Peristiwa pembantaian massal di Rengat 5 Januari 1949 silam direkontruksi kembali oleh Tim Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah Belanda atas peristiwa itu. Anak dan janda korban didata. Akankah sama berhasilnya dengan korban Rawagede, Jawa Barat atau Wasterling di Sulawesi dan seberapa pentingnya penuntutan itu?
Laporan KASMEDI, Rengat
SEBERAPA pentingnya pengungkapan kembali atau penuntutan tanggungjawab atas peristiwa memilukan 5 Januari 1949 lalu di Kota Rengat dimana ribuan masyarakat dibunuh secara massal? Pertanyaan yang sulit dijawab dan sulit pula dicarikan keadilan yang sepadan untuk para korban peristiwa itu. Namun, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Yayasan yang didirikan 5 Mei 2005 silam, memiliki kantor di Indonesia dan di Belanda termasuk pengurusnya sebagian orang Indonesia dan sebagian lagi warga Belanda itu, mengutarakan upaya mereka untuk memperjuangkan kepentingan para korban sipil Indonesia karena tindakan kejahatan militer Belanda yang dilakukan terutama periode 1945-1950 atau masa agresi militer II.
Dua daerah yang sudah diperjuangkan dan dikategorikan berhasil dimana pengadilan Belanda memutuskan pemerintah Belanda untuk menyampaikan permintaan maaf dan membayar ganti rugi kepada anak dan janda korban. Dua daerah itu, yaitu Rawagede, Jawa Barat dan Wasterling di Sulawesi. Di Rawagede, sebanyak 7 anak dan janda korban diberi ganti rugi oleh pemerintah Belanda sebesar 20.000 euro. Di dua daerah itu, terbukti di pengadilan militer atas perintah pemerintah Belanda melakukan kesalahan perintah sehingga melakukan pembantaian massal terhadap warga sipil. Pembantaian massal terhadap warga sipil ini, malah disebut PBB sebagai kejahatan perang, namun pemerintah Belanda menyangkalnya.
Peristiwa pembantaian warga sipil di Rengat 5 Januari 1949 tidak kalah sadisnya dengan Rawagede dan Wasterling. Salah seorang anak warga sipil yang ditembak tentara Belanda Rubina (77), warga Rengat mengatakan pada hari kejadian itu menyaksikan dengan mata kepalanya orang tuanya Koromo Sedjo ditembak Belanda. “Orang tua saya pulang dari sawah. Setiba di rumah, datang dua orang tentara Belanda dan tanpa pasal langsung ditembak hingga akhirnya tewas terjatuh dari jendela,” ujarnya.
Sebelum ditembak sambungnya, orang tuanya sempat melawan dengan mengandalkan sebilah belati. Namun belati itu dapat dielakkan tentara Belanda. “Saya dengan ibu hanya dapat meratap melihat peristiwa itu,” lirihnya.
Orang tuanya dikubur persis disebelah rumahnya yang saat itu hanya dikafani dengan kelambu yang masih bersimbah darah. Bahkan bersamanya, juga dikuburkan parang yang digunakan untuk melawan Belanda itu. Untuk itu harapnya, kalau memang KUKB dapat memperjuangkan hak kemanusiaan orang tuanya hanya berharap ada permohonan maaf dari Pemerintahan Belanda. Sebab, kejadian itu hingga saat ini masih belum dapat dilupakan. “Kejam, hanya itu terlihat dari tentara Belanda,” ucapnya.
Kisah lebih lengkap peristiwa Rengat berdarah itu diceritakan Mantan Komandan Markas Bataliyon III, Resimen IV, Banteng Sumatera berpangkat Letnan Muda TNI AD HM Wasmad Rads. Bahkan secara jelas ia menjelaskan peristiwa 5 Januari 1949 dalam sebuah biografi bertajuk Lagu Sunyi Dari Indragiri.
“Hari itu seperti mimpi buruk. Ribuan orang mati. Sungai Indragiri berwarna merah karena darah. Tentara atau warga ditembak paratroops (tentara Belanda) dibuang ke sungai. Lama warga tak mau makan ikan dari sungai karena sebelumnya ada ikan yang ketika dibelah dalam perutnya ditemukan jari mayat,” tutur HM Wasmad Rads, yang kini berusia 86 tahun.
