Perempuan dengan profesi berbahaya, pastinya masih jarang ada di negeri ini. Apalagi bila dikaitkan dengan kehidupan liar, dunia satwa seperti gajah. Namun, Riau punya beberapa, diantaranya Eka (18) dan Irma (24). Seperti apa aktivitas mereka, simak penelusuran Riau Pos dari Camp Flying Squad Gajah di Tesso-Nilo.
Laporan Didik Herwanto, Pelalawan
SIANG itu udara terasa sangat panas di camp fying squad Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), pekan lalu. Riau Pos berkesempatan ikut dengan beberapa mahot (pawang gajah) yang semuanya lelaki, menuju hutan di sekitar camp untuk memindahkan gajah asuhnya dari titik pertama ke titik pemindahan berikutnya.
‘’Nela, Nela, Teso,’’ suara lembut perempuan terdengar memanggil dari balik rerimbunan hutan akasia. Sesaat kemudian muncul dua orang perempuan mengenakan jilbab merah jambu, satunya lagi mengenakan topi hitam besar. Nela adalah nama gajah yang digembala Eka, sedangkan Teso digembala Irma.
Postur kedua wanita ini tampak tak sebanding dengan apa yang mereka bawa. Seekor gajah yang berukuran besar. Dua wanita bertubuh mungil ini terus menggerakkan kaki yang terikat dengan tali yang melilit di leher gajah tersebut, sambil sesekali memukulkan gancu (alat untuk mengendalikan gajah), dan mengarahkannya menuju sungai yang berada di ujung lembah.
Gajah betina yang bernama Nela tampak berjalan sangat lamban, membuat Eka terus menerus berteriak memerintahkannya berjalan sambil memukulkan gancu ke atas kepalanya. Sementara Teso gajah jantan yang diasuh Irma tampak berjalan lebih cepat dan memimpin lebih dulu di depan.
Siang itu, Nela memang berlaku aneh, terus saja berulah tanpa diperintah. Tiba-tiba duduk dan mengais-ngais lumpur dengan belalainya, hingga membuat Eka tampak sedikit kesal, setengah berteriak ia memerintahkan Nela untuk berdiri. ‘’Nela berdiri ayo, Nela berdiri!’’ sergahnya, sambil mengayunkan gancu ke atas kepala nela.
Jarak titik peletakan pertama, dengan sungai memang tidak terlalu jauh, hanya melewati beberapa parit kecil dan agak sedikit masuk menuju hutan. Sesampainya di sungai, Nela masih saja berulah, seolah ingin mahotnya ikut basah. Nela tiba-tiba tidur di air sambil menguling-gulingkan badannya. Tak ayal wanita berkulit hitam manis ini basah kuyup karena tercebur ke dalam air.
Keusilan Nela tidak sampai di situ. Saat Riau Pos mencoba mengabadikan gambarnya, tiba-tiba Nela menyemburkan air menggunakan belalainya.
‘’Maaf mas, Nela ini memang seperti ini kalau lihat orang baru,’’ kata Eka tampak terlihat sungkan karena ulah gajah asuhnya. Sementara Teso tampak tenang, sambil digosok-gosok punggungnya oleh Irma. Meskipun Nela tampak menggapai-gapaikan belalainya ke arah Teso.
Irma menuturkan, bahwa memang seperti inilah tingkah laku gajah muda, karena Nela dan Teso baru berumur 4 dan 5 tahun. Layaknya manusia, gajah-gajah ini masih suka bermain dan terkadang mereka manja sekali. Sifat manja ini ditunjukkan mereka seperti tidak mau ditinggalkan sendirian ketika diikat di dalam hutan.
Irma telah satu tahun lebih menjadi mahot di Flying Squad ini. Sementara Eka baru 2 minggu. Total mahot perempuan disini sekitar 3 orang, namun yang seorang lagi telah menikah dan memutuskan berhenti. Saat ditanya alasan mereka kenapa mau menjadi mahot, dua perempuan ini punya alasan yang sama, yaitu penasaran.
Mereka berdua awalnya penasaran kenapa hewan sebesar itu bisa diperintahkan manusia. Sampai suatu waktu, teman sekampungnya yang juga bekerja menjadi mahot, menawarkan kepada Irma pekerjaan itu. Bak gayung bersambut Irma pun antusias menerima tawaran pekerjaan itu.
Irma mengaku membutuhkan waktu satu bulan untuk bisa mengendalikan si Teso —gajah asuhnya— sementara Eka terhitung lebih cepat karena hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk bisa beradaptasi dengan Nela. Namun Eka masih butuh bimbingan untuk mengetahui bagaimana cara mengetahui tempat ikatan yang baik dan melatih gajah seperti hormat, duduk, mengalungkan bunga dan lainya.
Saat ditanya suka dukanya menjadi mahot gajah, sambil mengipas-ngipaskan topinya, Irma menjelaskan, bahwa menjadi mahot itu membutuhkan keikhlasan dan komitmen, karena kerja di sini termasuk full time. ‘’Full time di sini bukan hitungan waktu untuk satu hari melainkan hitungan waktu untuk satu minggu alias tidak ada libur dalam seminggu,’’ jelasnya sambil tersenyum kecil.
Rutinitas perawatan gajah ini tidak bisa berhenti, karena jumlah mahot sama dengan jumlah gajah. Bahkan saat lebaran pun para mahot tetap wajib masuk. Perempuan yang hanya mengenyam pendidikan SLTA ini menuturkan aktivitasnya dimulai sejak dini hari. Pukul 04.00 WIB pagi ia sudah bangun, selanjutnya ia mencuci dan memasak. Hal ini sengaja dilakukannya sejak pagi sekali karena takut tidak terkejar dan keburu anaknya bangun. ‘’Maklumlah saya kan single parent jadi harus berperan sebagai ayah dan sebagai ibu,’’ celetuknya mengagetkan.
