Tahun 1961 pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) memasuki fase ketiga, yaitu kemenangan tentara Soekarno. Tahun itu juga jadi awal berlakunya demokrasi terpimpin dan napak tilas dimulainya rezim orde lama dengan mesin politiknya PKI. Cap “pemberontakan “ tertumpang di pundak orang Sumbar, seluruh pemimpin, simpatisan, dan mereka yang tidak ikut sekali pun turut menerima ’hukuman’ itu. Ironis memang.
-----------------------------
Laporan Debi Virnando, Padang
-----------------------------
Pelaku sejarah menilai, orang Minang akan tetap menjadi pemberontak selama yang memimpin negeri ini masih manusia. Ketika bupati, gubernur dan presiden masih manusia, selama itu pula mereka akan menjadi pemberontak. Tidak ubahnya seperti 68 tahun lalu. “Selagi yang memimpin manusia, pasti ada salahnya. Kesalahan itu yang diprotes,” kata pelaku sejarah berstatus Perwira Intelejen, Akmal H Jaenab dalam diskusi mengenang perjuangan 68 tahun PRRI di kantor Aji Padang, Minggu (16/8).
Tidak serta merta intimidasi dan otoriter Soekarno yang meledakan peristiwa PRRI. Kondisi di sekeliling kala itu, memaksa Soekarno mengambil sikap demikian. Ada satu nama yang paling dikesalkan pelaku sejarah.
Satu nama itu disebut sebagai penyebab dibalik semua pergolakan ini. Namanya disebut sebagai orang yang paling bahagia saat mendengar kabar usulan PRRI lewat Dewan Banteng disambut peperangan, yakni AH Nasution. Menurut Akmal H Jaenab, AH Nasution sedang mandi saat informasi itu digaungkan. Pengakuan salah seorang perwira intel, Nasution langsung berteriak girang.
Awalnya, sempat diusulkan jalur perundingan antara Dewan Banteng dengan pemerintahan pusat. Sayangnya usulan ditolak dan diganti pemukulan secara militer.
Rentetan peristiwa senada dipaparkan pelaku sejarah lainnya, Ajis Dt Bandaro Panjang. Masih soal Nasution. Menurutnya, PRRI merupakan percikan api yang sudah terjadi bahkan sebelum PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) lahir. Berawal ketika terjadi perseteruan di tubuh Kepemimpinan Angkatan Darat.
Masa itu ada dua aliran kepemimpinan di angkatan darat, yaitu didikan Belanda dan didikan Jepang. Divisi Angkatan Darat terus bertambah jumlahnya dan masih memiliki pemimpin sendiri. “Di Jawa terdapat empat divisi, di Sumatera juga ada empat divisi,” katanya.
Seluruh divisi akhirnya disatukan di bawah komando Panglima Besar. Persoalan siapa yang layak menjadi panglima besar memanas. Muncullah tiga nama yang diusulkan. Nasution, didikan Belanda, pendiri divisi Siliwangi yang dianggapnya sebagai divisi paling bagus. Pernyataan itu disampaikan agar Nasution dicalonkan menjadi Panglima Besar.
Selain Nasution, nama selanjutnya yang diusulkan ialah Jenderal Soedirman. Didikan Jepang yang berhasil memukul tentara Inggris di Ambarawa, dan ketiga, Urip Sumoharjo yang pernah menjadi Wakil Komandan Batalyon Padangpanjang. Pemilihan dilakukan di Yogyakarta. Utusan dari Sumatera ada dua orang, Dahlan Jambek dan Simbolon.
“Selama dalam perjalanan mereka berdua dilobi untuk memilih Nasution karena sama-sama berasal dari Sumatera. Ternyata, ketika pemilihan, Nasution hanya mendapat satu suara yaitu dari Siliwangi, selebihnya memilih Jenderal Soedirman,” paparnya.
Menangnya Jenderal Soedirman dalam pemilihan panglima karena sebagian besar utusan merupakan didikan tentara Jepang, sama dengan utusan dari Sumatera yang dikenal dengan nama Giyugun. Kekecewaan pertama Nasution.
Waktu berlanjut, saat Belanda menangkap seluruh pemimpin di divisi, hanya Sumbar yang tidak bisa ditangkap. Terbentuklah PDRI. Divisi terkuat dan satu-satunya yang berhasil mempertahankan Indonesia. Setelah semua reda, Nasution menjadi pimpinan angkatan darat.
Lalu, dicari jalan untuk membubarkan divisi yang berhasil mempertahankan pemerintahan. “Inilah salah satu penyebab PRRI,” jelas Ajis Dt Bandaro Panjang.
Indikasi lain yang diprediksi menjadi penyebab, karena kisah cinta antara Nasution dengan gadis Minang, konon ceritanya ditolak.
Pakar sejarah UNP Mestika Zed saat ditanya, menyebut butuh penelitian lebih lanjut dan ini akan menjadi pekerjaan rumah bersama. “Seperti yang kita bahas tadi, sejarah tidak ditentukan oleh sistem, peran individu juga bisa membentuk sejarah,” katanya usai diskusi.
