UMROH, IBADAH DAN WISATA RELIGIUS YANG KIAN DIMINATI

Dari Gua Hira hingga Susu Unta

Feature | Minggu, 18 Maret 2012 - 09:19 WIB

Dari Gua Hira hingga Susu Unta
Jamaah umroh Galang Saudi foto bersama di kaki Jabal Tsur Makkah. Rombongan dipimpin Ustad Sarman Mirja (jongkok berbaju koko hijau). (Foto: Helfizon Assyafei/riau pos)

Umroh adalah ibadah. Ia bukan wisata. Namun usai ibadah, para tamu Allah di Tanah Suci tak kekurangan objek wisata. Mulai dari wisata sejarah hingga wisata belanja. Riau Pos berkesempatan ke Tanah Suci (1-12/3). Bersama Ustad H Sarman Mirja, mubaligh terkenal dari Duri yang bekerja sama dengan Galang Saudi Tourism Pekanbaru. Bagaimana lika-likunya?

Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Makkah-Madinah

Ketika itu, kami sedang berada di atas awan dalam perjalanan menuju Makkah tempat haji dan umroh umat muslim sedunia. Pesawat Boeing 747 seri 400 kami berada di ketinggian 36.000 kaki di atas permukaan laut. Suhu udara di luar pesawat mencapai minus 54 derajat Celcius. Dari atas pesawat tampak di bawah kami padang pasir merah dan gersang seolah tanah di planet Mars.  
Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Sejak pesawat memasuki wilayah Timur Tengah mulai dari Salsalah-Sanaan-Addilan dan Quraifa menuju Jeddah pemandangan di bawah adalah lautan pasir dan gunung batu tak bertepi. Memantulkan warna merah kecoklatan terlihat dari atas. Bentangannya mencapai 2.000 Km. Subhanallah! Jaraknya sama dengan dua kali perjalanan bolak-balik Pekanbaru-Jakarta. Pemandangan  ini kontras dengan sebelumnya ketika kami terbang melintasi Sumatera menuju ke arah barat melintasi Samudra Hindia.  

Ketika itu kami melihat pohon yang hijau, ladang dan hutan. Setelah itu kumpulan warna biru lautan yang memantulkan warna langit juga terlihat dari jendela pesawat. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB ketika pramugari mulai merapikan hidangan yang diberi sebelum pesawat mencapai Bandara Jeddah. Laila Hasan (63) segera melipat meja dan merapikan di sandaran kursi di depannya. Matanya menerawang jauh ke luar jendela. Sebutir air mata menggelinding begitu saja. Ia seolah tak percaya kini tengah berada di badan burung besi yang melintasi benua menuju Baitullah yang selama ini menghiasi mimpi tidurnya.

Sesekali warga Duri asal Siak ini menyeka matanya yang terus saja berkaca-kaca. ”Saya hanya seorang penyadap karet yang miskin,” ujarnya pada saya yang duduk tepat di sebelahnya. Setiap mengantar orang pergi haji, ia kerap dipanggil orang dengan sebutan Mak Haji. ”Entah olok-olok entah tidak, saya tak tahu. Tapi saya mengaminkannya di hati. Kalau tak dapat haji, umroh pun jadilah. Yang penting saya sampai ke Tanah Suci,” ujarnya. Saya hanya mengangguk-angguk kecil. Doa dan harapannya ternyata tak sia-sia.

Dia diberangkatkan anak tertuanya yang guru SD di Kandis. Sang anak rupanya bernazar. Jika ia lulus ujian sertifikasi guru, semua tabungannya selama ini diberikannya untuk biaya ibunya pergi ke Tanah Suci. Kini di ketinggian 36.000 kaki di atas padang pasir, Lela menjemput mimpinya selama ini.

Jam menunjukkan pukul 3 dini hari waktu Madinah. Udara dingin masuk memenuhi udara kamar hotel, membuat keinginan meringkuk dalam selimut datang kembali. Saya lupa menutup jendela kamar yang terletak di lantai 12 ini. Kami satu kamar empat orang. Teman sekamar tampaknya masih menikmati mimpi. Waktu Salat Subuh masih dua jam lagi. Tapi cobalah melongok dari jendela kamar hotel. Sebuah pemandangan menakjubkan tersaji di bawah sana. 

Ribuan orang berpakaian putih-putih sudah menyemut di jalanan seputar hotel menuju ke satu arah: Masjid Nabawi. Di masjid Nabawi ada bekas rumah dan masjid Nabi yang asli. Masjid Nabi yang asli luasnya kira-kira 10 x 10 meter saja lagi dibanding keseluruhan bangunan. Bekas rumah Nabi Muhammad itu kini telah jadi pusara Nabi dan dua sahabatnya Abu Bakar Siddik dan Umar bin Khattab.

