MENGENANG PERJUANGAN PRRI

Bukan Pemberontakan Separatis, Akui Kemerdekaan RI

Feature | Selasa, 18 Februari 2014 - 18:35 WIB

Bukan Pemberontakan Separatis, Akui Kemerdekaan RI

Tahun 1961 pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) memasuki fase ketiga, yaitu kemenangan tentara Soekarno. Tahun itu juga jadi awal berlakunya demokrasi terpimpin dan napak tilas dimulainya rezim orde lama dengan mesin politiknya PKI. Cap “pembe­rontakan “ tertumpang di pundak orang Sumbar, seluruh pemimpin, simpatisan, dan mereka yang tidak ikut sekali pun turut menerima ’hukuman’ itu. Ironis memang.

-----------------------------

Laporan Debi Virnando, Padang

-----------------------------

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pelaku sejarah menilai, orang Minang akan tetap me­n­jadi pemberontak selama yang memimpin negeri ini masih manusia. Ketika bupati, guber­nur dan presiden masih ma­nusia, selama itu pula mereka akan menjadi pemberontak. Tidak ubahnya seperti 68 tahun lalu. “Selagi yang memimpin manusia, pasti ada salahnya. Kesalahan itu yang diprotes,” kata pelaku sejarah berstatus Perwira Intelejen, Akmal H Jaenab dalam diskusi menge­nang perjuangan 68 tahun PRRI di kantor Aji Padang, Minggu (16/8).

Tidak serta merta intimidasi dan otoriter Soekarno yang meledakan peristiwa PRRI. Kon­­­disi di sekeliling kala itu, memaksa Soekarno meng­am­bil sikap demikian. Ada satu nama yang paling dikesalkan pelaku sejarah.

Satu nama itu disebut sebagai penyebab dibalik semua per­golakan ini. Namanya dise­but sebagai orang yang paling baha­gia saat mendengar kabar usu­lan PRRI lewat Dewan Banteng disambut peperangan, yakni AH Nasution. Menurut Akmal H Jaenab, AH Nasution sedang mandi saat informasi itu di­gaung­kan. Pengakuan salah se­orang perwira intel, Nasution langsung berteriak girang.

Awalnya, sempat diusulkan jalur perundingan antara De­wan Banteng dengan peme­rintahan pusat. Sayangnya usu­lan ditolak dan diganti pemu­kulan secara militer.

Rentetan peristiwa senada dipaparkan pelaku sejarah lain­nya, Ajis Dt Bandaro Panjang. Masih soal Nasution. Menurut­nya, PRRI merupakan percikan api yang sudah terjadi bahkan sebelum PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) lahir. Berawal ketika terjadi per­se­teruan di tubuh Kepe­mim­pinan Angkatan Darat.

Masa itu ada dua aliran ke­pe­­mimpinan di angkatan darat, yaitu didikan Belanda dan didi­kan Jepang. Divisi Angkatan Darat terus bertambah jum­lahnya dan masih memiliki pe­mimpin sendiri. “Di Jawa ter­dapat empat divisi, di Suma­tera juga ada empat divisi,” katanya.

Seluruh divisi akhirnya disa­tukan di bawah komando Pang­lima Besar. Persoalan siapa yang layak menjadi panglima besar memanas. Muncullah tiga nama yang diusulkan. Nasution, didi­kan Belanda, pendiri divisi Sili­wangi yang dianggapnya seba­gai divisi paling bagus. Pernya­taan itu disampaikan agar Na­sution dicalonkan menjadi Pang­lima Besar.

Selain Nasution, nama se­lan­jutnya yang diusulkan ialah Jen­deral Soedirman. Didikan Jepang yang berhasil memukul tentara Inggris di Ambarawa, dan ketiga, Urip Sumoharjo yang pernah menjadi Wakil Ko­man­dan Batalyon Padangp­an­jang. Pemilihan dilakukan di Yog­yakarta. Utusan dari Su­matera ada dua orang, Dahlan Jambek dan Simbolon.

“Selama dalam perjalanan mereka berdua dilobi untuk memilih Nasution karena sama-sama berasal dari Sumatera. Ternyata, ketika pemilihan, Na­sution hanya mendapat satu suara yaitu dari Siliwangi, sele­bih­nya memilih Jenderal Soe­dirman,” paparnya.

Menangnya Jenderal Soe­dirman dalam pemilihan pang­lima karena sebagian besar utu­san merupakan didikan tenta­ra Jepang, sama dengan utusan dari Sumatera yang dikenal de­ngan nama Giyugun. Kekece­waan pertama Nasution.

Waktu berlanjut, saat Be­landa menangkap seluruh pe­mimpin di divisi, hanya Sum­bar yang tidak bisa ditangkap. Ter­bentuklah PDRI. Divisi terkuat dan satu-satunya yang berhasil mempertahankan Indonesia. Se­telah semua reda, Nasution men­jadi pimpinan angkatan darat.

Lalu, dicari jalan untuk mem­bubarkan divisi yang berha­sil mem­pertahankan pemerin­ta­han. “Inilah salah satu penyebab PR­RI,” jelas Ajis Dt Bandaro Panjang.

Indikasi lain yang diprediksi menjadi penyebab, karena kisah cinta antara Nasution dengan gadis Minang, konon ceritanya ditolak.

Pakar sejarah UNP Mestika Zed saat ditanya, menyebut butuh penelitian lebih lanjut dan ini akan menjadi pekerjaan ru­mah bersama. “Seperti yang kita bahas tadi, sejarah tidak diten­tukan oleh sistem, peran in­dividu juga bisa membentuk sejarah,” katanya usai diskusi.