Fase kedua, ultimatum dan pecahnya konflik bersenjata berlangsung empat tahun hingga kemenangan tentara Soekarno. Menurut Mestika Zed, di fase ketiga, yaitu 1961-1965, demokrasi terpimpin berlaku. PKI sebagai mesin politik tampil sebagai mayoritas tunggal yang amat berkuasa dalam sistem kekuasaan orde lama.
PKI dengan organisasi sayapnya meneror dan menekan semua unsur yang dituduh terlibat PRRI. “Termasuk razia gestapu dan keluarnya KTP dengan cap khusus bagi eks PRRI,” paparnya.
Berbagai macam larangan diderita, bahkan eks PRRI tidak diberi kesempatan untuk naik haji. Akibat selanjutnya, terlihat nyata pada pengucilan peran orang Minang dalam jajaran pemerintahan sipil dan militer. Baik di pusat maupun di daerah. Terjadinya “dispora”, yaitu persebaran besar-besaran orang Minang meninggalkan kampung halaman mereka, karena takut berbagai ancaman dan tekanan rezim Jakarta dan kaki tangannya.
Penukaran nama khas Minang dengan nama bukan Minang juga terjadi, khususnya nama dengan ciri Jawa, lalu terhambatnya karir mereka dalam berbagai bidang kehidupan. Kebanyakan pengamat menyimpulkan PRRI merupakan awal kebangkrutan orang Minang di pentas nasional pascakemerdekaan.
Merosotnya wacana intelektual Minang dalam berbagai bidang, termasuk agama, sastra dan politik, khususnya bidang diplomatik.
Dilihat dari cikal bakal ide mulanya, PRRI dalam arti tertentu dapat dimaknai “Republik Ketiga” setelah RI dan PDRI. Dengan kata lain, PRRI sesungguhnya juga ingin menyelamatkan RI dari mental kolonial, tetapi hasilnya berlawanan dengan yang diperjuangkan.
Referensi demokrasi Minangkabau dan keterbukaan budayanya ternyata berbanding terbalik dengan apa yang dianut rezim penguasa.Mengakui Kemerdekaan RI
Hal yang perlu diluruskan dari peristiwa ini, PRRI bukan pemberontakan separatis andai kata pemimpin pusat bersifat lebih bijaksana. Gerakan daerah itu tidak lebih dari masalah keadilan dan tarik menarik politik kekuasaan yang kurang mempertimbangkan nusantara. Seperti yang tercermin dari tuntutannya, PRRI sama sekali tidak bermaksud mendirikan negara (state) dalam negara. Juga bukan gerakan separatis ke daerah semata karena pendukungnya tetap mengakui negara kesatuan RI yang diproklamamirkan 17 Agustus 1945.
Para pendukungnya tidak serta merta berasal dari Sumbar, melainkan sejumlah tokoh pusat juga bergabung. “Yang digugat PRRI sesungguhnya adalah pemerintahan pusat, bukan negara.
Pemerintahan yang dianggap sebagai rezim otoriter, sentralistik dan eksploitatif. Mirip dengan kekuatan kolonial di masa lalu,” kata Mestika Zed.
PRRI menganggap rezim pusat tidak becus menjalankan pemerintahan, terutama karena menelantarkan kepentingan daerah. Maka para pencetus PRRI dipaksa mengambil tindakan dengan mendirikan pemerintahan sementara, mirip PRRI dan PDRI. Satu-satunya kesalahan pemimpin PRRI, agak Mestika, melayani tantangan perang dari rezim Jakarta dalam keadaan tidak siap dan tidak ingin perang.
Hal terpenting saat ini, bagaimana masyarakat Sumbar meminta masa depan dengan belajar dari pengalaman republik NKRI sebelumnya. Pelajaran berharga, PRRI memiliki ambisi untuk lebih baik, dan siap menerima risiko dalam perjuangan. Tidak seperti hari ini. Ketakutan demi ketakutan menghantui pemimpin Sumbar.
Mereka lebih memilih untuk diam daripada berinovasi dan bergerak. Main aman dan berlindung di balik aturan. Bahkan diamnya mereka itu merugikan rakyat Sumbar.
Sebut saja ketidakmampuan membelanjakan anggaran yang telah disediakan. Anggaran tersisa sampai 3 triliunan kembali ke pusat. “Pasif dalam perencanaan dan eksekusi. Kriminal itu,” tegas Mestika Zed.
Bagi generasi muda hari ini, pertarungan bukan lagi adu fisik. Tetapi adu keilmuan, kecerdasan. Harus memiliki pemikiran berlapis. Pemberontakan itu sesungguhnya spirit mentalitas intelektual yang tidak pernah puas. Selalu bertanya pada ketimpangan. Pertarungan akal budi akan terus menerus terjadi dan berlanjut.
Bung Hatta sendiri dalam kisah ini, amat tidak suka dengan peperangan. Jangan bawa perang ke pekarangan rumah, dikatakan juga, sikap pusat tidak disukai Hatta. “Pergulatan dahsyat terjadi justru malah setelah PRRI terutama bagi wanita Minang. Story yang harus didalami dalam diskusi selanjutnya,” papar Syofiardi Bachyul. (rpg)