Ruang 10 x 10 meter itulah yang disebut Taman Raudah. Tempat jadi rebutan jamaah haji dan umroh sedunia untuk dapat salat di sana.  Saat kami memasuki masjid pukul 3.30 waktu setempat, lokasi itu sudah penuh dan berdesak-desakan. Lokasi itu mudah menandainya karena karpetnya beda dengan bagian lain masjid, tapi sulit memasukinya karena ketatnya persaingan sesama jamaah. Di Madinah perjuangan mendapat tempat salat di Raudah sama kerasnya dengan upaya dapat mencium batu Hajar Aswad di sisi Kakbah. ”Di sinilah etos kerja Islam yang bisa kita petik hikmahnya. Untuk dapat hal yang terbaik dalam hidup harus berjuang,” ujar ustad Sarman Mirja. Memang masjid Nabawi luas dan mampu menampung 1 juta jamaah. Namun untuk merasakan salat di bekas masjid nabi yang sebenarnya di bawah mimbar dan dekat mihrabnya perlu perjuangan ekstra keras. Tak semua jamaah yang datang ke sini beruntung mendapatkannya. Apalagi kalau mudah menyerah melihat lautan manusia yang ingin mendapat kesempatan yang sama itu. Kami merangsek masuk. Terhimpit, tersikut, terinjak kaki dan akhirnya alhamdulillah berhasil masuk.

Salat di Masjid Nabawi sungguh nikmat. Apalagi di Taman Raudah. Getaran spiritualnya tinggi sekali. Meski berdesak-desakan namun tak ada marah apalagi emosi. Begitu salam ke kanan tampak bangunan masjid yang luas. Ketika kiri tak jauh dari kita di balik dinding satunya lagi sudah makam Roasulullah dan dua sahabat terkemuka Abu Bakar dan Umar.  Untaian salawat tiada putus dari bibir para jamaah. Usai salat kita juga bisa menziarahi makam Rasul saat akan keluar masjid meski tak bisa lama karena dijaga petugas polisi setempat. Ini untuk menghindari tindakan berlebihan para peziarah di makamnya.

Di Madinah kami ditempatkan di Hotel Wassel Reem. Satu di antara puluhan hotel pencakar langit yang hanya beberapa blok dari pelataran belakang Masjid Nabawi yang megah. Pelataran Masjid Nabawi kini dilengkapi lebih kurang 200 payung raksasa yang dikembangkan secara otomotis di pagi hingga sore hari yang jadi penahan panas bagi jamaah yang salat di pelataran. Sedangkan di malam hari dikuncupkan juga dengan teknologi otomatisasi. Meski serba otomatis petugas di Masjid Nabawi di segala bagian totalnya mencapai 3.000 orang. Bagian belakang bangunan masjid serta samping pelataran masjid sudah dikepung hotel-hotel bintang lima seperti Hotel Elaf Taiba, Hotel Anwar Almadina lengkap dengan malnya yang menggoda selera belanja, Dar Al Iman Continental dan banyak lagi lainnya. Semua itu membantu jamaah haji dan umroh sedunia beribadah di Masjid Nabawi.

Ada sejumlah rute wisata yang kami tempuh di Madinah selama dua hari. Sesuai jadwal kami dengan tiga bus besar mengunjungi objek wisata bersejarah seperti Jabal Uhud dan makam para syuhada, Masjid Quba, Masjid Kiblatain, Percetakan Alquran, Jabal Magnet dan kebun kurma. Untuk kebun kurma letaknya tak jauh dari Masjid Quba. Sepotong kebun yang rindang. Di bawahnya dibangun dangau-dangau tempat singgah pengunjung mencoba sari kurma gratis. Di tengah kebun terdapat kedai yang khusus menjual aneka kurma. Kurma Nabi yang terkenal itu hingga kurma muda yang berkhasiat untuk menambah kesuburan bagi yang belum memiliki keturunan.

Ibu-ibu langsung berebut membeli kurma di tempat itu. Tiga orang kasirnya pria semua lintang-pukang melayani pembeli yang umumnya ibu-ibu penuh semangat dari berbagai negara itu. Kadang omongan nyambung kadang tidak. Yang penting laku. Di tengah kegaduhan itu tiba-tiba seorang pedagang berbisik pada kami yang tak belanja kurma. ”Stt...mau coba ndak?” ujarnya. Kami kaget apa maksudnya. Ia kemudian menunjukkan sebuah batu hitam kecil seharga 20 riyal (Rp50.000) yang dijual di kaki lima dalam kebun. ”Ah tidak. Masa batu lebih kecil dari kerikil harganya Rp50.000. Mahal sekali,” tukas saya.

