Mulai tempat pencucian kotoran, perebusan, penggilingan, hingga pencetakan bubur kertas menjadi lembaran-lembaran kertas setengah jadi.
‘’Proses pembuatannya tidak rumit. Tapi, harus selektif untuk menghasilkan kertas yang berkualitas,’’ tutur drh Retno Sudarwati, staf TSI yang terlibat dalam pembuatan kertas dari kotoran gajah tersebut.
Menurut dia, berdasar penelitian tim TSI, kotoran gajah kaya serat. Serat kotoran hewan berbelalai itu lebih besar daripada kotoran sapi, kambing, dan hewan pemakan rumput lainnya. Dari sistem pencernaan gajah ditemukan fakta bahwa 40 persen serat tidak tecerna dan kemudian terbuang menjadi kotoran.
Retno menjelaskan, sebenarnya teknologi mengolah kotoran gajah menjadi kertas tidak ribet. Kendati begitu, pihak TSI tetap perlu melakukan studi banding di negeri gajah Thailand dan India. Dua negara itu memang lebih dulu mengaplikasikan pembuatan kertas dengan bahan baku kotoran gajah. Tidak main-main, tim yang dikirim ke Thailand dan India tersebut perlu setengah tahun untuk mempelajarinya.
Mereka belajar, antara lain, cara membersihkan kotoran gajah hingga mendapatkan serat yang berkualitas. Sebab, kondisi serat akan menentukan kualitas kertas yang dihasilkan. ‘’Setelah ilmu yang kami perlukan cukup, kami langsung mempraktikkan di Cisarua,’’ tutur Retno.
TSI Cisarua kini memiliki 45 ekor gajah. Dari jumlah tersebut, kotoran yang bisa ‘dipanen’ setiap hari mencapai 2,5 ton. Namun, setelah dipilih dan dibersihkan, akhirnya tinggal 1 kuintal kotoran yang layak dipakai sebagai bahan produksi kertas. Serat yang diperoleh pun belum banyak. Baru 4-5 kg serat kering.
Serat tersebut lalu dikeringkan. Setelah itu direbus dan digiling dengan blender raksasa, dijadikan bubur kertas. Untuk mendapatkan hasil yang baik, bahan baku dari limbah kotoran hewan itu mesti dicampur bubur kertas biasa. Misalnya, untuk membuat kertas yang tebal seperti undangan, komposisi serat dari kotoran gajah harus lebih banyak.
Sebaliknya, untuk pembuatan kertas yang agak halus, misalnya untuk block note, campuran kertas biasanya agak diperbanyak. ‘’Tetapi, tetap yang paling banyak serat dari kotoran gajah,’’ kata Retno.
Setelah diolah menjadi bubur, proses berikutnya adalah pencetakan. Sistem pencetakan itu mirip sistem sablon. Yaitu, menggunakan cetakan frame dengan ukuran sesuai kebutuhan.
Dalam simulasi yang dilakukan saat peresmian, 1 kuintal kotoran gajah setelah diproses hingga menjadi bubur kertas bisa menghasilkan 210 lembar kertas berukuran 50 x 50 cm. Lembar-lembar kertas basah itu lalu dikeringkan. ‘’Kalau sinar matahari sempurna, pembuatan kertas dari kotoran gajah ini cukup sehari,’’ tambahnya.
Retno menyatakan, pihaknya belum berani memperbanyak suplai kotoran gajah untuk konsumsi pembuatan kertas. ‘’Saat ini, yang banyak masih untuk pembuatan kompos,’’ katanya.
‘’Kami belum bisa memproduksi kertas secara masal. Masih untuk keperluan sendiri,’’ ujarnya.
Kertas produksi pabrik TSI tersebut sejauh ini baru dimanfaatkan untuk membuat undangan, amplop, block note, dan cenderamata berbahan dasar kertas. Kendati begitu, Retno sangat optimistis usaha pembuatan kertas dengan kotoran gajah itu memiliki prospek yang menjanjikan. Terutama bisa mendukung program nol sampah atau zero waste. ‘’Ke depan, apa-apa harus didaur ulang,’’ tegasnya.
Dari sisi ekonomi, Retno menambahkan, pembuatan kertas dari kotoran gajah itu berbiaya rendah. Apalagi, TSI tidak perlu mengeluarkan duit untuk membeli bahan baku. Selain itu, teknologi baru tersebut bisa mengurangi pembabatan kayu hutan untuk bahan baku kertas konvensional.
Sementara itu, menurut Kepala Divisi Kompos dan Kertas TSI Mukdor Kasani, tantangan terbesar pembuatan kertas dari kotoran gajah adalah ketika memasuki musim kemarau. Ketika musim kemarau, kualitas serat dalam kotoran gajah menurun. Sebab, pada musim itu, keberadaan rumput gajah sebagai makanan pokok binatang raksasa tersebut lumayan langka.
‘’Setelah diteliti, serat yang paling bagus adalah ketika gajah mendapat asupan makan yang cukup. Ketika kemarau, asupan itu berkurang,’’ jelas pria yang sudah 23 tahun mengabdi di TSI Cisarua tersebut.
Mukdor lalu menunjukkan produk unggulan pabrik kertas TSI berupa block note. Sebagai tanda bahwa produk itu berasal dari kotoran gajah, block note tersebut dihiasi gambar hewan bergading dua itu.
‘’Kami jamin, block note produk kami tidak berbau kotoran gajah lagi. Silakan dicium kalau penasaran,’’ ujarnya.(*/c5/ari)