Laporan DENNI ANDRIAN, Pekanbaru
From hero to zero (dari tim yang hebat menjadi tim yang tak berdaya). Ya, PSPS pernah menjadi tim ‘’kaya’’ beberapa musim lalu. Tapi, kini PSPS menjadi tim yang ‘’miskin’’. Diibaratkan manusia yang sedang sakit, kondisi PSPS sangat kronis dan perlu penyelamatan nyata.
Di Ligina VIII 2002, PSPS sempat menjadi magnet sepakbola nasional. Askar Bertuah menjadi salah satu tim yang ‘’royal’’ mengontrak pemain. PSPS bahkan disebut-sebut klub yang berani membayar pemain dengan nilai tertinggi di Indonesia saat itu.
Manajer PSPS saat itu, Anto Rahman mendatangkan trio tim nasional ketika itu; Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, Hendro Kartiko. Musim berikutnya, skuad semakin mentereng dengan masuknya beberapa pemain Timnas lainnya seperti Eko Pujianto, Aples Teccuari, Bejo Sugiantoro, Uston Nawawi, dan Amir Yusuf Pohan.
Setelah itu, PSPS tetap menjadi pilihan pemain top Indonesia di masanya. Sebut saja beberapa pemain yang pernah bergabung seperti Edu Juanda, Slamet Riyadi, Adnan Mahing, Ritham Madubun, Erol Iba, Rahmad M Rivai, (alm) Chairul Minan, Rusdianto, Nova Zaenal, Gustavo Hernan Ortiz, I Komang Mariawan, Ebwelle Bertin, Felipe E Cortez, Joe Nagbe, Moses Nyeman, M Affan Lubis, Mbeng Jean, Joseph Lewono, Alejandro Castro dan beberapa nama lainnya.
Saat itu, PSPS memang berlimpah fulus. Pasalnya, belum ada batasan dari pemerintah terkait pemakaian dana APBD untuk klub profesional. Apalagi, Gubernur Riau saat itu, Saleh Djasit memang gila bola dan perusahaan besar di Riau seperti RAPP, Chevron, PTPN V, IKPP dan lainnya ikut menjadi sponsor.
Gaji pemain, pelatih, bahkan ‘’tentara payung’’ —sebutan bagi pembantu umum— dibayarkan tepat waktu. Pemain tinggal di mess bagus di Jalan Sisingamangaraja, saat ini rumah dinas Wakil Gubernur Riau.
Saat laga tandang pun, tim menginap di hotel berbintang. Tapi, setelah ada aturan pembatasan penggunaan dana APBD buat tim sepakbola profesional oleh pemerintah, ‘’kemewahan’’ PSPS mulai sirna. Bahkan, di musim ketiga sejak keluarnya kebijakan pemerintah tersebut, kondisi PSPS semakin memprihatinkan.
Hal ini diperparah tak satu pun perusahaan besar di Riau mau menjadi sponsor. Alhasil, manajemen PSPS pun menunggak pembayaran gaji pemain, pelatih hingga pembantu umum. Tak tanggung-tanggung, gaji pemain musim ini belum dibayarkan hingga lima bulan.
Khusus untuk gaji, manajemen harus menyiapkan sekitar Rp680 juta setiap bulannya. Artinya, total sekitar Rp3,4 miliar gaji belum dibayarkan. ‘’Ya, setiap bulan gaji pemain, tim pelatih dan pembantu umum yang harus dibayarkan sekitar Rp680 juta,’’ ujar manajer PSPS, Boy Sabirin.
Ditambahkan Boy, meski gaji belum dibayarkan pemain tetap diberikan pinjaman yang bervariasi sesuai keperluan. Tak hanya itu, sebagian besar pemain juga sudah menerima Down Payment (DP) kontrak 15 persen. ‘’Kecuali pemain asing ya,’’ ujar asisten manajer PSPS, Herman Susilo.