”Ini rahasia kehebatan lelaki Arab,” katanya serius. Saya tak dapat menahan tawa. Apalagi ketika ia menyampaikan nama batu itu yang cukup horor yakni batu hajar jahannam. Konon kata yang sudah pakai efeknya panas dan kalau salah dosis bisa sampai pagi panasnya melekat.  ”Tak bisa tidur wak,” ujar kawan tu.  Kami pun tergelak terpingkal-pingkal. 

Setelah empat hari di Madinah perjalanan dilanjutkan pada tujuan utama yakni umroh ke Baitullah di Makkah. Bus singgah di Bir Ali 12 Km dari Madinah untuk mengambil miqot (niat ihram). Jarak Madinah-Makkah mencapai 500 Km lebih. Kami semua tertidur kelelahan dalam bis. Memasuki Kota Makkah pada malam hari kami tak langsung ke Masjidil Haram namun singgah di Nawarat Syams Hotel menurunkan barang dan pembagian kamar.

Usai semuanya di bawah komando ustad Sarman kami berombongan menuju Masjidil Haram. Melihat pintu gerbang Masjidil Haram saja hati sudah bergetar. Setelah memandu doa masuk masjid kami berjalan menuju tengah masjid. Jantung berdegup keras ketika kemudian mata melihat kain kiswah Kakbah yang megah itu. Hati luruh seketika saat Kakbah akhirnya dilihat dengan mata kepala sendiri. Sejumlah jamaah tak mampu menahan tangis akhirnya sampai ke Tanah Suci dan melihat langsung Baitullah.

Kami pun melaksanakan rukun umroh yakni tawaf tujuh putaran kemudian sa’i yakni berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Marwa tujuh putaran juga dan diakhiri tahallul yakni memotong tiga helai rambut. Melaksanakan proses itu bersama ribuan jamaah dari mancanegara jelas perlu fisik prima. Seluruh rangkaian itu (sejak dari Madinah) akhirnya rampung ketika waktu Salat Subuh hampir masuk. Kami begadang semalam suntuk menunaikannya. Setelah Salat Subuh baru kembali ke hotel. Saking lelahnya sarapan pun tidak lagi tersentuh.  

Salat di Masjidil Haram sungguh tiada tara. Ratusan ribu orang dari berbagai bangsa di dunia bergabung di dalamnya. Kadang menjelang waktu masuk salat sempat terjadi komunikasi kecil dengan saudara dari bangsa lain. Ada yang nyambung namun lebih banyak yang tak nyambung. Biasanya pakai bahasa isyarat saja kalau sudah buntu. Kota Makkah hidup 24 jam. Jalan-jalan selalu dipadati manusia yang akan ke masjid biar jam berapapun di malam hari. Toko-toko selalu buka karena orang tak pernah sepi. Apalagi di hotel kami yang berlokasi di Ibrahim Khalil Road. Jalan terpadat yang bisa dimasuki sejala jenis mobil. Dari mobil tanki  sampai bus ukuran besar.
Ekspedisi Gua Hira

Di Makkah jadwal tur juga padat. Kami dibawa melihat-lihat Padang Arafah (tempat jamaah haji wukuf) yang di tengahnya ada Masjid Namira yang dibuka hanya pada musim haji, Jabal Rahmah (bukit tempat pertemuan Nabi Adam dan istrinya), Muzdalifah, Mina hingga ke tempat  lontar jumroh. Kami juga dibawa ke Jabal Tsur tempat persembunyian Nabi Muhammad dan sahabatnya Abu Bakar Siddik saat hijrah ke Madinah. Namun yang paling seru saat dibawa ke Jabal Nur yang di atasnya terdapat gua Hira  tempat Nabi Muhammad menerima wahyu pertama. Semula kami hanya melihat dari kejauhan. Saat kembali ke hotel, ustad Mirza menantang kami menjajal gunung terjal itu hingga ke puncak. 

