Benda kecil yang berbunyi. Hanya dimainkan saat rindu tiada terperi. Saat pertemuan tak boleh diingkari dan saat dua hati telah mengikat janji. Genggongpun berbisik dan merayu
----------------------
Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar
BENDA kecil itu bernama Genggong Onou; alat musik tradisional asal Kampar. Alat musik ini disenangi anak-anak muda di sana. Termasyhur di zamannya. Lebih dikenal sebagai alat musik percintaan. Sebab, dimainkan memang untuk mengajak gadis idaman bertemu. Dimainkan di kolong rumah saat tengah malam sunyi. Persis di bawah kolong kamar sang pujaan hati.
Yahya Dt Senaro, merupakan satu-satunya pemain Genggong Onou pada tahun 1940-an yang masih hidup. Awal pekan silam, Riau Pos menyambangi rumahnya di KM 3, Kelurahan Pasir Sialang, Bangkinang Seberang. Informasi awal tentang masih adanya pemain Genggong Onou ini Riau Pos peroleh dari Taufik, mahasiswa Jurusan Sendratasik (Seni Drama Tari dan Musik) UIR Riau. Taufik juga pemusik dan pecinta alat musik Genggong. Dia juga berasal dari Kampar. Tinggal tidak jauh dari rumah Yahya. Bersama dialah Riau Pos datang ke sana.
Sore itu, Yahya sedang duduk sendiri di kursi rotan di teras rumahnya. Rumah separoh batu. Tidak ada orang lain di teras itu. Hanya ada dua kursi rotan yang sudah mulai terburai jalinannya dan satu meja kayu di sebelah kanannya. Yahya mengenakan kaos pendek warna biru dan celana hijau. Tidak ada Genggong di dekatnya. Tidak ada juga alat musik lainnya. Tidak juga terlihat tanda-tanda kalau dia ahli bermain Genggong.
Setelah bersalaman dan duduk, Taufik mulai bercerita tentang Genggong Onou. Mengajak Yahya kembali menceritakan kemasyhuran Genggong di masa mudanya. Tapi tidak ada tanggapan. Dia malah bercerita tentang hal lain. Memang, kata Taufik, Yahya sangat sulit untuk bercerita tentang Genggong. Apalagi memainkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Taufik tak ambil pusing. Dia terus meminta Yahya untuk mengajarinya cara membuat Genggong.
Taufik tidak pernah tahu kalau di kampungnya masih ada pemain Genggong Onou. Dia tahu sejak tahun 2012. Itu pun dari ayahnya. Selama ini, dia lebih banyak tahu Genggong Towel asal Sunda. Bahkan pertama kali belajar, Taufik menggunakan Genggong asal Sunda itu. Beruntung karena Taufik tidak kehilangan jejak Genggong Onou asal kampungnya sendiri dari pewaris tunggalnya. Satu-satunya sumber yang masih bisa dimanfaatkan hanya Yahya. Karena itulah Taufik berusaha keras menggali Genggong Onou langsung dari tangan Yahya.
Sudah hampir setengah jam duduk di sebelah Yahya, tapi tak ada juga cerita tentang Genggong itu dari Yahya. Setelah terus dirayu dan diajak bicara, Yahya akhirnya bercerita. ‘’Kini lah ndak ado lai. Lah abih. Itu zaman dolu. Kok nio maimbau cewek nak bosuo, Genggong itu tio nan dibunyikan (Sekarang tidak ada lagi. Sudah habis. Itu zaman dulu. Kalau mau mengajak cewek atau gadis bertemu, Genggong itulah yang dibunyikan),’’ katanya.
Yahya memang sudah tua. Umurnya sudah 90 tahun. Rambut, alis dan kumisnya telah memutih. Seluruh kulitnya pun telah keriput. Jalannya juga sudah tidak lurus. Tapi, dia masih mendengar jelas kata-kata yang diucapkan orag lain. Matanya juga mengenali setiap orang yang datang ke rumahnya.
Yahya masih sangat ingat bagaimana cara memainkan dan membuat Genggong. Sayang, dia tidak mau memainkan kembali alat musik itu. Sudah diminta berkali-kali, tetap juga tidak mau. Tidak tahu pasti apa alasannya. Yahya hanya menceritakan bahwa Genggong merupakan alat musik percintaan anak muda. Dimainkan hanya oleh anak muda.
Taufik tidak putus asa. Dia mengeluarkan tiga Genggong dari tasnya yang dibawa sore itu. Genggong itu hasil karyanya sendiri setelah bersusah payah belajar dari Yahya sejak dua bulan silam. Bentuknya kecil. Panjangnya hanya sekitar 10 centi meter. Lebarnya hanya selebar jari telunjuk orang dewasa.
Taufik mulai memancing kenangan masa muda Yahya dengan memainkan Genggong tersebut. Tangan kirinya memegang ujung Genggong, mulutnya mulai meniup bagian lidah atau bagian tengah Genggong dan tangan kanannya memukul-mukul ujung genggong lainnya. Alat itu pun mengeluarkan bunyi. Mendengung, terkesan romantis.
Tidak hanya sekedar ditiup sehingga Genggong bisa mengeluarkan bunyi, tapi ternyata ada kata-kata yang diucapkan dengan cara berbisik. Kata-kata mengajak, meminta dan merayu sang pujaan hati agar segera keluar kamar, turun dari rumah dan bertemu dengan sang pemain Genggong.
‘’Tughun lah diok, tughun lah diok. Tughun lah diok, adiok tompan ocu sayang. Itu kan logu yang dinyanyikan, Tuk? (Turun lah dek, turun lah dek. Turunlah dek adek cantik abang sayang. Itu kan lagu yang dinyanyikan, Tuk?),’’ tanya Taufik kepada Yahya sambil terus mengajaknya untuk memainkan Genggong.
‘’Iyo, supayo copek tughun nyo. Itu cito dulu. Kini mano kan ado yang nio mamainkan Genggong lai. (Iya, supaya cepat turun dia. Itu kisah dulu. Kini mana ada lagi yang mau memainkan Genggong lagi),’’ jawab Yahya sambil tertawa.
Yahya pun mulai terbuka. Tangannya yang bergetar karena usia lanjut, menarik Genggong yang dipegang Taufik. Dia pun berusaha memainkan Genggong itu. Tapi sayang, tidak ada sedikit pun bunyi yang dihasilkan. ‘’Lah tuo, tangan lah indak kuek lai (sudah tua, tanga sudah tak bisa lagi),’’ sambungnya sambil mengembalikan Genggong itu kepada Taufik.
Genggong memang alat musik tradisional. Kampungan. Tapi itu di zamannya. Kini, Genggong mulai diangkat anak tempatan di berbagai daerah menjadi alat musik yang lebih memberi arti dalam setiap garapan karya dan bukan hanya sebagai alat untuk enceh-mengenceh. Selain karena bunyinya yang khas, alat musik ini juga memiliki nada khusus dan merupakan peninggalan orang-orang tua yang bisa dikolaborasikan dengan alat musik lain.
Genggong dikenal dengan berbagai nama di Indonesia: Odong-odong, Simalungun, Popo, Gogo, Gayo, Djuring, Zagah-zagah, Taktak Doring (Sumatera), Genggong Onou (khusus Kampar), Karinding, Lidah Garpu (Jawa/Madura), Karinding Towel (Sunda), Genggong Lanang, Genggong Ladong, Genggong Sasak (Bali dan Lombok), Kuriding, Stobung, Engsulu (Kalimantan), Jajaok (Mentawai), Jajaok (Nias), Ginggong, Kedong Ginggo, Robe (Floresh), Enggugi (Sumba), Nago Oa (Nusa Tenggara), Korombi (Sulawesi), Kyomie, Berimbak, Tengkobi (Maluku), Pikon Irian Jaya dan masih banyak nama-nama lainnya.
Berbagai karya musik yang digarap Taufik dengan menggunakan Genggong, antara lain, pementasan Teater Peri Bunian (2012), Teater Sengketa Cinta (2013) dan garapan tari Zubaidah pada lomba seni tingkat pelajar (2011).
Tidak hanya menggunakan Genggong pada hasil karyanya, Taufik juga meneliti Genggong Onau Kampar lebih dalam melalui tugas akhir kuliah (skripsi), menulisnya di berbagai media massa dan face book. ‘’Saya tahu dari bapak kalau di Kampar juga ada Genggong. Kalau saya tidak cepat tahu, habislah Genggong Kampar karena pewarisnya hanya tinggal Pak Yahya. Makanya, saya berusaha keras belajar membuat Genggong dari dia, meski sangat sulit untuk mendapatkannya,’’ kata Taufik.(hpz)