Sebagai Komandan Markas Bataliyon III, Resimen IV, Bateng Sumatera yang berkedudukan di Kota Rengat, Wasmad tahu betul bagaimana peristiwa bersejarah itu terjadi. Hari itu, tanggal 5 Januari 1949, sekitar pukul 06.00 WIB, dua pesawat Belanda jenis Mustang dengan cocor merah di depannya terbang rendah dilangit Kota Rengat yang baru diguyur hujan malam harinya. Kedatangan dua pesawat Belanda itu bukan hendak mengantarkan berita baik, melainkan membawa bom yang ditembakkan begitu saja di pasar, jalan raya, rumah warga hingga markas tentara Indonesia. Seketika bunyi bom yang meledak di tanah bersatu dengan pekik histeris warga yang panik.Dalam hitungan detik, tubuh-tubuh manusia bergelimpangan, sementara darah bercecer dimana-mana. Sejumlah tentara berupaya melumpuhkan dua pesawat dengan menembakkan mortir. Namun upaya itu tidak terlalu membuahkan hasil. Justru markas tentara Indonesia yang di bombardir oleh Belanda.
Aksi dua pesawat Mustang yang mengebom setiap penjuru Rengat baru berakhir pukul 09.45 WIB. Begitu Pesawat Mustang menghilang dari langit Rengat, muncul kembali tujuh pesawat Dakota yang menerjunkan ratusan pasukan baret merah Belanda atau sering disebut Korp Spesialie Tropen (KST), pasukan terlatih Belanda yang telah mengikuti pelatihan di Batu Jajar, Bandung. Konon pasukan ini dilatih langsung oleh Kapten Westerling yang terkenal keji dan kejam. Pasukan ini diterjunkan di daerah Sekip dalam Kota Rengat yang berawa-rawa dan selama ini tidak begitu terjaga oleh tentara republik.
“Perhatian kita benar-benar terpecah. Antara menghadang laju pasukan penerjun dengan korban yang bergelimpangan. Seorang ibu memeluk tubuh anaknya yang tercabik-cabik. Ada juga wanita yang berteriak histeris didepan putrinya yang terluka parah. Entah siapa yang mau ditolong terlebih dahulu. Masuk ke lubang perlindungan disana sudah ada mayat-mayat dan korban yang terluka parah. Terlintas dalam pikiran saya jika serangan itu terus dilanjutkan, maka menjelang petang mungkin seluruh penduduk Rengat sudah musnah,” ujarnya.
Warga Rengat yang sudah panik dan kacau balau karena serangan udara, tiba-tiba sudah berhadapan dengan pasukan terlatih dan bersenjata lengkap. Serangan pasukan Belanda tersebut teramat cepat. Akibatnya banyak warga dan tentara yang tewas, sehingga dalam waktu yang tidak begitu lama pasukan Belanda sudah berhasil mendekat ke Batalyon dan menguasai Rengat.
“Belanda menembak apapun yang bergerak. Sisa-sisa prajurit dan warga yang bersembunyi dalam gorong-gorong diberondong. Korban jatuh dari berbagai kalangan termasuk Bupati Tulus, Wedana Abdul Wahab, Kepala Polisi Korengkeng. Ada yang memperkirakan korban yang tewas mencapai dua hingga tiga ribu orang hari itu,” tutur Wasmad.
Tidak cukup sampai disitu, Belanda juga menangkap pegawai pemerintahan dan sisa-sisa laskar. Mereka kemudian dibariskan menuju lapangan, disuruh baris berjajar dan ditembak tanpa proses interogasi. Belanda juga membentak warga yang masih hidup dan meminta mereka mengumpulkan seluruh mayat untuk ditumpuk begitu saja ditepian Sungai Indragiri. Jasad para korban yang jumlahnya ribuan itu lantas dilemparkan ke sungai yang tengah mengalir deras. “Sehingga wajar saja Sungai Indragiri disebut kuburan terpanjang,” selanya.
Dalam situasi serba tak menentu, Wasmad bersama Letnan Satu Himron Suherman dan Letnan Muda Thamsur Poad begerak ke pinggir hutan sambil berupaya mencari sisa-sisa tentara. Namun yang selamat ternyata hanya mereka bertiga. Ketiganya kemudian sepakat berpencar karena kondisinya tidak memungkinkan lagi untuk menghimpun kekuatan dalam waktu singkat. Namun Wasmad tetap nekat untuk bertahan didalam kota mencari informasi pasukan yang masih tersisa guna menghadapi Belanda. Menjelang petang, situasi di Kota Rengat terus memburuk. Belanda kembali menurunkan pasukan Baret Hijau dalam jumlah besar. Mereka diperkirakan tiga kompi atau sekitar 350 orang. Pasukan ini datang dari Tembilahan melalui jalur sungai.