Aturannya jelas: nenek-nenek dilarang ikut. Namun sejumlah ibu-ibu yang merasa masih kuat bersikeras ikut. Akhirnya tak kurang dari 20 orang berangkat ke kaki Jabal Nur uji kemampuan. Gua Hira adalah sebuah gua kecil yang terletak tak jauh dari puncak Jabal Nur. Letaknya sekitar 6 Km sebelah utara Masjidil Haram. Tinggi puncak Jabal Nur kira-kira 500 meter. Di sekelilingnya terdapat sejumlah gunung, batu bukit dan jurang. Letak gua Hira ada di belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit. Luasnya hanya cukup untuk tidur tiga orang dan tingginya ± 2 meter. Di bagian ujung kanan ada lubang yang dapat dipergunakan untuk memandang kawasan bukit dan gunung arah Makkah. Di gua inilah Rasulullah bertahannus (mendekatkan diri) pada Allah. 

Untuk menuju ke sana, diperlukan waktu sekitar 1,5 jam. Mulai dari kaki gunung, kita bisa menapaki jalur yang sudah ada.  Awalnya memang terasa mudah. Batu-batuan yang ada di sana bisa dijadikan tempat berpijak. Tapi, sekitar 15 menit mendaki, nafas sudah mulai tersengal, jalan setapak itu terasa sangat berat. Dalam perjalanan ke puncak, kita menjumpai beberapa pedagang minuman. Baik asongan, ataupun yang sudah punya lapak seperti di terminal. Begitu tiba di puncak Jabal Nur, kita akan disuguhi pemandangan yang sangat menakjubkan! Kota Makkah terlihat dari sini. Mobil-mobil yang berseliweran di jalan terlihat seperti mainan. Gua Hira tidak terletak di puncak Jabal Nur. 

Untuk ke  Gua Hira, dari puncak Jabal Nur, kita harus menuruni tebing yang agak curam.  Alhamdulillah sudah ada tangga yang permanen dan dinding yang tinggi untuk menjaga agar tak jatuh ke jurang. Setibanya di bawah, kita harus belok ke kanan dan melewati celah sempit di antara dua batu besar. Sesudah melewati itu, di sebelah kiri, akan kita temui  gua yang sangat bersejarah. Gua Hira. Tak terlalu luas. Hanya bisa diduduki sekitar empat orang. Dari dinding gua sebelah kanan, ada semacam celah yang menghubungkan gua ini dengan udara bebas di luar. Angin yang berhembus terasa sangat kencang dan sejuk.

Bila kita keluar dari gua dan memandang arah ke bawah,  dari jauh kita akan melihat Masjidil Haram. Sungguh, bila tak ada bangunan lain yang melebihi tinggi Kakbah, maka kita pun akan dapat melihat Kakbah. Sebagaimana Rasulullah dulu sering memandangi Kakbah dari tempat ini. Subhanallah. Dari 20 peserta ekspedisi kami hanya 12 yang sampai ke Gua Hira. 

Ladang Unta
Satu lagi yang menarik dari wisata di Makkah adalah berkunjung ke Hudaibiyah kami singgah di ladang unta. Ladang unta adalah  peternakan unta. Semua unta betina dipagar. Sedang yang jantan dibiarkan di luar kandang bebas lepas. Begitu bus kami berhenti sejumlah pekerja orang kulit hitam berlarian menghampiri kami dan menawarkan sebotol kecil susu unta. “Khamsa riyal, khamsa riyal..(lima riyal, red),” teriak mereka. Susu segar itu benar-benar baru diperas dari unta-unta yang ada di sana. Kami menyaksikannya sendiri. Banyak buihnya. Susu unta selama ini dikonsumsi secara luas di hampir seluruh negara Arab. Susu ini memiliki rasa yang sedikit lebih asin dibanding susu lainnya dan seringkali diproduksi sebagai keju. Organisasi PBB yang mengurus masalah pangan (Food and Agriculture Organisation/FAO) pernah melansir di jurnalnya, susu unta kaya vitamin B, C dan memiliki kandungan zat besi 10 kali lebih banyak dibanding susu sapi.

Selain kandungan mineral dan vitaminnya yang tinggi, penelitian telah menunjukkan, antibodi yang terkandung dalam susu unta diduga bisa membantu melawan penyakit kanker, HIV, AIDS, alzheimer dan hepatitis C. Sayangnya tak bisa bertahan lama tanpa pendingin. Terpaksalah langsung diminum di pinggir jalan. Tak terasa 11 hari sudah kami di dua Tanah Suci tersebut.  Hari ke-12 lepas Magrib kami sudah kembali di atas langit Jeddah dalam perjalanan pulang ke Tanah Air. Laila Hasan (63) mencoba melihat dari jendela pesawat untuk terakhir kalinya. Yang tampak hanya ribuan lampu bak kumpulan lilin membentuk permadani di tengah gurun. Berat rasanya meninggalkan tanah suci.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook