Laporan DON KARDONO, Tokyo
Kapan the third wave investment, dengan total projek senilai Rp410 Triliun dari Jepang itu landing dan menjadi motor penggerak Koridor II? Kapan 45 projek prioritas, 18 projek cepat, dan 5 projek MPA Flagship itu naik level menjadi realisasi?
Bukan hanya bangsa ini yang bosan menunggu ketidakpastian? PM Jepang Yoshihiko Noda pun tak sabar menunggu peluit start in actions?
Menko Hatta Rajasa pun geregetan, ketika disentil dengan pertanyaan kapan itu? Dia seperti habis tersengat ulat matahari, yang membuat muka dan telinganya memerah.
Panas, gatal, cemas, berbaur menaikkan tensi dan detak jantung. ‘’Terus terang, saya ingin berlari kencang, secepat kereta peluru Shinkansen!’’ jawabnya serius.
Tak ada satu alasan pun yang membuatnya galau, untuk melangkah lebih cepat dan melompat lebih jauh. Working group terus berproses, joint meeting terus mengalami kemajuan yang berarti, bahkan intensitasnya lebih ditingkatkan.
Regulasi baru dalam hal investment area juga terus disosialisasi. Semua progres mengarah kuat menuju realisasi.
‘’Kami jaga ritmenya agar lebih cepat, minimal masih dalam frame time yang sudah tersusun, sambil membenahi kondusivitas iklim investasi dalam negeri,’’ ucap Hatta Rajasa.
Iklim? Memang ada apa dengan iklim investasi? ‘’Jujur sajalah, nggak usah ditutup-tutupi, masih banyak hal yang secara internal harus dibereskan.
Karena keluhan itu juga muncul dalam The Third Steering Committee Meeting of MPA for Investment and Industry itu,’’ kata Hatta, sambil mengenang permohonan Menlu Jepang Koichiro Gemba dan Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Yukio Edano di Likura Guest House, Tokyo, 9 Oktober lalu itu.
Perburuhan yang mereka contohkan, sudah bukan menjadi rahasia lagi, sekarang bahkan menjadi warning amat krusial dalam investasi. Demo-demo buruh itu sudah sampai pada tingkat ‘’mengkhawatirkan’’ iklim penanaman investasi di Indonesia.
‘’Berapa kali saya sendiri harus menyelesaikan persoalan perburuhan dan demo-demo itu? Yang terakhir, saya sampai lima jam berdialog dengan mereka. Harusnya mereka merencanakan mogok lima hari, dan itu sangat berbahaya. Saya turun tangan sendiri! Ini sepulang ke tanah air juga sudah ditunggu oleh mereka. Anda bisa bayangkan, sebegitu serius suasana perburuhan itu di mata investor yang akan menggelontorkan modal projek Rp410 triliun?’’ ungkapnya.
Hatta mengakui, tidak gampang menuntaskan urusan perburuhan itu. Tidak gampang itu bukan berarti tidak bisa.
‘’Outsourching itu tidak dibenarkan lagi dalam UU kita. Tetapi karena ada keterlanjuran, maka harus ada transisi. Kuncinya di situ, berundingnya adalah berapa lama masa transisi itu? Bukan lagi pada boleh dan tidak boleh outsourching? Lelah, mendiskusikan hal yang tidak ada ujungpangkalnya,’’ kata Hatta mantan Presiden Direktur Arthindo, yang nota bene juga mantan pengusaha itu.
Menurut Hatta, hanya ada lima jenis yang masih diperbolehkan. Yakni, perusahaan perminyakan, perusahaan keamanan atau security, perusahaan cleaning service, transportasi dan catering.
Lalu bagaimana kalau perusahaan itu hanya memerlukan tenaga kerja tambahan dan berjangka waktu pendek? Misalnya tiga-empat bulan saja?
‘’Nah, itu bisa saja, tetapi istilahnya kontrak kerja. Bukan outsourching, jangan disiasati. Perusahaannya berjangka panjang, tetapi menggunakan model outsourching. Labour supplay ini menyangkut kesejahteraan, jadi bisa menjadi persoalan krusial. Contohnya, di Jabodetabek buruh dibayar Rp1,5 juta? Mana cukup? PNS saja sudah di atas Rp2 juta?’’ ungkapnya.
Goalnya adalah, buruh harus ada jaminan kesejahteraan, tetapi perusahaan juga harus tetap sehat. Spiritnya, mencari solusi terbaik, bukan saling memaksakan kehendak.
Semangatnya, harus saling mendukung, agar iklim investasi tetap kondusif, dan sustainable.
Soal penghematan energi, pengurangan BBM bersubsidi yang terkatung-katung itu, lanjut Hatta, juga disayangkan.
‘’Coba kalau skema penghematan itu bisa dijalankan sesuai perencanaan? Lalu, sebagian diplot untuk melanjutkan connectivity dengan membangun infrastruktur? Wow, luar biasa percepatan dan pergerakan ekonomi kita?’’ kata Hatta, sambil mengibaratkan jika mengendarai mobil, sudah seperti naik Ferrari. Tinggal tancap gas saja.
Tahun pertama, sisihkan Rp60 Triliun, untuk membangun Trans Sumatera dari Aceh sampai Lampung. Tidak harus jalan tol, tetapi jalan dengan kualitas highway.
Tahun kedua, bangun Trans Kalimantan dan Trans Sulawesi, dengan Rp100 Triliun. Tahun ketiga, membangun Trans Papua Rp100 Triliun.
Tahun keempat, baru Jawa Selatan dengan nilai Rp100 Triliun juga.
‘’Baru, swasta kita beri kesempatan untuk membangun jalur Pantura atau Jawa Utara di tepian pantai dengan investasi Rp200 Triliun. Diuruk dulu, dibuat waterfront city, dibuat kota baru, di atasnya dibangun tol. Itu akan menjadi pengungkit lompatan ekonomi yang luar biasa tajam,’’ idenya.
Bagaimana dengan pembebasan lahan? Itu problem yang saat ini lebih krusial dibandingkan soal ketenagakerjaan?
‘’Tidak perlu pembebasan? Itu kan berada di pantai, cukup diuruk, tidak mengambil tanah milik orang lain?’’ jawab Hatta. Bagaimana dengan izin pemerintah daerah, yang kadang juga menjadi persoalan tersendiri?
‘’Kalau dibangun bagus, pasti tidak ada alasan untuk tidak setuju? Karena daerahnya juga akan terangkat naik. Mana ada pimpinan daerah yang tidak mau daerahnya maju pesat?’’ lagi-lagi jawab Hatta berapi-api.
Soal prosedur administratif dalam pembangunan infrastruktur, lanjut Hatta, juga harus ada langkah akseleratif. ‘’Saatnya Perpres No 54 itu dirombak.
Diganti dengan Keppres yang bisa menunjuk langsung. Kalau melalui proses tender, pasti lama lagi, berpotensi banyak permainan, ada yang membuat penawaran di bawah harga, tidak akan mundur kalau tidak diberi fee, sengketa tender, dan persoalan pelik lain. Itu yang sering menyandera skedul projek dan bikin frustasi,’’ kata Hatta.
Kembali pada pertanyaan kapan dimulai gelombang ketiga investasi Negeri Matahari itu landing ke Indonesia? Jawabnya, Ayo percepat landasan untuk mendaratkan pesawat yang bernama the third wave investment itu!(fia)