Wasmad berupaya menyelamatkan diri dengan cara bergerilya. Dalam perjalanan menyusuri sungai dan hutan ia bertemu dengan para pejuang lainnya. Namun pada tanggal 11 Januari 1949, Wasmad berhasil ditangkap pasukan Belanda di rumah orangtua angkatnya di daerah Sekip. Ia ditangkap seregu tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) dibawah Komando Tomasoa.
Wasmad kemudian digelandang ke dalam sel. Dalam tahanan, Wasmad bertemu dengan sejumlah tentara republik yang telah lebih dulu ditangkap. “Penjara adalah mimpi buruk. Kami mendapatkan beragam siksaan. Banyak yang tewas dalam siksaan itu. Seingat saya yang tewas adalah Sersan CPM Tamrun. Sedangkan Sersan CPM Ponco sempat lari dari penjara, tetapi ia berhasil di tembak mati Belanda di hutan daerah Sekip,” ucapnya.
Wasmad tidak menyangka bisa bebas dengan selamat dari penjara Belanda. Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda membebaskan seluruh tahanan perang seiring dengan penyerahan kedaulatan Belanda kepada Pemerintah Indonesia. Wasmad dan rekan-rekannya yang ditahan di bawa ke Taluk Kuantan untuk ditukar dengan tentara Belanda yang menjadi tahanan tentara republik. Keesokan harinya, Wasmad kembali ke Rengat. Ia kemudian bekerja di Kantor Bupati Indragiri pada Bagian Umum Penerangan.
Janda dan Anak Korban di Data
Upaya untuk menuntut pertanggungawaban atas Perisiwa itu, KUKB melakukan pendataan terhadap janda dan anak korban. Rupanya, peristiwa Rengat berdarah tidak begitu diketahui publik. Bagaimana sampai ketelingan KUKB? Berawal dari tim KUKB perwakilan Sumatera Barat (Sumbar) usai lebaran lalu untuk mengungkap persitwa yang sama di Lampung, peristiwa penembakan yang kejam dilakukan tentara Belanda juga tercium ada di Kota Rengat Kabupaten Inhu. Bahkan, tengah pendalaman peristiwa di Lampung, peristiwa penembakan yang kejam dilakukan Belanda menjadi bacaan seorang dosen di Unand Padang.
“Usai lebaran lalu, kami melakukan penelitian dan pendalaman perintiwa penembakan warga sipil oleh tentara Belanda di Lampung. Kemudian, disaat dosen memberikan salah satu mata kuliah pernah menyebutkan peristiwa yang sama ada di Rengat,” ujar anggota KUKB perwakilan Sumbar Hajrafiv Satya Nugraha didampingi rekannya Dani Ramadhan kepada Riau Pos akhir pekan kemaren di Rengat.
Dengan informasi yang sangat minim tentang peristiwa penembakan warga sipil oleh tentara Belanda di Rengat, KUKB perwakilan Sumbar terus menggali melalui media internet. Bahkan dari pencarian di internet ditemukan sejumlah tulisan-tulisan mengenai peristiwa 5 Januari 1949 yang di tulis oleh Sulilowadi.
Setelah mendapat informasi seadanya melalui tulisan tersebut, KUKB perwakilan Sumbar mencoba mencari sosok penulis melalui media sosial facebook. “Sempat menunggu sekitar 2 hari, pertemanan kami diterima bang Sulilowadi yang biasa disapa bang Ilo,” kisahnya.
Melalui kontak pembicaaran yang sebelum didapat melalui facebook terus dilakukan dan pada akhirnya atau sekitar dua pekan lalu bertemu langsung dengan bang Ilo. Bahkan dari sejumlah data yang ada dari bang Ilo disampaikan kepada KUKB yang berkantor di Vroegeling 3, 1964 KP Heemskerk Nederland dan akhir tim dari KUKB turun ke Indonesia.
Degelijks Bestuur atau pengurus harian KUKB Yvonne Rieger Rompas saat ditemui disela-sela pendataan janda dan anak korban penembakan serta penggalian tentang peristiwa penembakan oleh tentara Belanda di Rengat mengatakan pihaknya turun ke Rengat setelah mendapat persetujuan pimpinan KUKB Jeffry M Pondaahg. “Setelah mendapat informasi tentang penembakan warga sipil melalui KUKB perwakilan Sumbar, diusulkan kepada pimpinan,” ujarnya.
Kembali dikatakannya, proses perjuangan untuk hak kemanusiaan itu diawali dengan pendataan terhadap janda dan anak warga sipil ditembak tentara Belanda. Dari data-data yang ada, diajukan kepada Pengadilan Sipil Pemerintahan Belanda.
Kemudian dan data-data dilanjutkan dengan sidang di Pengadilan Sipil. Bahkan, dari sidang tersebut juga akan menghadirkan saksi-saksi yang ada serta bukti-bukti lainnya serta akan didampingi oleh pengacara. Pihaknya juga telah mengajukan ke Pengadilan Sipil Pemerintahan Belanda untuk kejadian yang sama yakni di Daerah Rawa Gede Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bahkan para janda di Rawa Gede sudah ada yang menerima uang ganti rugi atas tindakan kemanusiaan yang dilakukan tentara Belanda. “Makanya saat mencari data, KUKB meminta langsung kepada keluarga korban dan pihak-pihak terkait,” ungkapnya.
Untuk itu harapnya, kepada keluarga korban hendaknya dapat menghubungi Dewan Harian Cabang (DHC) angkatan 45 Inhu. Karena, dari beberapa tempat, setelah perjuangan ini berhasil masih ada keluarga korban yang mengaku belum terdata.
Pengurus DHC angkatan 45 Inhu Rozaly Syam mengatakan untuk saat ini jumlah keluarga korban penembakan tentara Belanda mencapai sekitar 200 orang lebih. “Jumlahnya sulit dipastikan. Karena tempat tinggal keluarga korban banyak juga yang berada diluar daerah. Namun saat ini secara bertahap satu per satu keluarga korban sudah mendaftar,” ujarnya.
5 Januari Bukan Hari Jadi Kota Rengat
5 Januari bukan hari Jadi Kota Rengat, melainkan hari bersejarah yang harus terus dikenang. Sejarah tak boleh dikaburkan hanya untuk kepentingan tertentu. Apalagi sejarah itu telah merenggut ribuan nyawa tak berdosa. “5 Januari jangan dijadikan hari jadi Kota Rengat karena akan mengaburkan sejarah keberadaan Rengat yang sudah sangat panjang,” ungkap Wasmad.
Dari catatan sejarah, sebut Wasmad, Rengat sudah disebut-sebut sejak abad ke-9 dan ke-10 seiring dengan kehadiran Kesultanan Indragiri. Bahkan jauh sebelum Agresi militer Belanda ke-2, Kota Rengat sudah dikenal sebagai kota pelabuhan yang ramai.
Karena itu, sejumlah ahli waris korban pembantaian Agresi Militer Belanda ke-2 tanggal 5 Januari tahun 1949 sampai hari ini tidak mengakui bahwa 5 Januari sebagai hari jadi Kota Rengat. Mereka tetap meminta Pemkab Inhu menetapkan 5 Januari sebagai hari bersejarah untuk memperingati tragedi kemanusiaan yang merenggut ribuan nyawa tak berdosa tersebut. Sebab sejauh ini Pemkab Inhu belum menetapkan peristiwa 5 Januari 1949 sebagai hari bersejarah melalui peraturan daerah.
“Tanggal 5 Januari 2012 bukan untuk diperingati sebagai Hari Jadi Kota Rengat tetapi untuk mengenang peristiwa 64 tahun yang lalu, yaitu jatuhnya Kota Rengat karena peristiwa pembantaian ribuan orang oleh pasukan Belanda dan KNIL atau SPESIAL TROOPEN,” kata Susilowadi atau lebih di kenal Bang Ilo, Ketua Ikatan Keluarga Besar Masyarakat Indragiri (IKBMI). Bang Ilo merupakan cucu kandung Mandor Rasiman, kerabat Kerajaan Indragiri yang menjadi korban pembantaian di Sekip Sipayung.
Menurut Bang Ilo, fakta sejarah telah tertuang dalam buku yang berjudul “Tiga Tungku Sejarangan” yang secara khusus telah mengupas tentang kejayaan Kesultanan Indragiri sebelum dan sesudah terjadinya peristiwa 5 Januari 1949. Buku tersebut ditulis sejarawan Harto Juwono dan Yospehine Hutagalung. Kedua penulis memiliki data yang mereka peroleh dari wawancara saksi mata, pelaku sejarah, membuka dokumen di perpustakaan nasional sampai berburu data di sejumlah perpustakaan Belanda.(hpz)