Dari mana dana memberi pinjaman buat pemain dan DP kontrak? ‘’Pinjaman buat pemain dari uang pribadi beberapa pengurus. Uang perusahaan saya juga terpakai. Kalau DP kontrak dibayar dari kerja sama dengan Kampar lalu,’’ jelasnya.
Memang, di putaran pertama musim ini, PSPS menjalin kerja sama dengan Bupati Kampar, H Jefry Noer. Dana sebesar Rp900 juta pun mengalir meski bertahap.
‘’Pertama Rp300 juta setelah itu Rp600 juta. Uang inilah untuk DP kontrak pemain dan pelatih. Kalau biaya lainnya tetap pengurus PSPS yang mengatasi,’’ jelas Boy.
Untuk operasional, manajemen menghitung diperlukan Rp15 miliar hingga Rp16 miliar untuk satu musim. Laga tandang menyedot biaya cukup besar. ‘’Rata-rata setiap tandang yang biasanya dua laga menghabiskan Rp200 hingga Rp300 juta. Tapi kalau ke Papua, bisa mencapai Rp400 juta hingga Rp500 juta,’’ ujarnya.
Maka untuk menekan biaya, lanjutnya, setiap laga tandang manajemen membawa pemain sesuai keperluan tim. Namun, kondisi keuangan PSPS masih saja kolaps karena kerja sama dengan Kampar berakhir, sementara belum satu pun perusahaan besar di Riau membuka diri untuk bekerja sama dengan PSPS.
Alhasil eksodus pemain pun terjadi usai putaran pertama. Sebagian besar pemain inti hengkang ke klub lain.
Kondisi ini berimbas ke putaran kedua. Pada dua laga kandang perdana di Stadion Rumbai Pekanbaru, PSPS menelan dua kali kekalahan dari Barito Putera dan Persiba. Ironisnya, akibat gaji belum dibayar, striker asing Ndiaye Pape Latyr menolak dimainkan saat lawan Persiba. Tak hanya itu, striker yang sudah mencetak tujuh gol ini pun bakal dilepas karena tak betah lagi.
Boy Sabirin menyebutkan, di putaran kedua pengurus dan manajemen telah mencari sponsor tapi belum juga berhasil. ‘’Sekarang kami tak hanya berharap perusahaan besar di Riau, tapi sponsor kecil pun kami kejar,’’ ujarnya.
‘’Kalau ada perusahaan yang mau membantu Rp50 juta atau bahkan Rp5 juta akan kami terima. Mereka bisa pasang e-board di stadion saat PSPS main,’’ tambah Boy Sabirin.
Manajemen juga mempersilakan kalau ada sponsor yang benar-benar mau menyelamatkan PSPS.
‘’Kalau mau silakan ambil PSPS, tapi jangan tanggung-tanggung untuk menyelamatkan PSPS. Kalau mereka ingin transparan, kita akan lakukan. Untuk diketahui beli minuman air meneral kotak saja kami punya kwitansinya,’’ tegas Asisten Manajer, Herman Susilo.
Sulitnya mendapat sponsor membuat PSPS pun semakin berat untuk selamat dari degradasi. Pasalnya, materi pemain yang tersisa kalah kelas dengan tim peserta ISL lainnya.
PSPS hanya menyisakan Danil Junaidi, April Hadi, Fance Harianto, Zahrul, Rusdianto, Gusrifen dan Bobby Satria yang berpengalaman di ISL.
Bahkan bila bicara lebih jauh lagi, PSPS tak hanya terancam turun ke Divisi Utama, tapi bisa saja ke Divisi Satu jika pemain kembali mogok bertanding dan PSPS berhenti di tengah kompetisi akibat tak ada dana lagi.
Jadi dukungan nyata dari perusahaan di Riau sangat diperlukan untuk menyelamatkan tim yang pernah merebut juara Divisi I pada 1999 dan sudah mempromosikan Riau ke tingkat nasional ini.***