Irma memang seorang single parent. Ia berpisah dengan suaminya beberapa bulan sebelum dia memutuskan menjadi mahot. Dengan anak yang masih baru berusia 4 tahun, Irma harus menjalani rutinitas yang padat dan harus pandai membagi waktu antara mengurus anak dan mengurus gajah. Kedua-duanya adalah yang utama menurut Irma. Karena keduanya adalah hal yang paling berharga yang ia miliki. ‘’Untunglah rumah saya nggak jauh dari camp, jadi habis mengikat Teso saya bisa mengurus anak,’’ imbuhnya.
Sambil terus mengipas-ngipaskan topi, karena memang siang itu udara cukup terik, Irma buru-buru menjelaskan bahwa pekerjaan ini bukan karena statusnya, melainkan lebih kepada kecintaannya terhadap hewan yang diperkirakan akan punah dalam 100 tahun mendatang.
Irma menganggap Teso layaknya sahabat. Alasannya sederhana, karena setiap hari ia bertemu dan merawatnya. Seringkali Irma berbicara dan mencurahkan apa yang ia rasakan kepada teso. ‘’So kenapa ya nasibku seperti ini?’’ salah satu kalimat yang sering dia keluhnya. Sebaliknya,seolah mengerti, hewan ini mengaitkan dan menggerak-gerakan belalainya di lengan Irma.
Gajah memang termasuk hewan yang cerdas. Bahkan gajah memiliki memori yang tinggi, menurut data Goodall, gajah berada di urutan ketiga hewan tercerdas di dunia setelah kera besar dan lumba-lumba. Gajah juga memiliki ritual tersendiri ketika ada dari kelompok mereka yang mati, layaknya manusia seolah ritual itu sebagai ungkapan kedukaan mereka. Jadi tidak heran jika hewan ini mampu memahami komunikasi manusia.
Lebih jauh Irma menjelaskan, Teso dan sejumlah gajah di sini mengenali mahotnya dari bau dan gerak geriknya. Seperti Teso, tidak perlu dipanggil ia akan menggerak-gerakan telinganya saat melihat Irma. Namun standar operation prosedur (SOP) para mahot tetap harus memanggil gajah asuhnya sebelum didekati. Cara seperti itu sebagai upaya untuk mengetahui respon para gajah tersebut.
Menurut Irma gerakan telinga gajah adalah respon bahwa dia mengenali keberadaan kita. Irma mengaku pernah jatuh dari atas gajah dewasa. Waktu itu karena Irma tidak memperhatikan perilaku gajah yang tidak menyukai keberadaan mobil yang membunyikan musik terlalu keras. Akhirnya belum sempat ia berada di posisi yang pas, gajah tersebut bergerak. dan Irma pun terpental jatuh.
Irma juga tidak malu meskipun pekerjaan yang ia tekuni tidak banyak diminati perempuan di desanya. Karena pekerjaan ini dianggap kasar dan bukan pekerjaan yang cocok untuk perempuan. Bagi Irma, pekerjaan tersebut halal untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan ini adalah upaya untuk menyelamatkan hewan yang hampir punah. ‘’Selain itu saya ingin menunjukkan bahwa hewan ini mengerti dan mampu bersahabat dengan manusia,’’ ujarnya.
Ibu satu anak ini juga mengaku sering bertemu dengan si raja hutan alias harimau sumatera. Pernah suatu ketika saat akan memindahkan gajah dari ikatan pertama, tiba-tiba sepasang harimau melintas di depan, dengan jarak hanya sekitar sepuluh meter. Kejadian ini kemudian sering terulang di tempat yang sama, yaitu di sekitar tower yang berbatasan langsung dengan hutan, sehingga Irma menganggapnya hal yang biasa.
Menurutnya di daerah sekitar tower memang perlintasan si raja hutan tersebut. Hewan yang memiliki nama latin Panthera Tigris Sumatrae ini memang memiliki daerah lintasan tetap yang akan selalu ia lintasi sebagai daerah jelajahnya. Bagi Irma ketika niat kita baik dan tidak menggangu dia, maka ia yakin ia juga tidak akan menganggu.
Saat ditanya mengenai sepak terjang kedua Mahot perempuan ini, Syamsudin koordinator lapangan World Wild Foundation (WWF) menuturkan bahwa selama ini keduanya sangat rajin bekerja. Bahkan Irma yang lebih dulu menjadi mahot dinilainya sangat ulet dan bersungguh-sungguh mengasuh si Teso. Dia juga tidak pernah mendengar Irma mengeluh kepanasan, kelelahan layaknya perempuan perempuan lain yang tidak tahan panas. Pagi-pagi sekali Irma sudah sampai. Dia juga tidak sungkan membantu membersihkan kantor sebelum membawa gajah asuhnya untuk diikat di hutan.
Ketika ditanyakan mengapa mempekerjakan mahot perempuan? Sam —panggilan akrabnya— menuturkan, bahwa WWF ingin menghapus pandangan masyarakat bahwa gajah itu adalah hewan yang menakutkan. Dia juga ingin menunjukkan bahwa perempuan mampu menjadi mahot. ‘’Saat menerima mereka hanya satu pertanyan saya, berani berhadapan dengan gajah? Ketika bilang berani, maka sudah loloslah mereka,’’ terangnya.(ila)