Fase kedua, ultimatum dan pecahnya konflik bersenjata berlangsung empat tahun hing­ga kemenangan tentara Soekar­no. Menurut Mestika Zed, di fase ketiga, yaitu 1961-1965, demok­rasi terpimpin berlaku. PKI seba­gai mesin politik tampil sebagai mayoritas tunggal yang amat berkuasa dalam sistem ke­kua­saan orde lama.

PKI dengan organisasi sa­yap­nya meneror dan menekan semua unsur yang dituduh ter­libat PRRI. “Termasuk razia ges­tapu dan keluarnya KTP dengan cap khusus bagi eks PRRI,” pa­parnya.

Berbagai macam larangan diderita, bahkan eks PRRI tidak diberi kesempatan untuk naik haji. Akibat selanjutnya, terlihat nyata pada pengucilan peran orang Minang dalam jajaran pemerintahan sipil dan militer. Baik di pusat maupun di daerah. Terjadinya “dispora”, yaitu per­se­ba­ran besar-besaran orang Minang meninggalkan kam­pung halaman mereka, karena takut berbagai ancaman dan tekanan rezim Jakarta dan kaki tangannya.

Penukaran nama khas Mi­nang dengan nama bukan Mi­nang juga terjadi, khususnya nama dengan ciri Jawa, lalu terhambatnya karir mereka da­lam berbagai bidang kehidupan. Kebanyakan pengamat me­nyim­­pulkan PRRI merupakan awal kebangkrutan orang Mi­nang di pentas nasional pas­cake­­merdekaan.

Merosotnya wacana inte­lekt­ual Minang dalam berbagai bidang, termasuk agama, sastra dan politik, khususnya bidang diplomatik.

Dilihat dari cikal bakal ide mulanya, PRRI dalam arti ter­tentu dapat dimaknai “Republik Ketiga” setelah RI dan PDRI. Dengan kata lain, PRRI sesung­guhnya juga ingin menyela­matkan RI dari mental kolonial, tetapi hasilnya berlawanan de­ngan yang diperjuangkan.

Referensi demokrasi Mi­nang­kabau dan keterbukaan budayanya ternyata berbanding terbalik dengan apa yang dianut rezim penguasa.

Mengakui Kemerdekaan RI

Hal yang perlu diluruskan dari peristiwa ini, PRRI bukan pemberontakan separatis andai kata pemimpin pusat bersifat lebih bijaksana. Gerakan daerah itu tidak lebih dari masalah keadilan dan tarik menarik  poli­tik kekuasaan yang kurang mem­pertimbangkan nusantara. Seperti yang tercermin dari tun­tu­tannya, PRRI sama sekali tidak bermaksud mendirikan negara (state) dalam negara. Juga bukan gerakan separatis ke daerah semata karena pen­du­kungnya tetap mengakui negara kesatuan RI yang diprokla­ma­mirkan 17 Agustus 1945.

Para pendukungnya tidak serta merta berasal dari Sumbar, melainkan sejumlah tokoh pu­sat juga bergabung. “Yang digu­gat PRRI sesungguhnya adalah pemerintahan pusat, bukan ne­­ga­ra.

Pemerintahan yang di­anggap sebagai rezim otoriter, sentralistik dan eksploitatif. Mi­rip dengan kekuatan kolonial di masa lalu,” kata Mestika Zed.

PRRI menganggap rezim pusat tidak becus menjalankan pemerintahan, terutama karena menelantarkan kepentingan daerah. Maka para pencetus PRRI dipaksa mengambil tin­dakan dengan mendirikan pe­merintahan sementara, mirip PRRI dan PDRI. Satu-satunya kesalahan pemimpin PRRI, agak Mestika, melayani tantangan perang dari rezim Jakarta dalam keadaan tidak siap dan tidak ingin perang.

Hal terpenting saat ini, ba­gai­mana masyarakat Sumbar meminta masa depan dengan belajar dari pengalaman re­publik NKRI sebelumnya. Pela­jaran berharga, PRRI memiliki ambisi untuk lebih baik, dan siap menerima risiko dalam per­juangan. Tidak seperti hari ini. Ketakutan demi ketakutan meng­­hantui pemimpin Sumbar.

Mereka lebih memilih untuk diam daripada berinovasi dan bergerak. Main aman dan ber­lindung di balik aturan. Bahkan diamnya mereka itu merugikan rakyat Sumbar.

Sebut saja ketidakmampuan membelanjakan anggaran yang telah disediakan. Anggaran ter­si­sa sampai 3 triliunan kembali ke pusat. “Pasif dalam peren­canaan dan eksekusi. Kriminal itu,” tegas Mestika Zed.

Bagi generasi muda hari ini, pertarungan bukan lagi adu fisik. Tetapi adu keilmuan, kecer­dasan. Harus memiliki pemi­kiran berlapis. Pemberontakan itu sesungguhnya spirit menta­litas intelektual yang tidak per­nah puas. Selalu bertanya pada ketimpangan. Pertarungan akal budi akan terus menerus terjadi dan berlanjut.

Bung Hatta sendiri dalam kisah ini, amat tidak suka de­ngan peperangan. Jangan bawa perang ke pekarangan rumah, dikatakan juga, sikap pusat tidak disukai Hatta. “Pergulatan dah­syat terjadi justru malah setelah PRRI terutama bagi wanita Mi­nang. Story yang harus dida­lami dalam diskusi selanjutnya,” pa­par Syofiardi Bachyul. (rpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook